Setiap orang membayangkan akan keindahan di masa
depan. Mereka berharap sukses, berhasil dan mendapatkan
keberuntungan di kemudian hari. Anak kecil membayangkan pada
saat dewasa nanti akan menjadi guru, pedagang kaya, dokter,
pilot, tentara, menteri dan bahkan juga kalau mungkin menjadi presiden.
Keadaan masa depan itu dibayangkan sedemikian indah dan membahagiakan.
Sehingga, apapun dilakukan untuk meraihnya.
Sebaliknya, tidak selalu kita mendengar
orang membayangkan tentang kematian. Padahal peristiwa itu pasti terjadi.
Setiap kehidupan pasti diakhiri dengan kematian. Tidak ada orang yang akan
hidup selama-lamanya. Kematian adalah hal lazim, biasa, dan pasti
terjadi. Justru yang tidak lazim adalah manakala ada orang yang tidak mati,
sementara umurnya, misalnya sudah melebihi seratus tahun.
Umumnya orang tidak suka mengingat peristiwa kematian.
Hal itu mungkin oleh karena, kematian adalah hal yang
pasti. Sementara orang tidak menyukai pada hal-hal yang
pasti. Orang justru lebih suka pada sesuatu yang tidak pasti. Orang suka
berjudi atau taruhan, oleh karena kegiatan itu bersifat tidak pasti,
antara menang dan atau kalah. Sedang mati adalah pasti. Atau, kematian
adalah hal yang menakutkan, sehingga lebih merasa aman tatkala tidak
diperbincangkan.
Mempersiapkan sesuatu yang pasti datang, seharusnya
justru dilakukan. Agar, peristiwa yang oleh sementara orang
dirasakan menakutkan itu, tatkala datang waktunya tidak merepotkan.
Orang-orang tua pedesaan di zaman dulu melakukan hal itu. Mereka menyiapkan
kain kafan sendiri, dan bahkan lebih dari itu, mereka mempersiapkan binatang
yang akan disembelih di saat kematiannya itu datang. Mereka menyebut hewan yang
akan disembelih pada peristiwa kematian itu dengan istilah “tunggu waras”.
Sedemikian kehati-hatian orang dalam menghadapi masa depan yang pasti terjadi
itu.
Secara psikologis, orang yang selalu teringat
mati akan menjaga diri sebaik-baiknya. Mereka tidak ingin dalam hidup ini
membawa dosa yang tidak terampuni, baik dosa terhadap sesama maupun dosa
terhadap Tuhan. Mereka ingin membawa pahala kebaikan sebanyak-banyaknya sebagai
bekal hidup setelah mati di akherat. Sebaliknya, mereka tidak ingin
terbebani oleh dosa yang tidak terampuni. Itulah artinya, bahwa peristiwa
kematian akan memiliki makna mendalam sebagai cara mendidik diri sendiri
dalam kehidupan sehari-hari.
Membayangkan peristiwa kematian, akan lebih memiliki
makna lagi terhadap pendidikan pribadi, manakala bayangan itu lebih
diperjelas. Misalnya, seseorang bisa membayangkan tentang siapa saja yang akan
bertakziyah, memandikan jenazah dirinya, mengkafani, memikulnya ke kubur,
menshalati, memasukkannya ke liang lahat, mendoakan, dan semua hal
lainnya lagi yang terkait dengan proses pemakaman. Lebih dari itu, juga
membayangkan siapa yang akan memberikan sambutan sebelum jenazah diberangkatkan
ke kubur, dan seterusnya siapa pula yang akan mendoakan pada hari-hari
setelahnya.
Membayangkan hal-hal tersebut, tentu
adalah penting sekali. Dengan membayangkan itu semua akan
menumbuhkan kesadaran bahwa hidup ini tidak lama, dan selalu membutuhkan
orang lain, baik tatkala masih hidup, sedang mengakhiri kehidupan, dan bahkan
setelah kematiannya. Apalagi, setelah peristiwa kematian itu,
seseorang juga meninggalkan keluarga, anak, dan bahkan juga
saudara-saudaranya yang semua itu masih memerlukan pertolongan dari
orang lain.
Kesadaran diri sebagaimana digambarkan tersebut
akan menumbuhkan sifat-sifat mulia, seperti keharusan saling mengenal,
mencintai, menghargai, menghormati dan tolong menolong. Orang lain akan selalu
dibutuhkan pada setiap saat. Sebaliknya, dengan penghayatan seperti itu akan
menghindarkan diri dari sifat buruk, seperti iri, dengki, hasut dan
semacamnya. Melupakan peristiwa kematian akan menjadikan keberadaan orang lain
dianggap tidak penting bagi dirinya, dmengganggu, dan bahkan diposisikan
sebagai musuh. Itulah pentingnya sebagian dari mengingat peristiwa
kematian. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar