Mengubah Mental Takut Berubah



Semua orang ingin maju, tetapi sayangnya juga takut berubah. Perubahan dikhawatirkan akan membawa resiko dan bahkan menyengsarakan. Padahal hanya dengan berubah itulah maka cita-cita, kehendak, atau tujuan akan bisa diraih. Pertanyaan sederhana yang semestinya dijawab adalah, mengapa ingin maju sementara itu yang bersangkutan tidak mau berubah. Kemajuan dan perubahan adalah selalu berjalan beriringan.

Memang semua perubahan selalu membawa resiko. Tidak ada gerak dalam kehidupan ini bebas dari resiko. Tidur saja terlalu lama juga beresiko, yaitu badannya menjadi terasa tidak enek. Duduk terlalu lama juga melahirkan penyakit ambiyen. Terlalu banyak makan daging akan beresiko kelebihan kolestrol. Semua  gerak kehidupan ini membawa resiko. Maka,  bagi orang yang tidak mau  menaggung resiko seharusnya berdian, sekalipun berdian itu sendiri  juga akan terkena resiko.

Manakala diamati secara saksama, bahwa  orang-orang maju dan sukses adalah mereka yang mau mengambil prakarsa dan juga sekaligus   berani  menanggung  resiko apapun yang akan menimpa kepadanya. Orang-orang penakut dan tidak mau berubah  sebenarnya  juga akan menanggung resiko, yaitu tertinggal dari yang lain, dan tidak akan mengalami  kemajuan. Oleh karena itu pilihan tepat sebenarnya adalah berani berubah dan melakukan sesuatu yang baru yang dimungkinkan  lebih menguntungkan.

Kebetulan saja, selama ini saya pernah ikut dalam mengembangkan lembaga pendidikan. Kesempatan itu, saya gunakan untuk  mengajak teman  melakukan perubahan. Pada awalnya,  ajakan itu selain ada pihak-pihak yang setuju, juga sebaliknya, ada   yang justru menolak, atau menakut-nakuti akan besarnya  resiko, agar perubahan itu tidak dilakukan.  Mereka yang menolak, saya amati adalah  orang yang tidak memiliki jiwa perubahan. Saya pernah  memiliki posisi strategis dalam melakukan perubahan Universitas Muhammadiyah Malang hingga menjadi besar seperti sekarang ini.   

Saya masih ingat, kampus milik persyarikatan Muhammadiyah itu, pada awalnya sangat kecil, kalah dibanding dengan perguruan tinggi swasta lainnya, seperti Universitas Merdeka Malang, STIE Malangkucicwara, Universitas Widyagama, ITN, IKIP PGRI yang sekarang menjadi Universitas Kanjuruan. Akan tetapi dengan berniat berubah,  untuk menjadikan Universitas Muhammadiyah Malang menjadi besar, maka semua yang terlibat di dalamnya  diajak  berani melakukan langkah-langkah perubahan,  sekalipun beresiko. Usaha itu ternyata berhasil, kampus Islam itu  menjadi maju dan besar.

Perubahan kelembagaan perguruan tinggi Islam selanjutnya, saya lakukan terhadap  STAIN Malang.  Di lembaga ini posisi saya lebih strategis, yaitu sebagai pimpinan tertinggi. Di UMM, ketika itu, peran saya  hanya sebagai Wakil Rektor di bidang akademik, sekalipun peran lain juga saya lakukan. Dengan demikian, tatkala melakukan perubahan di STAIN Malang hingga menjadi UIN Malang, saya bisa melakukan hal-hal yang lebih cepat dan strategis.

Melakukan perubahan yang melibatkan banyak orang ternyata harus menghadapi banyak hal,  di antaranya   yang tidak mudah  adalah menghadapi orang-orang yang bermental takut berubah. Orang-orang seperti itu rupanya memiliki pandangan,  bahwa dunia itu sudah terbentuk seperti yang dijalaninya sehari-hari. Kehidupan itu sudah ditentukan, oleh karena itu maka sikap yang paling tepat adalah menjalninya saja. Mereka tidak sadar, bahwa dunia ini bisa dirubah termasuk perguruan tinggi di mana mereka bekerja.

Selain itu sebenarnya ada pihak-pihak yang menghendaki perubahan, tetapi tidak tahu bagaimana melakukannya,  kekutana apa yang harus disiapkan, dan dari mana perubahan memulainya. Mengajak orang yang sudah menyadari betapa pentingnya perubahan tetapi sekedar tidak mengerti melakukannya  adalah  tidak terlalu sulit, sekalipun mereka juga  memiliki perasaan khawatir dan takut akan resiko yang harus dihadapi dan ditanggung atas perubahan yang akan dilakukan itu.

Ketika mengawali perubahan di STAIN Malang, saya sekedar mau membuat ma’had di kampus, pada awalnya banyak orang tidak menyetujui dengan berbagai alasan. Ma’had dikatakan tidak cocok diletakkan di tengah perguruan tinggi. Sebab, antara pesantren atau ma’had dengan perguruan tinggi  memiliki visi, tradisi, dan orientasi yang berbeda.  Mereka yang tidak menyetujui rencana itu  beralasan, bahwa  sesuatu yang berbeda tidak akan mungkin dihimpun dalam satu wadah. Belum lagi alasan tidak tersedianya dana. Tanpa mau mencoba terlebih dahulu, mereka sudah berkesimpulan tidak mungkin.

Pengalaman lain yang saya rasakan lebih sulit lagi adalah tatkala melakukan perubahan institusi, yaitu mengubah bentuk  sekolah tinggi menjadi universitas.  Semua tahu bahwa perguruan tinggi berbentuk universitas lebih besar dari sekedar  sekolah tinggi. Sebagai orang yang  menyukai sesuatu yang lebih besar, lebih maju, dan lebih membanggakan, semestinya akan segera mendukung inisiatif perubahan itu, tetapi ternyata justru sebaliknya,  mereka  merasa khawatir, takut, dan sehari-hari hanya menginventarisasi resiko dari usaha melakukan perubahan itu. Orang yang berjiwa takut perubahan   tentu akan selalu  mengganggu.

Contoh  perubahan tersebut sebenarnya hanya ukuran kecil, yaitu sekedar  menambah kelengkapan perguruan tinggi dengan ma’had, dan perubahan kelembagaan dari sekolah tinggi menjadi universitas, tetapi ternyata tidak mudah dan memerlukan waktu lama. Bisa dibayangkan,  betapa beratnya melakukan perubahan berskala besar, seperti mengubah bangsa ini menjadi maju, dan lebih besar lagi.

Dari keterlibatan melakukan  beberapa perubahan itu, maka kesimpulan yang saya peroleh di antaranya adalah,  bahwa perubahan itu harus diawali dari mental. Mental penakut berubah harus  diubah menjadi berani berubah. Akan tetapi  merubah mental itu sendiri tidak cukup dilakukan dengan ceramah, nasehat, menyuruh membaca buku-buku atau berdiskusi membahas tentang perubahan, melainkan harus diubah bersamaan dengan melakukan perubahan itu sendiri. Manusia harus diubah lewat proses perubahan,  dan hanya dengan cara itu, maka  mental takut berubah, insya Allah,  akan hilang dengan sendirinya. Wallahu a’lam


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar