Kumpulan E-Book ada di sini

E-Book berbagai disiplin ilmu ada di sini. Cari pada label sesuai dengan keinginan anda. Dapat di download secara gratis.

Berita Seputar Dunia Pendidikan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kumpulan Artikel, Makalah, Opini, Cerpen, Resensi, dll

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Politik di Zaman Rasulullah i



Akhir-akhir ini di tengah berbagai persoalan bangsa yang tidak kunjung berakhir, sementara orang melihat kembali pemerintahan di zaman Rasulullah. Keinginan itu muncul dari kenyataan bahwa kehidupan masyarakat Madinah pada zaman kehidupan Rasulullah dianggap ideal. Sekalipun pada zaman itu masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok yang berbeda, ------selain kaum muslimin, juga terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi mereka bisa hidup rukun dan damai. Begitu pula, masyarakat muslim sendiri terdiri atas kaum Muhajirin dan kaum Anshar, semua itu berhasil dipersatukan secara kokoh.

Idealitas masyarakat tersebut masih diakui hingga sekarang, sehingga seringkali mengundang pertanyaan, mengapa tatanan sosial yang sedemikian indah itu tidak bisa berlanjut dan apalagi bisa diimplementasikan di berbagai tempat dan waktu yang berbeda. Umat Islam sendiri di mana-mana gagal mengimplementasikannya. Konflik-konflik dan bahkan perang antar umat Islam sendiri masih sering terjadi. Bahkan konflik itu terjadi tidak saja antar negara, melainkan juga antar madzhab, aliran, dan juga pandangan yang berbeda. Hal demikian itu tentu tidak bisa disimpulkan bahwa tauladan dalam bermasyarakat dan apalagi bernegara yang dicontohkan oleh Rasulullah tidak bisa diimplmentasikan. Asalkan mau, apa saja yang dilakukan oleh utusan Allah itu masih tetap bisa dijalankan di mana saja.

Tatkala Islam belum berhasil sepenuhnya diimplementasikan, maka ada saja alasan yang digunakan untuk melegitimasi kegagalan itu. Misalnya, pada zaman setelah nabi sudah tidak turun lagi wahyu. Selain itu, juga disebut bahwa tauladan setingkat Nabi sudah tidak ada lagi. Kedua alasan itu sebenarnya dengan mudah bisa dibantah. Alasan pertama, bahwa wahyu sudah tidak turun lagi merupakan pandangan yang mengada-ada. Sebab, sebenarnya wahyu itu sudah ada, yaitu sudah tertulis dalam kitab suci al Qur’an, dan bahkan wahyu itu sudah ditulis secara sempurna. Demikian pula, manakala alasan itu masih ditambah lagi bahwa tauladan sudah tidak ada lagi, maka sebenarnya tauladan itu juga telah ditulis lewat kitab-kitab hadits nabi.

Maka persoalannya sekarang ini adalah tidak ada kemauan yang sunguh-sungguh untuk menjalankannya. Banyak orang berbicara tentang keindahan Islam. Ajaran Islam yang indah itu diperdengarkan, dibahas, dan dijadikan bahan diskusi di mana-mana, di berbagai tempat. Lebih dari itu, Islam juga diajarkan di sekolah-sekolah, madrasah, pesantren, hingga di perguruan tinggi. Hanya sayangnya, ajaran itu baru sampai pada tingkat dijadikan bahan bahasan, materi diskusi, atau diajarkan, tetapi masih kurang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keadaan seperti itu menjadikan Islam hanya indah pada tataran konsep, tetapi belum pada tingkat amal. Umat Islam kaya pengetahuan tentang Islam, tetapi masih miskin implementasi. Sebagai akibatnya pula, maka seringkali terdengar ucapan yang mengatakan bahwa Islam sedemikian indah, tetapi tidak bisa sepenuhnya dijalankan. Banyak orang mengakui keindahan ajaran Islam, tetapi tidak terlalu mudah melihat secara nyata keindahan itu. Apalagi, tatkala melihat institusi yang menyandang nama Islam, masih banyak yang keadaannya masih jauh dari gambaran keindahan itu. Misalnya, banyak lembaga pendidikan Islam, rumah sakit, lembaga sosial, dan bahkan tempat ibadah, yang keberadaannya kurang menggambarkan sebagai telah diwarnai oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Gambaran itu semua terjadi oleh karena kurang adanya kesungguhan, kesabaran dan bahkan juga keikhlasan dalam menjalankan ajaran Islam. Masih banyak kaum muslimin mengaku membela Islam, berjuang demi Islam, dan bahkan berkorban untuk Islam, akan tetapi apa yang diniatkan itu masih belum sepenuhnya dijalankan. Semestinya Islam bukan sekedar berada pada tataran pikiran, ucapan, dan wacana, melainkan harus segera diwujudkan dalam tindakan sehari-hari. Islam tidak saja mengajarkan akan keharusan membangun masjid, misalnya, tetapi juga hendaknya menggunakan sarana itu sebagai tempat ibadah dan shalat lima waktu bersama-sama. Akan tetapi dalam hal penggunakaan tempat ibadah saja, ternyata masih secara terbatas. Tempat ibadah itu kebanyakan masih sepi dari jama’ah. Mereka membanggakan masjid sama dengan membanggakan Islam, tetapi belum sepenuhnya digunakan atau diimplementasikan.

Pada zaman Rasulullah, ajaran itu dijalankan sepenuhnya. Nabi menjalankan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Antara al Qur’an dan tindakan Nabi sejalan. Bahkan hingga disebutkan bahwa akhlak nabi adalah al Qur’an itu sendiri. Sayangnya setelah ajaran itu sampai pada umatnya, di samping ajaran itu banyak yang kurang dipahami, juga kurang dijalankan. Itulah akibatmnya, umat Islam tidak berhasil mendapatkan kelezatan dari keberislamannya itu. Ajaran Islam seolah-olah jauh dari umatnya, tidak terkecuali dalam berpolitik. Orang lebih suka berdebat tentang politik Islam daripada menjalankan politik sesuai ajaran yang mulia itu.

Islam mengajarkan harus saling bersatu, bermusyawarah, saling memperkokoh, menghargai, dan menghormati pendapat orang lain, memperhatikan semua, dan seterusnya. Namun pada kenyataannya, sekarang ini di antara umat sendiri masih berbecah belah, konflik, berebut, dan bahkan saling menjatuhkan. Dalam berpolitik, di zaman Rasulullah dilakukan saling memperkokoh dan mempersatukan atas dasar akhlak mulia, bukan sebaliknya. Wallahu a’lam.

Imam Suprayogo

Pintu Masuk Memahami Masyarakat



Setiap orang selalu hidup di tengah-tengah masyarakat. Tidak pernah ada orang yang hidup menyendiri, tanpa bergaul dengan orang lain. Akan tetapi, ternyata tidak semua orang  dengan mudah memahami masyarakat. Aneh, berada di masyarakat, tetapi tidak paham tentang orang-orang di kanan-kirinya. Atau, bisa jadi, terhadap dirinya sendiri juga tidak mengerti.

Kumpulan orang-orang yang hidup bersama biasa disebut masyarakat. Atas dasar pengertian itu maka akan muncul istilah warga masyarakat, kelompok masyarakat, dan atau masyarakat pada umumnya. Sebutan masyarakat ditujukan pada sekumpulan orang yang hidup bersama-sama di suatu wilayah. Mereka membangun hubungan bersama, baik dalam berekonomi, kekuasaan, pendidikan, berkeluarga, dan lain-lain.

Dalam setiap masyarakat, ada beberapa orang atau kelompok yang memiliki pengaruh lebih besar dari lainnya. Mereka itu menjadi berpengaruh oleh karena kelebihannya. Misalnya dalam penguasaan ekonomi, ilmu pengetahuan, keturunan, dan lain-lain. Sebaliknya, ada sekelompok orang yang  justru terpengaruh oleh karena tidak memiliki kelebihan di tengah-tengah lainnya. Orang seperti itu, sekali pun dalam hal-hal tertentu memiliki otoritas pada dirinya, tetapi harus mengikuti pihak lain yang berpengaruh itu.

Perbedaan kekuatan yang dimiliki masing-masing orang itulah yang menjadikan seseorang atau kelompok  menempati posisi berbeda-beda. Para ilmuwan sosial menyebut bahwa pada setiap kelompok masyarakat terdapat stratifikasi sosial yang bisa dilihat dari tinjauan tertentu. Orang-orang tertentu yang kemudian berpengaruh biasanya memiliki berbagai jenis kelebihan, misalnya kekayaan, ilmu pengetahuan, dan juga keturunan yang dianggap lebih unggul.

Posisi-posisi strategis yang dipandang menguntungkan dari berbagai aspeknya itu selalu  ingin diraih dan bahkan juga diperebutkan. Tetapi memang terdapat kelebihan atau kekuatan seseorang yang  diterima begitu saja, misalnya keturunan, etnis, dan sejenisnya. Akan tetapi ada hal lain yang bersifat terbuka dan boleh diperebutkan oleh siapapun. Misalnya adalah penguasaan ilmu pengetahuan, ekonomi, pengaruh, dan semacamnya.  Sebagaimana yang disebutkan terakhir, setiap orang boleh menguasai dan meraih posisi tertinggi. Sekali pun demikian, pada masyarakat tertentu dibangun mitos, bahwa hanya orang-orang tertentu yang dibolehkan untuk meraihnya.

Setiap kehidupan masyarakat terdapat mekanisme berupa aturan, tradisi, atau bahkan hukum yang dilegalkan untuk  dijadikan pegangan bagi setiap orang dalam memenuhi hasratnya melakukan mobilitas, vertikal maupun horisontal. Seseorang yang ingin mendapat pengakuan dari lingkungannya, yang bersangkutan berusaha mendapatkan kelebihan yang dinilai tinggi dalam jumlah sebanyak-banyaknya. Atas dasar kelebihan yang dimiliki, dalam tradisi pendidikan formal, misalnya, seseorang  kemudian diberi wewenang menggunakan gelar akademik, dan lain sebagainya.

Gambaran singkat dan sederhana tersebut menunjukkan bahwa di tengah-tengah masyarakat selalu terjadi proses-proses sosial yang kadang sedemikian rumit dan tidak mudah dipahami. Pada kehidupan sosial terdapat stratifikasi sosial yang tidak selalu dilihat dengan ukuran tunggal, tetapi majemuk dan bervariatif. Atas dasar adanya strata sosial itu, maka terjadi dinamika yang diakibatkan oleh adanya kompetisi, konflik, kooperasi, berorganisasi, saling mempengaruhi, mengkooptasi, menghegemonik, dan lain-lain.   

Selain itu, perilaku masyarakat juga dibentuk oleh aspek-aspek yang bersifat internal. Misalnya, bahwa setiap orang dalam berperilaku selalu didorong oleh keinginan, motivasi, semangat, atau jiwa lain yang menggerakkannya. Kekuatan yang disebutkan itu masing-masing orang tidak sama, sehingga akan melahirkan perilaku yang berbeda-beda pula. Tentu masih banyak hal lain yang menjadi kekuatan untuk melihat perilaku seseorang dan atau masyarakat, misalnya terkait dengan budaya, adat kebiasaan, sejarah, dan lain-lain.

Berangkat dari pemahaman itu, maka tidak mungkin kiranya seseorang dalam memahami kehidupan sosial tidak berbekalkan pengetahuan dasar tentang masyarakat. Seseorang yang ingin tahu secara mendalam, apalagi bersifat ilmiah, tentang kehidupan sekolah, misalnya, baik terkait dengan kepemimpinan, manajemen, hubungan kepala sekolah dengan para guru bawahannya, guru dengan muridnya, dan lembaga pendidikan dengan masyarakatnya, maka tidak akan mungkin dicapai tanpa mengenal ilmu sosial sebagaimana digambarkan di muka. Kalau pun dipaksakan, hasil kajiannya tidak akan bersifat mendalam, hingga sampai pada hakekat yang ingin diketahui.

Lebih jelasnya lagi, masih sebagai contoh, bahwa seorang peneliti sosial yang sedang mengkaji tentang keterlibatan masyarakat terhadap suatu lembaga pendidikan, lalu hanya melihat seseorang atau beberapa orang yang sedang ikut aktif membantu sekolah, lantas menyimpulkan bahwa telah terjadi  partisipasi terhadap sekolah, maka kesimpulan itu tidak cukup. Bentuk kegiatan semacam itu memiliki makna yang tidak selalu sederhana. Bisa jadi keterlibatannya itu oleh karena dikooptasi oleh kepala sekolah, kepala desa, atau bahkan juga ketua pengurus sekolah itu. Peneliti akan benar-benar berhasil memahami secara mendalam manakala yang bersangkutan memahami tentang nilai, kepercayaan, posisi lembaga pendidikan itu di masyarakatnya, pihak-pihak yang berpengaruh, dan seterusnya.

Tanpa pengetahuan ilmu sosial, sosiologi, psikologi, sejarah, dan atropologi, maka pemahaman yang diperoleh akan bersifat dangkal dan tidak akan berhasil menjawab persoalan yang sebenarnya. Seringkali peneliti, tatkala akan menulis skripsi, tesis, dan apalagi disertasi juga mendapat kesulitan di tengah jalan, hingga usahanya berhenti, tulisannya tidak kunjung selesai. Itu semua sebenarnya adalah akibat dari penguasaan teori sosial yang kurang memadai. Tanpa berbekal teori sosial yang cukup, maka usaha untuk memahami kehidupan sosial selalu menemui kesulitan dan bahkan juga kegagalan. Teori sosial itulah yang saya maksud dengan pintu memahami masyarakat. Wallahu a’lam.  

Imam Suprayogo

Pintu Dikenal sebagai Orang Besar



Suatu ketika,  ada seorang datang menanyakan bagaimana menjadi orang besar. Pertanyaan itu terasa aneh, tetapi sebenarnya mengandung kekuatan yang tidak semua orang memilikinya. Orang yang bertanya itu, saya anggap  setidaknya memiliki cita-cita yang relatif jelas. Ia menginginkan agar hidupnya dikenal dan memberi sesuatu bagi orang lain.

Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya jelaskan bahwa yang saya maksud sebagai   orang besar sebagaimana yang ditanyakan itu berbeda dengan orang pupuler, terkenal, atau masyhur. Orang  besar tidak sekedar  populer atau masyhur. Sebab, seorang koruptor bisa jadi populer atau masyhur, tetapi ia bukan seorang besar.    Yang saya  maksud sebagai orang besar sebagaimana yang ditanyakan itu adalah orang yang memberi manfaat bagi orang lain.

Penyandang nama  besar biasanya sekaligus juga  populer, terkenal dan masyhur. Sebagai contoh,  Presiden Soekarno adalah orang besar. Proklamator ini  sangat masyhur dan dikenal di berbagai negara di dunia ini. Ia dikenal tidak saja ketika masih hidup, melainkan juga dalam waktu yang lama. Sekalipun yang bersangkutan sudah meninggal dunia, masih tetap akan dikenang hingga beratus-ratus tahun.

Menjadi orang besar adalah sama artinya dengan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tentu kebesaran itu bertingkat-tingkat, sesuai dengan manfaat yang berhasil diberikannya. Seseorang hanya memberi manfaat sebatas lingkup keluarganya, orang-orang yang berada di lingkungan tempat tinggalnya, di organisasi di mana yang bersangkutan bergabung,  atau  senegara atau sebangsanya, dan bahkan lebih luas dari itu, ialah pada seluruh kehidupan tanpa batas tempat atau waktu.

Banyak orang tidak memiliki kepedulian terhadap orang lain, sehingga hidupnya tidak memberi manfaat, kecuali untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Orang seperti ini tidak akan mungkin disebut sebagai orang besar. Akan tetapi,  bisa jadi, suatu saat, orang seperti ini menjadi terkenal dan atau masyhur oleh karena perbuatannya yang aneh. Misalnya, oleh karena stress,  ia lalu membakar diri dan seisi rumahnya. Berita itu lalu ditulis dan  disiarkan oleh media massa. Akhirnya, yang bersangkutan menjadi dikenal oleh banyak orang.

Berbeda dari contoh tersebut,  orang besar selalu peduli terhadap orang lain dan bahkan masyarakat luas.  Semakin  luas dan banyak orang yang mendapatkan manfaat dari kehidupan orang dimaksud, maka yang bersangkutan disebut sebagai  semakin  besar. Lagi-lagi, sebagai contoh yang mudah dipahami adalah  presiden Soekarno. Siapapun akan mengatakan bahwa, ia adalah seorang besar, oleh karena seluruh  hidupnya digunakan untuk berjuang membela rakyat.

Para nabi dan rasul adalah orang-orang besar. Mereka menjadi utusan Tuhan yang bertugas menyelamatkan kehidupan dalam sejarah  umat manusia. Sejarah kehidupan dan perjuangan mereka dipelajari, kata-kata dan perilakunya dijadikan pedoman, dan bahkan kecintaannya ditumpahkan kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang besar oleh karena telah memberikan seluruh hidupnya untuk kepentingan kehidupan ini.

Orang biasa tidak seperti rasul dan nabi. Nama besar bagi orang biasa hanya  sebatas  kemampuan dan seluas resonansi yang dibangun. Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan di muka, saya  sampaikan bahwa semua orang   berpeluang menjadi orang besar. Akan tetapi yang perlu dipahami bahwa kebesaran itu sebenarnya tergantung dari besar dan luasnya manfaat yang diberikan olehnya kepada kehidupan ini. Untuk menjadi orang besar, maka pikiran dan hatinya harus diperluas dan diperbesar. Sebab semua itu tergantung dari dua hal tersebut.

Seseorang akan berhasil  memberi manfaat terhadap orang lain, manakala yang bersangkutan menyandang pikiran, jiwa, dan hati yang besar. Islam mengajarkian tentang itu semua. Bahkan nabi juga pernah mengatakan, bahwa sebaik-baik orang adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Maka artinya, siapapun yang ingin menjadi orang besar, maka pintu yang harus dilalui adalah menjadi Islam, dalam arti setidak-tidaknya selalu berpikir, berjiwa,  dan berhati besar itu. Wallahu a’lam.     

Imam Suprayogo

Persoalan Besar Terkait Pendidikan Islam



Banyak orang mengatakan bahwa inti pendidikan Islam adalah membangun akhlak yang mulia. Kiranya pandangan itu tidak salah, oleh karena Nabi Muhammad diutus oleh Allah ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Namun persoalan yang tidak selalu mudah dijawab  adalah, bagaimana mendidik agar manusia memiliki akhlak yang mulia itu.

Akhlak mulia harus dimaknai secara luas. Akhlak tidak saja terbatas pada hal-hal terkait dengan hubungan manusia dengan manusia, hubungan anak dengan orang tuanya, hubungan murid  dengan guru dan orang yang tua pada umumnya, hubungan antara rakyat dengan penguasa, dan seterusnya. Akhlak yang dimaksudkan adalah akhlak dalam kehidupan secara lebih luas. 

Nabi pernah mengatakan bahwa, jika sesuatu pekerjaan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggu kehancurannya. Maka artinya bahwa sesuatu pekerjaan, menurut Islam  harus dikerjakan sebaik-baiknya, setepat-tepatnya, atau disebut sebagai beramal shaleh itu. Manakala umat Islam bisa menjalankan amal shaleh, maka tidak akan ada lagi orang yang kecewa, atau menyesal menggunakan apa saja yang dihasilkan atau diperbuat oleh orang Islam, oleh karena kualitasnya selalu terjaga.

Hal yang memprihatinkan adalah bahwa ternyata umat Islam pada umumnya masih lemah. Ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh umat Islam masih sangat terbatas dibanding dengan umat lainnya. Sehingga seolah-olah, menjadi muslim sama artinya dengan menjadi orang tertinggal atau orang yang selalu terlambat dan berada di belakang. Padahal al Qur’an mengajari agar  kaum muslimin menjadi umat terbaik, menjadi contoh dalam segala kebaikan, dan seharusnya memimpin umat lainnya. Kenyataan ini harus segera disadari oleh kaum muslimin sendiri.

Pendidikan Islam harus mampu menjadi kekuatan pengubah, yaitu mengubah cara pandang umat Islam, dan atau mampu mengubah agar umat Islam di berbagai tempat tidak ada lagi yang  terbelakang, bodoh, dan miskin. Umat Islam lewat pendidikan Islam seharusnya mampu  tampil sebagai contoh dan tauladan bagi umat lainnya. Melalui pendidikan Islam pula, agar umat Islam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga menjadi penentu bagi umat lainnya dan bukan seperti sekarang, masih menjadi pihak-pihak yang ditentukan.

Apa yang digambarkan tentang kehidupan ideal yang dibentuk melalui pendidikan Islam sebenarnya bukan hal baru. Al Qur’an sendiri memerintahkan umat Islam agar selalu membaca, yaitu memahami dirinya sendiri secara mendalam, memahami lingkungannya, memahami masyarakat, dan bahkan memahami ciptaan Allah baik yang ada di langit maupun yang terbentang luas di bumi. Manakala perintah al Qur’an itu ditangkap dan kemudian segera diimplementasikan, maka umat Islam akan menjadi maju. Penyandang identitas Islam akan dimaknai sebagai kemajuan, kaya ilmu, memiliki akhlak yang mudia, menguasai teknologi, dan seterusnya.

Sayangnya, persoalan pendidikan Islam masih berkutat pada wilayah filosofi pendidikan itu sendiri. Filsafat pendidikan yang mendasarkan pada al Qur’an dan hadits, ternyata tidak ditangkap secara utuh. Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh Islam, justru mengambil pandangan-pandangan dari orang yang tidak mengenal al Qur’an dan hadits nabi. Mereka tidak mau kritis terhadap apa saja yang diterima dari luar, dan sebaliknya  tatkala al Qur’an disebut, kadangkala  dianggap sebagai barang lama. Padahal, mereka itu terasa sekali belum memahami apa sebenarnya  dibicarakan oleh al Qur’an tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Apa yang saya sebut sebagai persoalan filosofis itu sangat mudah dirasakan, dan demikian pula disaksikan sehari-hari. Mereka menyebut pendidikan Islam manakala di sana diajarkan tentang syari’ah, ushuluddin, dakwah, adab dan tarbiyah. Selain itu juga  disebut sebagai pelajaran agama Islam  manakala diajarkan tentang fiqh, aqidah, akhlak, tarekh dan Bahasa Arab. Hal-hal seperti itu bukan berarti bahwa kajian dan pelajaran itu tidak penting. Saya tegaskan adalah sangat penting. Akan tetapi Islam bukan saja menyangkut hal itu. Manakala Islam sebatas itu saja yang digali dan dipelajari, maka umat Islam akan tetap ketinggalan sepanjang masa. Islam harus dipandang dalam perspektif yang luas dan selalu mendasarkan pada al Qur’an dan sunnah nabi,  yang  selalu disebut bersifat universal.

Umat Islam sebagai umat yang kuat, ungggul, dan mampu menjadi penentu manakala pendidikannya juga kuat. Yaitu pendidikan yang mampu membangun akhlak mulia dan  memiliki kemampuan mencipta, bekerjasama, dan mempruduk hal-hal yang diperlukan oleh siapapun dalam kehidupan ini. Umat Islam tidak boleh  hanya sebatas menjadi pengguna atau pengambil manfaat dari karya orang lain. Lewat pendidikannya, umat Islam harus selalu menjadi rahmat bagi lainnya. Secara teknis misalnya, hasil pendidikannya harus mampu membuat alat transportasi yang lebih modern, membuat alat komunikasi yang lebih canggih, memproduk  apa saja yang diperlukan dalam kehidupan, baik lewat berbagai macam teknologi, hasil-hasil  pertanian,  peternakan, kelautan, perdagangan yang semuanya itu jauh lebih modern.

Gambaran ideal tersebut di muka baru akan berhasil dijawab, manakala para pemimpinnya bersedia mengubah pendidikan Islam secara mendasar, mulai dari aspek filosofis, strategis,  maupun pada tingkat teknis yang dijalankan sehari-hari. Pendidikan Islam yang  dikembangkan atas dasar wahyu dan tauladan utusan-Nya, maka harus lebih unggul dan kokoh. Sebaliknya,  manakala tidak ada keberanian mengubahnya, maka pendidikan Islam akan tetap berada pada kubangan persoalan besar sebagaimana dialami sekarang ini. Wallahu a’lam.

 
Imam Suprayogo

Perilaku Aji Mumpung


Perilaku aji mumpung biasa dilakukan oleh orang  yang menduduki posisi tertentu dalam waktu terbatas dan menguntungkan. Mereka melakukan tindakan berlebihan untuk mendapatkan keuntungan pribadi tanpa memperhatian kerugian yang harus ditanggung oleh orang lain, lembaga,  dan atau  norma-norma yang harus dipelihara dan ditegakkan.

Orang-orang  melakukan tindakan  aji mumpung karena mereka sadar bahwa kekuasaan atau kewenangannya terbatas waktunya. Lagi pula, mereka merasa belum tahu secara jelas pada kesempatan mendatang, apakah  masih memiliki kesempatan yang sama  atau tidak.  Itulah sebabnya, dalam waktu yang terbatas itu,  mereka berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya yang bisa digunakan sebagai bekal pasca kesempatan itu sudah tidak dimiliki  lagi  olehnya.

Rupanya  sikap seperti itu berlaku umum,  artinya dilakukan oleh banyak  orang di mana-mana dan kapan saja. Oleh karena itu, jabatan yang mendatangkan keuntungan tetapi dibatasi   waktunya, maka  selalu melahirkan perilaku aji mumpung itu. Orang biasanya tidak mau kehilangan apa yang dirasakan menguntungkan. Maka dengan cara apapun dilakukan, agar kenikmatannya bisa dipertahankan. Salah satu caranya adalah melakukan sesuatu di luar batas itu, yang kemudian disebut dengan istilah aji mumpung.

Jabatan sebagai anggota legislatif, eksekutif, yudikatif dan bahkan juga di jajaran pegawai negeri sipil, pimpinan BUMN, bank, dan lain-lain, selalu dibatasi waktunya. Para pejabat itu akan sadar betul bahwa,  kekuasaan dan kenikmatannya terbatas waktunya. Mereka akan berpikir  tentang  masa depannya, dan  tidak akan mau kehilangan kenikmatannya itu. Cara yang dilakukan adalah mengumpulkan bekal hidup pasca jabatannya berakhir.

Perilaku aji mumpung akan bertambah besar lagi,  manakala jabatannya itu diperoleh dengan biaya mahal yang harus dikeluarkan. Apalagi, biaya itu bukan milik sendiri, melainkan barang pinjaman. Orang pada umumnya tidak akan mau menanggung rugi sekecil apapun. Kehidupan ini selalu diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu,  berkalkulasi, untung dan atau rugi. Pilihannya adalah selalu yang menguntungkan.

Menggunakan logika tersebut,  maka akan sangat mudah dipahami, tatkala banyak pejabat melakukan  korupsi. Tindakan korupsi yang terjadi di mana-mana, sebenarnya di antara sebabnya adalah,  sebagai konsekuensi adanya jabatan-jabatan yang dibatasi waktunya itu. Sementara alternatif lainnya tidak mudah didapat. Selain itu, korupsi juga terjadi sebagai akibat bahwa jabatan dipandang bukan sebagai amanah melainkan dijadikan peluang untuk mendapatkan kewibawaan, fasilitas, dan juga kekayaan.

Oleh karena itu, memberantas korupsi yang hanya dilakukan dengan cara menegakkan hukum, maka tidak akan berhasil secara sempurna. Siapapun tatkala berada dalam suasana mempertahankan hidup, nasib, dan juga keinginan, maka akan berani menghadapi resiko apapun, termasuk menghadapi hukuman. Dan, itulah di antaranya, mereka menampakkan perilaku aji mumpung itu. Sebenarnya, perilaku aji mumpung selalu bertali temali dengan budaya dan sistem sosial, serta selalu menjadi sumber atau pendorong lahirnya perilaku korup yang tidak disukai oleh semua orang.     


Peran Sebagai Khalifah



Menurut al Qur’an,  peran manusia sebenarnya adalah sangat mulia, yaitu sebagai khalifah di muka bumi. Kita mesti membayangkan bahwa peran seorang khalifah adalah sebagai pengatur, pemimpin, pengelola atau manajer. Peran itu bukan sembarangan, dan tidak diberikan ke sembarang makhluknya, kecuali kepada manusia. 

Sebagai bekal menjalankan peran itu manusia dilengkapi dengan piranti lebih dibanding makhluk lainnya. Manusia dilengkapi dengan akal,  qalb, nafsu,  selain juga  bentuk tubuh yang sedemikian indah.  Berbekalkan akalnya,  manusia diharapkan bisa berpikir jernih, mampu melihat dan memahami dirinya sendiri, dan alam semesta.

Selain itu dengan hatinya, maka manusia diharapkan bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, sesuatu yang benar dan yang salah,  tentang keindahan, kejujuran, keadilan, kearifan,  dan  lain-lain. Orang yang hatinya baik, maka akan mampu memilih sesuatu yang baik dan indah. Begitu sebaliknya, orang yang hatinya sedang sakit, maka apa saja dianggap buruk. Itulah sebabnya hati diumpamakan sebagai kaca. Kaca yang buruk akan memantulkan gambar yang tidak jelas..

Manusia juga dikaruniai nafsu atau keinginan, baik nafsu berbuat negatif  maupun nafsu berbuat positif. Dua jenis nafsu itu ada pada diri semua orang. Dikatakan bahwa,  setiap orang harus mampu mengendalikan nafsu yang ada pada dirinya. Orang yang tidak mampu mengendalikan nafsu negatif, maka yang bersangkutan akan kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya.

Tidak semua orang mampu mengendalikan nafsunya. Sekalipun seseorang tahu misalnya, bahwa sesuatu perbuatan adalah jelek dan merugikan dirinya sendiri, tetapi toh kegiatannya itu dilakukannya.  Mereka  tahu bahwa meminum narkoba adalah merusak dirinya sendiri, tetapi tidak semua orang mampu menghindar dari perbuatan itu. Korupsi adalah dilarang dan pelakunya akan dipenjara, tetapi masih saja dijalani dan akhirnya benar-benar yang bersangkutan masuk bui.

Nafsu itu tidak selalu buruk dan merugikan. Masih terdapat pada diri manusia  nafsu untuk berbuat baik. Seseorang yang menjadi senang  tatkala melihat orang lain bergembira, beruntung, selamat,   dan sejahtera adalah bertanda bahwa yang bersangkutan memiliki nafsu baik. Demikian pula  orang yang sehari-hari menegakkan keadilan, kejujuran, dan mengajak kepada kebaikan. Sebagai khalifah, maka seseorang seharusnya selalu memelihara nafsu untuk berbuat  kebaikan itu.

Berbekalkan akal, hati,  dan nafsu  saja ternyata, manusia  tidak akan mampu mengemban amanah sebagai khalifah. Bekal tersebut  harus disempurnakan dengan  petunjuk lainnya, ialah ajaran yang bersumber dari al Qur’an dan Hadits Nabi. Orang yang hanya  menggunakan akal dan hatinya semata tidak akan cukup,  bahkan sekedar  menjadi khalifah terhadap dirinya sendiri,  apalagi menjadi khalifah  terhadap orang lain atau lebih-lebih  terhadap alam lingkungannya.

Peran kekhalifahan akan bisa dijalankan secara baik manakala semua jenis bekal yang dikaruniakan oleh Tuhan dimanfaatkan sebaik-baiknya, yaitu akal, qalb, nafsu, dan juga ajaran yang bersumber dari kitab suci dan tauladan dari nabi-Nya.  Bahkan selain itu semua,  siapapun masih harus  selalu memohon kepada Allah, agar  dikaruniai kekuatan dan hidayah  untuk menjalankan amanah itu.  Peran sebagai khalifah memang mulia, tetapi  siapapun  tidak  mudah menjalankannya. Wallahu a’lam.


Imam Suprayogo

Penyebab Buta dan Tuli




Akhir-akhir ini banyak orang buta dan tuli. Tentu yang dimaksud dengan buta dan tuli di sini,  bukan buta dalam pengertian fisik atau sebenarnya. Melainkan,  buta dan tuli dalam arti bahwa seseorang  sudah tidak mampu melihat kenyataan dan kebenaran. Apa saja yang sangat dicintai,  sekalipun beresiko sangat tinggi, tetap  diambil dengan berbagai cara.

Banyak orang sangat mencintai kekuasaan dan harta. Mereka mengira bahwa dengan kedua kekayaan itu akan mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan. Bahkan,  juga berdalih bahwa dengan kekuasaan dan harta, maka  akan bisa digunakan untuk  berdakwah, menyebar luaskan agamanya. Oleh karena itu, kekuasaan harus direbut, entah bagaimanapun caranya. 

Kecintaan terhadap sesuatu, boleh-boleh saja. Akan tetapi,  jika berlebihan atau  melebihi batas, maka akan beresiko tinggi. Orang yang berlebihan dalam mencintai  kekuasaan dan harta,  maka akan buta dan tuli. Mereka itu  tidak akan mampu melihat lagi kekurangan dan juga resiko dari kedua hal  itu. Tatkala sudah  buta dan tuli, maka  tidak akan mampu melihat apa saja, termasuk  petunjuk, tatakrama, peraturan,  dan bahkan juga nilai-nilai agamanya yang seharusnya dipegangi secara kokoh.

Beberapa waktu terakhir, banyak orang dikejutkan oleh  peristiwa yang sangat memprihatinkan. Banyak oknum  pejabat, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif,  dan bahkan  tokoh partai politik  beridentitas atau berlabel Islam terlibat  kasus korupsi.  Terasa aneh,  tokoh agama ikut-ikutan menyimpangkan uang negara. Hal itu terjadi oleh karena, mereka terlalu mencintai kekuasaan dan harta itu.

Kekuasaan dianggap segala-galanya. Mereka menganggap bahwa partai yang dipimpin harus menang. Membesarkan partai dianggap sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk menegakkan agamanya. Mencintai agama  diangap  sama dengan membela, menegakkan, dan memenangkan  partainya. Padahal keduanya berbeda. Agama disebut telah berhasil dijalankan manakala keadilan, kejujuran, kebenaran, keikhlasan berada pada masing-masing pribadi orang. Sedangkan kemenangan partai,  manakala telah mendapatkan dukungan rakyat sebanyak-banyaknya.

Mungkin mereka juga menggunakan logika, bahwa suatu saat ketika partai politik yang dipimpin telah menang, maka nilai-nilai luhur tersebut akan dengan mudah ditegakkan. Namun mereka lupa, bahwa tatkala sudah menang, maka masih harus mempertahankan kemenangannya. Sedangkan untuk meraih dan mempertahankan kemenangan itu memerlukan taktik, trategi, siasat yang kadang jauh dari nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan juga keikhlasan.

Logika apapun bisa dibangun untuk membenarkan pandangannya. Hal itu terjadi dan selalu dilakukan, manakala seseorang sudah sedemikian  mencintai sesuatu. Siapapun boleh mencintai apa saja, asalkan ada manfaatnya dan tidak berlebih-lebihan. Mencintai sesuatu yang berlebih-lebihan akan menjadikan seseorang tuli dan buta. Para tokoh Islam yang akhirnya juga melakukan korupsi, disebabkan oleh terlalu cintanya terhadap partai, kekuasaan,  dan harta yang diperlukan untuk itu.

Dalam Islam,  terlalu mecintai  harta dan kekuasaan tidak dibolehkan. Hal demikian itu dianggap berakhlak buruk. Cinta yang seharusnya dibangun secara sungguh-sungguh hanyalah kepada Tuhan dan  rasul-Nya. Umat Islam dianjurkan selalu mencintai  Allah swt. Dan rasul dengan banyak berdzikir,  memelihara keimanan, beramal shaleh, dan berakhlakul karimah. Hanya dengan cara itu, maka siapa saja akan selamat, baik di dunia maupun  kelak di akherat. Mencintai  Allah dan Rasul akan menjadikan mata dan hati seseorang   tidak tuli dan  tidak buta,  bahkan sebaliknya, akan semakin terang dan bercahaya. Wallahu a’lam.  

         
Imam Suprayogo

Penyakit Lembaga Pendidikan



Sebagaimana kehidupan pada umumnya, lembaga pendidikan  kadangkala juga  terkena penyakit. Penyakit itu bisa bermacam-macam bentuknya. Saling tidak percaya, tuduh menuduh,  berebut sesuatu yang tidak semestinya dan bahkan berbagai konflik disfungsional  adalah merupakan penyakit di institusi yang bersangkutan. Manakala penyakit itu sudah terjadi dan menjalar ke mana-mana, maka suasana pendidikan akan terganggu.

Tidak sulit mencari lembaga pendidikan yang terkena penyakit, baik lembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh swasta. Lembaga pendidikan yang terkena penyakit, tentu akan sulit maju. Bahkan kalau tidak berhasil disembuhkan, maka lembaga pendidikan yang terkena penyakit itu tidak akan berkembang. Banyak lembaga pendidikan yang semula  dinamis dan maju, dalam waktu yang tidak terlalu lama,  menjadi surut, dan akhirnya tutup.

Berbeda dengan penyakit fisik, mencari penyakit di lembaga pendidikan kadangkala tidak mudah. Penyakit fisik, apalagi yang berkadar ringan, seperti sakit flu, matuk, mulas dan lain-lain, maka gampang dideteksi dan kemudian diberikan obatnya. Bahkan  sekarang ini, berbagai jenis  penyakit  fisik, dengan  teknologi modern, dengan mudah ditemukan dan selanjutnya segera diberikan pengobatan.

Hal tersebut tidak sama dengan penyakit pada institusi pendidikan. Penyakit lembaga pendidikan pada umumnya diawali  oleh  adanya orang-orang yang berpenyakit hati yang ada di dalam institusi itu. Penyakit itu misalnya  iri hati, dengki, hasut, dan lain-lain. Penyakit juga muncul oleh karena di lembaga pendidikan ada orang-orang   kufur nikmat, tidak ikhlas, kurang sabar, tidak istiqomah dan masih banyak lagi lainnya.   

Dalam sebuah pertemuan dengan Inspektorat Jerndral Kementerian Agama,  beliau mengajak  berbicara tentang penyakit lembaga pendidikan.  Menurutnya, banyak lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat pengkhianat institusi. Orang-orang dimaksud hanya oleh karena hatinya tidak mampu bersyukur, iri hati, dendam dan lain-lain, maka menjadi  tega melakukan sesuatu yang jelas-jelas bisa merusak citra lembaga pendidikan di mana mereka bekerja.

Beliau menyebut bahwa ternyata tidak sedikit lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan  Kementerian Agama terkena penyakit itu. Berkali-kali, beliau menyebut istilah adanya pengkhianat institusi. Menurut Irjen Kementerian Agama, penyakit itu dengan berbagai cara harus dihilangkan. Kalau dibiarkan, maka institusi pendidikan  itu tidak  akan berhasil menjalankan fungsi-fungsinya secara maksimal,  dan bahkan akan mundur.


Sebagai contoh,  lembaga pendidikan yang sedang terkena penyakit itu adalah STAIN Bukit Tinggi. Oleh karena adanya orang yang disebut sebagai  pengkhianat institusi itu, maka  ketua perguruan tinggi ini sudah beberapa bulan ditahan dan dalam proses menjalani pengadilan. Kesalahan Ketua STAIN Bukit Tinggi ini sebenarnya  sederhana saja, sehingga umpama institusi itu sehat,  artinya tidak ada penyakit berupa pengkhianat institusi, maka   tidak akan sampai  melibatkan pengadilan segala. Wallahu a’lam.  

Top of Form
Imam Suprayogo

Penjara dan Puasa



Hubungan antara penjara dan puasa terasa jauh. Penjara adalah tempat yang dipersiapkan oleh penguasa untuk menghukum orang-orang yang dianggap telah melanggar hukum dan atau melakukan perbutan kriminal. Sementara itu, puasa adalah kewajiban yang dibebankan kepada kaum beriman berupa meninggalkan  makan, minum,  hubungan suami isteri, dan hal lain yang membatalkannya, dari terbitnya fajar hingga matahari tenggelam.
 
Namun di antara keduanya, yaitu antara penjara dan puasa, masih terdapat persamaannya. Penjara dan puasa sama-sama berfungsi untuk menjadikan orang semakin baik. Penjara diadakan agar orang-orang yang melakukan kejahatan dan atau melanggar hukum menjadi  jera dan  tidak melakukan kejahatan lagi. Sementara itu, berpuasa dimaksudkan agar seseorang menjadi bertambah taqwa. Ketaqwaan tumbuh dari  kesadaran yang mendalam setelah menjalani puasa itu.
 
Sekalipun memiliki kesamaan, tentu perbedaan di antara keduanya  jauh lebih banyak. Secara psikologi, harga diri orang yang sedang dipenjara jatuh, mereka merasa dipermalukan, terhina, menjalaninya secara terpaksa, dan merasa menderita. Perasaan malu bukan saja dialami oleh yang bersangkutan, melainkan juga oleh sanak famili atau keluarganya. Memang hal itu masih  ada pengecualian. Mereka  yang dipenjara bukan karena kejahatan biasa, melainkan dianggap melakukan kejahatan politik,  tidak selalu merasa seperti itu.
 
Pada masa perjuangan dulu,  banyak tokoh-tokoh politik dipenjara. Ir. Soekarno beberapa kali masuk penjara dan bahkan dibuang ke beberapa daerah rawan dan membahayakan sebagai hukuman. Tetapi, hukuman itu tidak menjadikan Ir. Soekarno  malu dan harga dirinya jatuh. Begitu pula ulama besar Indonesia, ialah HAMKA pernah dihukum oleh karena dianggap  bersikap dan pandangannya tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.  Sekalipun dihukum,  harkat dan martabat ulama ini tidak jatuh, dan bahkan  di dalam penjara beliau menulis buku tafsir yang terkenal.
 
Akan tetapi apapun penjara tetap penjara. Penjara tidak akan bisa mengubah perilaku orang yang sebenarnya. Banyak orang sudah sekian lama dipenjara, setelah keluar, mereka  mengulangi perbuatan jahat lagi. Bahkan ada saja orang,  ketika sedang dipenjara,  justru belajar tentang kejahatan  di tempat itu. Akhirnya setelah bebas dari hukuman yang  dijalani, mereka  bukan bertambah baik, melainkan sebaliknya, tingkat  kejahatannya meningkat.
 
Untuk meningkatkan kualitas manusia, Islam tidak menganjurkan lewat penjara,  melainkan ditempuh melalui berbagai kegiatan ritual,  di antaranya  melalui puasa. Dengan berpuasa orang tidak turun derajadnya, bahkan jutru naik dan dihormati. Dengan berpuasa pula hati yang bersangkutan tidak sakit, --------tidak sebagaimana di penjara, melainkan justru gembira. Orang yang sedang berpuasa diberi janji-janji mulia seperti akan dikaruniai rakhmat, ampunan, dan dijauhkan dari api neraka. 
 
Selain hal-hal tersebut, mereka yang sedang berpuasa juga dianjurkan  banyak membaca kitab suci al Qur’an, shalat malam,  bersedekah, dan bersilaturahmi.  Orang yang berpuasa sehari-hari  dianjurkan untuk berkata benar, menunaikan amanah, dan sebaliknya menjauhkan diri dari apa yang saja yang menyakitkan orang, seperti ghibah, iri, dengki, hasut, permusuhan, dan lain-lain.
 
Meningkatkan kualitas orang, sebagaimana tujuan disyari’atkannya puasa,  seharusnya dilakukan secara berulang-ulang. Kecuali haji, oleh karena biayanya  besar, memerlukan waktu, dan tenaga yang tidak sedikit, maka ibadah itu hanya diwajibkan bagi yang mampu  sekali seumur hidup. Berbeda dengan haji, puasa dilakukan  pada setiap tahun dan  tugas itu gugur setelah  yang bersangkutan meninggal dunia.
 
Membandingkan antara puasa dan penjara dalam tulisan ini, sebenarnya  hanya ingin mengajak pembaca untuk berpikir bersama, apakah sistem penjara sebagaimana diterapkan di negeri ini masih perlu diteruskan.  Tujuan setiap penjara agar penghuninya  jera dan berubah  menjadi baik, ternyata tidak selalu tercapai. Banyak orang yang setelah keluar dari penjara kualitas kejahatannya justru meningkat.  
 
Selain itu, orang yang dipenjara melahirkan suasana dendam, merasa teraniaya, dan harkat dan martabatnya jatuh. Belum lagi, pembiayaan penjara  juga mahal, padahal tidak memberikan keuntungan apa-apa.  Salah satu keuntungan dari adanya penjara hanya memuaskan bagi orang yang terkena akibat kejahatannya itu. Tatkala  koruptor diadili dan kemudian dipenjara, maka banyak orang atau musuh-musuhnya merasa senang, oleh karena orang yang pernah dianggap menyakiti sudah berhasil dihukum.
 
Tetapi  manakala tidak ada sistem hukuman,  lalu bagaimana mengatasi kejahatan di tengah masyarakat. Tentu hukuman masih ada, tetapi tidak lewat penjara. Misalnya, orang yang telah benar-benar melakukan kejahatan ditugasi menanam pohon di hutan-hutan  gundul atau di suatu pulau tertentu, atau alternatif lain,  supaya mereka  bekerja apa saja yang bermanfaat bagi banyak orang.
 
Orang  pedesaan, terkait dengan hukum menghukum ini, kadang  memiliki  cara yang lebih arif dan atau bijak.  Menghukum orang yang melakukan kesalahan kadang lebih strategis dan tidak merugikan siapapun. Misalnya, pelaku kesalahan  diharuskan menyetor batu merah, semen beberapa sak, membelikan seragam petugas keamanan, dan lain-lain, yang kemudian semua  dimanfaat untuk  desanya.
 
Dalam kontek kekinian, orang kaya yang melakukan kesalahan, misalnya, diwajibkan membangun  jembatan, memperbaiki  bangunan sekolah, atau lainnya.  Hukuman seperti itu akan  lebih bermanfaat, manusiawi, dan melahirkan efek jera.  Lebih dari itu, semua pihak akan mendapatkan keuntungan, sekalipun tidak semulia  lewat puasa. Wallahu a’lam.       


Imam Suprayogo

Pendidikan Tinggi Berasrama





Upaya-upaya mencari  alternatif pendekatan  sebagai upaya  memberikan layanan pendidikan tinggi terbaik di mana-mana dilakukan.  Pendidikan tingi sebagai lembaga pencetak pemimpin bangsa ke depan dihadapkan  pada  kenyataan   yang semakin  berat,  komplek, pelik, sehingga tidak sederhana untuk dihadapi. Tuntutan kualitas pendidikan yang seharusnya diberikan, sebagai akibat semakin kerasnya tantangan kehidupan ke depan itu, tidak sekedar menyangkut akademik tetapi juga harus disempurnakan dengan  karakter yang terpuji.

Problem-problem sosial  yang semakin tidak mudah dihadapi, misalnya korupsi  yang dilakukan  oleh para elite bangsa, ancaman narkoba yang semakin tidak gampang diatasi, radikalisasi agama hingga  mengkhawatirkan banyak pihak,  bentrokan antar mahasiswa di kampus dan  juga di luar kampus, plagiarisme, dan berbagai persoalan lainnya ternyata berakar dan atau bersumber dari karakter yang kurang kokoh.

Menghadapi persoalan tersebut, pimpinan perguruan tinggi mau tidak mau,  dituntut tidak saja harus sibuk menjalankan tugas rutin memimpin penyelenggaraan perkuliahan, kegiatan  penelitian di laboratorium, pengabdian pada masyarakat, melainkan juga harus  mencari cara terbaik agar kualitas pendidikan tinggi  yang sebenarnya  bisa diraih. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sudah belasan tahun melengkapi kampusnya dengan  asrama sebagai ma’had yang dimaksudkan untuk menjawab persoalan tersebut di muka.

Ada berbagai persoalan mendasar yang harus dihadapi oleh perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitasnya. Misalnya, bahwa kempuan mahasiswa di bidang bahasa asing masih rendah, baik bahasa Arab maupun Bahasa Inggris. Kelemahan di bidang bahasa asing itu akan menjadikan mahasiswa   tidak mungkin  diajak untuk meningkatkan kualitas akademiknya oleh karena,  kebanyakan literatur yang  tersedia  di perpustakaan atau di tempat lainnya kebanyakan berbahasa asing.

Selain itu,  para mahasiswa terutama di awal masuk   pada umumnya masih memerlukan bimbingan dari kampus secara  intensif. Adaptasi peralihan status dari siswa sekolah menengah menjadi mahasiswa rupanya  tidak selalu mudah dialami oleh setiap orang. Manakala pada saat itu, mereka gagal menemukan lingkungan yang tepat, maka kegagalan akan dimulai dari sana. Pada umumnya mahasiswa baru menjadi sasaran pengaruh dari berbagai jenis organisasi yang belum tentu relevan dengan kegiatan kampusnya. Bagi mahasiswa baru, sekedar memilih afiliasi organisasi, -----oleh karena mereka masih baru, memerlukan bimbingan yang cukup.

Pada awal menjadi mahasiswa,  mereka seharusnya belajar tentang bagaimana membangun budaya akademik kampus, misalnya tentang cara berpikir imiah, berdisiplin dalam penggunaan waktu, dan seterusnya, ternyata semua itu terkalahkan oleh kegiatan organisasi yang tidak selalu jelas orientasinya.  Mahasiswa baru yang kebetulan tidak mendapatkan bimbingan secara cukup akan menjadi korban. Bahkan mereka menjadi kebingungan antara keharusan mengembangkan akademik atau  segera bergabung dalam berorganisasi.

Persoalan mahasiswa yang mengakibatkan budaya akademik tidak tumbuh dengan semestinya  berawal  dari proses permulaan  menjadi mahasiswa itu.  Atas dasar kenyataan dan  penilaian  tersebut maka   asrama, -------di UIN Maulana Malik Ibrahim disebut Ma’had,  bisa menjadi alternatif  agar bisa mengurangi  berbagai persoalan tersebut di muka.  Melalui  ma’had maka kemampuan bahasa asing, wawasan atau cara berpikir ilmiah,  kemampuan berorganisasi atau hidup bersama di tengah  perbedaan bisa dikembangkan.  Selain itu dengan adanya ma’had,  bagi    mahasiswa baru  bisa  beradaptasi dengan kegiatan akademik kampus secara mudah.

Keuntungan lainnya dengan adanya fasilitas kampus tersebut,   mahasiswa yang berasal dari berbagai  wilayah yang berbeda-beda,  dan apalagi pada saat sekarang ini, -------di UIN Maliki Malang,  dari berbagai negara, ma’had   sangat besar manfaatnya untuk segera saling mengenal antara satu dengan yang lain. Melalui ma’had  ini, para mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, etnis, adat istiadat, dan bahkan negara yang berbeda, akan saling mengenal. Pendidikan multikultur akan bisa ditanamkan melalui hidup berasama di asrama atau ma’had.

Oleh karena itu, keberadaan asrama atau  ma’had  sebenarnya   bukan sebatas dimaksudkan untuk membantu para mahasiswa untuk mendapatkan tempat tinggal, melainkan dijadikan sebagai bagian penting  dari pendidikan di perguruan tinggi.   Berbagai kegiatan, mulai dari pengenalan kampus, peningkatan kemampuan bahasa asing,   kegiatan ritual, berorganisasi,  saling mengenal dan memahami dalam  hidup bersama, semua itu  tidak akan  mudah diperoleh  di tempat lain. Ke depan, lebih-lebih dikaitkan dengan pendidikan karakter, maka asrama atau ma’had seharusnya dijadikan alternatif sebagai penyempurna dalam  peningkatan pendidikan, termasuk di perguruan tinggi. Wallahu a’lam. 


Imam Suprayogo

Pendidikan Penghafal Al Qur'an



Beberapa hari terakhir, saya mendapatkan informasi tentang semakin banyaknya lembaga pendidikan yang memfasilitasi para peserta didiknya untuk menghafal al Qur’an. Para pimpinan lembaga pendidikan itu meyakini bahwa untuk membentuk karakter tidak ada cara lain kecuali mendekatkan peserta didiknya dengan kitab suci itu. Tatkala orang berbicara tentang watak, karakter, atau akhlak maka semestinya yang dijadikan untuk acuan, bagi umat Islam, adalah al Qur’an.

Masih terkait dengan gerakan menghafal al Qur’an, pada hari Ahad, tanggal 10 Maret 2013, saya diundang oleh lembaga pendidikan penghafal al Qur’an di dua tempat, di Jember, yaitu di Yayasan Ibnu Katsir yang berpusat di tengah kota dan satu lagi di Pondok Pesantren Nahdlatut Thulabah, di Wuluhan. Pesantren tersebut terakhir ini berada di arah selatan, kira-kira 28 km dari kota Jember.

Dari dua lembaga pendidikan itu, saya mendapatkan kesan tentang betapa besarnya semangat menghafal kitab suci itu. Semangat itu tidak saja tampak dari para pengahafalnya itu sendiri, melainkan juga dari kemauan masyarakat untuk memberikan dukungan. Pada acara kegiatan Yayasan Ibnu Katsir yang digelar hari itu juga ditunjukkan adanya beberapa orang yang mewakafkan sebagian hartanya yang sekiranya diperlukan untuk kegiatan lembaga pendidikan penghafal al Qur’an.

Beberapa orang diumumkan, bahwa telah memberikan wakaf kepada lembaga pendidikan penghafal al Qur’an itu. Di antara wakaf itu berupa rumah yang cukup besar dan dalam keadaan baik untuk ditempati para siswa, kebun jati dan sengon yang kelak agar digunakan membangun sarana pendidikan, kendaraan roda empat maupun roda dua, dan lain-lain. Hal itu menggambarkan betapa sebenarnya, di tengah-tengah masyarakat yang sedang dilanda oleh penyakit korupsi, ternyata masih ada gerakan yang cukup mulia, yaitu mewakafkan sebagian hartanya untuk mendukung orang-orang yang mendekatkan dirinya pada kitab suci.

Di tempat lain, yaitu di Pesasantren Nahdlatut Thulabah di Wuluhan, Jember, jumlah para pengahafal al Qur’an jauh lebih banyak lagi. Tidak kurang dari 500-an santri, ketika pagi hari belajar di madrasah atau sekolah, sedangkan pada sore dan malam hari, mereka menghafal al Qur’an. Menurut penuturan para pengasuhnya, bahwa mereka yang belajar di sekolah sambil menghafal al Qur’an pada sore harinya, ternyata prestasinya selalu unggul. Maka artinya, bahwa dua jenis beban yang dijalani oleh para siswa dan santri berhasil dijalani sekaligus. Hal ini kiranya penting bagi para penyusun konsep pendidikan untuk selanjutnya dijadikan dasar dalam membuat model atau rumusan pendidikan yang bisa diimplementasikan bagi umat Islam di negeri ini.


Melihat pelaksanaan pendidikan penghafal al Qur’an itu, saya semakin yakin bahwa sebenarnya pendidikan karakter dan atau akhlak yang diinginkan oleh bangsa ini, sebenarnya tidak perlu dicari lagi rumusannya, tetapi cukup dilakukan dengan cara, yaitu mendekatkan para siswa dengan kitab suci agama mereka masing-masing. Bagi anak-anak muslim, maka dekatkanlah mereka itu dengan al Qur’an. Tatkala anak-anak sudah dekat dengan kitab suci, mulai dari berkebiasaan mempelajari, membaca, memahami, dan bahkan mencintainya, maka karakter dan atau akhlak itu akan terbina dengan sendirinya. Wallahu a’lam.


Imam Suprayogo

Pendidikan Kejujuran



Sementara orang masih menganggap sepele terhadap kejujuran. Padahal jujur adalah sangat penting untuk dijaga. Kejujuran merupakan kunci sukses, dasar seseorang dihormati, diangap berwibawa, dan semacamnya. Berbagai jenis usaha akan berhasil atau sukses manakala dilakukan dengan penuh kejujuran. Sebaliknya, kegagalan dan bahkan kehancuran selalu dimulai dari ketidakadanya kejujuran.

Bahkan menurut sejarah kemanusiaan, bangsa-bangsa hancur atau musnah bukan disebabkan oleh politik, ekonomi, hukum atau lainnya, melainkan oleh karena para pemimpin dan rakyatnya tidak jujur. Kaum Ad dan  Tsamud menjadi hilang dalam pentas sejarah oleh karena mereka tidak mampu memelihara kejujurannya.
 
Contoh tentang bahaya atau kehancuran yang disebabkan dari ketidakjujuran juga dengan mudah dapat diperoleh di sekitar kehidupan kita ini. Banyak pasangan suami isteri menjadi bercerai oleh karena saling tidak jujur. Perusahaan yang semula maju tetapi akhirnya menjadi bangkrut oleh karena pimpinan dan stafnya tidak jujur. Restoran yang semula sangat banyak dikunjungi pelanggan, namun mendadak sepi karena manajemennya melakukan kebohongan.
 
Kasus kebangkutan juga menimpa lembaga modern. Perguruan tinggi yang semula diminati oleh masyarakat, hingga menolak-nolak calon mahasiswa, ternyata ditinggal bubar oleh mahasiswanya oleh karena dikabarkan, kampus tersebut mengeluarkan ijazah palsu. Nasib yang sama juga dialami oleh berbagai organisasi, badan usaha, termasuk lembaga keungan seperti perbankan. Ketidak jujuran merupakan salah satu kekuatan dahsyat yang bisa membunuh dirinya sendiri.     

Oleh karena itu, semestinya kejujuran harus ditanamkan sejak dini. Lembaga pendidikan  apapun tingkatannya harus menjaga agar para peserta didiknya menjadi terbiasa atau berbudaya jujur. Siapapun di lembaga pendidikan yang melakukan kegiatan dengan tidak jujur, maka  harus dihukum dan tidak boleh ditoleransi. Kejujuran harus ditanamkan sejak dini dan apalagi di lembaga pendidikan.

Kegiatan apa saja yang dilakukan dengan tidak jujur harus dihindari. Bahkan, meninggalkan  sesuatu kegiatan yang menguntungkan, tetapi memproduksi orang-orang berperilaku tidak jujur, adalah lebih utama. Pendidikan tentang kejujuran harus diutamakan dari yang lain, apapun bentuknya. Sebab, kunci keberhasilan hidup di masa depan adalah terletak pada kejujuran itu.  Bangsa Indonesia menjadi sulit maju seperti sekarang ini, ----------banyak korupsi, manipulasi, dan seterusnya, adalah  oleh karena banyak pemimpin yang tidak  jujur.
 
Selama ini ujian nasional dianggap penting, dan memang sangat penting. Akan tetapi, manakala dari pelaksanaan  itu ditengarahi melahirkan sikap-sikap tidak jujur, baik dari kalangan guru, kepala sekolah, pejabat  yang mengurus pendidikan,  dan seterusnya, maka lebih baik ditiadakan. Membangun kejujuran lebih penting dari sekedar ujian nasional. Di dalam dunia  pendidikan tidak boleh terdapat sedikitpun kabar tentang ketidak jujuran. Pendidikan harus bersih dari suasana kebohongan, kepalsuan, kepura-puraan,  dan ketidak jujuran.
 
Pada saat sekarang ini, dirasakan  betapa sulitnya memberantas korupsi  di negeri ini, sebenarnya adalah  berawal  dari anggapan bahwa ketidak-jujuran bukan menjadi  sesuatu yang buruk, jelek atau aib. Pandangan seperti itu lahir, oleh karena anak-anak sejak kecil belum dibiasakan berperilaku jujur. Contoh-contoh perilaku tidak jujur di lingkungan mereka sedemikian banyak. Lagi pula, sejak di sekolah, anak-anak terbiasa melakukan kegiatan dengan tidak-jujur, misalnya dalam  mengerjakan soal ujian, pekerjaan rumah, dan  semacamnya.
 
Oleh karena itu, seharusnya para siswa harus dilatih, dibiasakan, dan diberi contoh sehari-hari tentang kejujuran. Pelaksanaan ujian nasional dengan melibatkan polisi untuk mengawasi soal ujian, meminta pengawas dari perguruan tinggi, dan seterusnya, -------disadari atau tidak, adalah merupakan contoh pendidikan yang mengabaikan betapa pentingnya kejujuran. Kebijakan itu akan memperlihatkan kepada para siswa bahwa, selama ini kepala sekolah, para guru-gurunya, dan pegawai sekolah, adalah orang yang tidak bisa dipercaya oleh pemerintah. Pandangan seperti  itu merupakan catatan buruk yang selalu melekat pada diri siswa.   

Membangun jiwa atau sikap jujur seharusnya lewat orang-orang yang bisa dipercaya. Oleh karena itu, memberikan kesan bahwa para kepala sekolah, guru, dan pihak lainnya adalah sebagai orang-orang yang tidak terpercaya adalah merupakan kebijakan yang salah. Apalagi, secara psikologis, seseorang tatkala dianggap jujur, maka akan menjaga citra dirinya itu. Sebaliknya, tatkala seseorang sudah dianggap tidak jujur, maka akan melakukan sebagaimana  anggapan yang diberikan. Jika demikian halnya, maka institusi pendidikan akan menjadi kehilangan misi pokoknya yang amat penting, yaitu membangun kejujuran. Tentu, hal itu harus dihindari. Wallahu a’lam.


Imam Suprayogo