Setiap tahun diumumkan lewat
berbagai media, adanya beberapa orang terkaya di dunia dan bahkan juga di
Indonesia. Jumlah kekayaan mereka itu luar biasa banyaknya. Tidak akan
habis dikonsumsi seumur hidup olehnya sendirian dan bahkan juga oleh
keluarganya. Oleh karena itu, tidak akan mungkin harta orang-orang
terkaya itu dimanfaatkan sendiri oleh pemiliknya. Hartanya belum habis, maka
sangat mungkin, pemilik harta itu sudah tidak bertahan hidup di dunia
ini.
Sebaliknya, tidak pernah terdengar
ada kontes orang termiskin di dunia dan juga di negeri ini, sekalipun jumlah
mereka itu sangat banyak. Orang miskin ada di mana-mana, di kota maupun di
pedesaan. Sekalipun menempati rumah-rumah sederhana, orang miskin di pedesaan
tidak terlalu kelihatan. Perbedaan antara keduanya tidak terlalu mencolok.
Hal itu berbeda dengan di perkotaan. Orang miskin di perkotaan menempati
tempat-tempat kumuh, di pinggir kali, di kanan kiri rel kereta api, di bawah
jembatan, dan lain-lain. Jarak antara kaya dan miskin di perkotaan sangat
jauh dan menyolok.
Masyarakat kapitalis memberi peluang
kepada siapapun untuk mendapatkan penghasilan sebanyak-banyaknya lewat kapital
yang dimiliki. Mereka yang kaya akan semakin kaya dan demikian pula
sebaliknya, orang yang tidak memiliki modal, bekerja sebagai buruh, dan atau apalagi
tidak memiliki pekerjaan, akan semakin miskin. Kaya dan miskin secara
ekonomi, ternyata diikuti oleh aspek lainnya, misalnya jarak psikologis,
sosial, dan lain-lain. Kekayaan ternyata bisa memisahkan antara kedua
kelompok yang berbeda.
Islam adalah ajaran yang mendekatkan
antar orang, termasuk antara orang kaya dan miskin. Melalui tempat ibadah,
semua orang dipandang sama. Siapapun yang datang terlebih dahulu di masjid,
diberi hak untuk menampati tempat terdepan yang belum ditempati orang.
Sebaliknya, sekaya apapun dan setinggi apapun jabatannya, harus mau menempati
tempat di belakang. Antara kaya dan miskin di tempat ibadah itu menjadi
dekat dan bersama-sama. Islam tidak menganggap, bahwa
kekayaan dan jabatan menjadi ukuran tentang derajad
seseorang.
Selain tempat ibadah, ekonomi dalam
Islam, juga mendekatkan antara kaya dan miskin. Orang kaya harus
memperhatikan anak yatim dan orang miskin. Siapapun yang tidak peduli terhadap
anak yatim dan tidak mau memberi makan kepada orang miskin dipandang sebagai
pendusta agama. Seseorang dianggap mendustakan agama tatkala tidak mau peduli
terhadap orang yang mengalami kekurangan. Bermewah-mewah dalam hidup
sementara saudaranya sendiri berkekurangan, -------dalam Islam, dipandang
keliru, salah, dan rendah. Kekayaan tidak boleh menjauhkan
pemiliknya dari orang miskin.
Selain itu, seorang muslim
yang memiliki harta dalam jumlah tertentu diharuskan membayar zakat. Pada harta
seorang terdapat hak bagi orang miskin. Selain zakat masih dianjurkan
untuk berinfaq, shadaqoh, wakaf, dan hibah. Lewat ajaran itu, antara kaya
dan miskin menjadi tidak berjarak. Orang tidak akan diunggulkan derajadnya
hanya atas dasar harta kekayaannya. Derajat seseorang melebihi dari lainnya
hanya diukur dari keimanan, ketaqwaan, dan keluasan ilmunya. Harta kekayaan
baru menjadi sebab seseorang meraih derajad tinggi, manakala dengan
harta itu, berhasil mengantarkannya menjadi lebih bertaqwa.
Islam juga membolehkan jual beli,
tukar menukar, pinjam meminjam, dan lain-lain asalkan di antara yang
menjalankan kegiatan itu didasari oleh perasaan ikhlas, tidak saling merugikan,
dilakukan secara jujur, terbuka, tidak ada kebohongan, dan keterpaksaan.
Islam melarang siapapun mengurangi timbangan dan juga riba. Hal itu
disebabkan karena merugikan dan akan menjauhkan antar sesama,
hingga perbuatan itu tidak diperbolehkan dalam Islam.
Islam juga mengajarkan bahwa, harta
kekayaan tidak boleh berputar di antara sekelompok tertentu. Ajaran itu
jika direnungkan secara mendalam maka memang menyebabkan ekonomi tidak
berjalan. Sebagai contoh yang amat sederhana, andaikan di suatu tempat
terdapat beberapa orang saja yang terlalu kaya, mereka memiliki pabrik, toko,
ternak, kebun, dan industri apa saja, maka hasilnya tidak akan ada yang
membeli, karena tidak ada orang lain yang memiliki uang atau alat tukar
lainnya. Akibatnya, usaha orang kaya itu akan mubadzir, tidak ada
yang membeli, ekonomi menjadi berhenti, dinamika tidak akan terjadi, dan
bahkan akhirnya bangkrut semua. Itulah keindahan Islam dalam berekonomi,
antara yang kaya dan miskin didekatkan.
Akhir-akhir ini mulai ramai
dibicarakan tentang ekonomi Islam, atau ekonomi syari’ah. Manakala konsep itu
benar-benar berjalan, maka kehidupan ini akan menjadi sangat indah. Tidak akan
ada lagi orang-orang yang bertempat tinggal di gubug-gubug reot, di gang-gang
kumuh, di pinggir sungai, di bawah jembatan, dan lain-lain, sementara
lainnya berada di bangunan indah yang menjulang tinggi. Selain itu, juga tidak
akan terdapat lagi orang-orang miskin, anak yatim, dan juga
orang tua jumpo yang tidak terurus atau terlantar. Islam mengajarkan
nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Sayangnya, sementara ini, Islam oleh
sebagian orang, ditangkap sekedar dari aspek ritualnya, akibatnya
kedekatan antara yang kaya dan yang miskin, baru tatkala
mereka bersama-sama berada di tempat ibadah, dan belum seperti itu
di tempat lainnya. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar