Kebetulan ketika sedang di kantor, saya kedatangan
seorang guru. Tamu ini menjadi guru sudah puluhan tahun, sudah ke sekian kali
berpindah-pindah tugas, dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Pengalaman
menjadi guru sudah kenyang. Dalam perbincanan itu, saya menanyakan
tentang pendidikan saat ini. Ia mengatakan bahwa pendidikan masih berjalan,
tetapi jiwa pendidikan dan lebih sempitnya jiwa guru sudah mulai melemah.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa kesadaran menjadi guru
sudah berkurang. Orang menjadi guru kurang bangga, dan mungkin karena tak
terlalu dihormati oleh masyarakat, termasuk oleh wali muridnya sendiri. Kini,
katanya terjadi budaya ambiguitas terhadap pendidikan. Orang tua, pada satu
sisi terlalu mencintai anak, dan oleh karena itu juga (mestinya) mencintai
pendidikan. Tetapi, pada sisi yang lain belum mampu mendudukkan guru pada
posisi yang seharusnya. Tamu saya bilang bahwa, mungkin ini terkena pengaruh
materialisme. Seseorang dihargai bukan atas dasar profesi, tetapi
lebih banyak didasarkan atas kekayaan yang telah berhasil dikumpulkan. Seorang
yang bermobil mewah akan memperoleh sambutan dibandingkan dengan seseorang yang
datang dengan mengendarai sepeda pancal atau sepeda motor butut. Padahal
pengendara mobil bisa jadi seorang kuruptor, sedang pengendara sepeda adalah
seorang guru. Orang saat ini tak melihat status, apakah sebagai guru
ataukah sebagai pejabat, bahkan yang korup sekalipun. Yang lebih dilihat
adakah seberapa banyak kekayaan yang telah berhasil dikumpulkan oleh sese
orang. Maka dari itu, bisa jadi koruptor lebih dimuliakan dari pada guru yang
jujur.
Guru tua tadi menyebut telah terjadi perubahan besar,
dari idealisme ke matirialisme. Budaya ini menjadi kekuatan
pembusuk dunia pendidikan dan kemudian masih diperparah oleh budaya
“potong kompas”. Pembangunan pada masa orde baru, dan juga masih
dilanjutkan pada orde reformasi ini, dilakukan dengan pendekatan proyek.
Pendekatan proyek lebih mengedepankan capaian-capaian formal daripada
capaian-capaian yang bersifat substantif. Untuk memenuhi kebutuhan guru
ditempuh dengan cara crass program. Beberapa lembaga pendidikan, termasuk
pendidikan tinggi, diberi tugas menyiapkan tenaga kependidikan. Namun yang
diutamakan, bukan kualitas guru melainkan jumlah yang dibutuhkan dan yang harus
terpenuhi. Untuk memenuhi jumlah itu maka seringkali aspek kualitas tak
terlalu dilihat, apalagi diperhatikan. Itulah yang oleh sang guru senior
tadi disebut “potong kompas”.
Program pengembangan pendidikan dengan pendekatan
proyek ini dilakukan secara massal pada semua tingkatan, mulai dari
sekolah dasar hingga perguruan tingi. Hasilnya menggembirakan. Secara statistik
target-target terpenuhi. Kebutuhan guru atau dosen pada
masing-masing lembaga pendidikan tercukupi. Partisipasi pendidikan terlihat
tinggi dan memenuhi target. Angka-angka penyelenggaraan pendidikan
dijadikan laporan, dan angka-angka itulah yang menjadi indikator keberhasilan
pendidikan itu. Akan tetapi, diakui atau tidak, api pendidikan ternyata tidak
menyala. Guru mengajar di klas, dan demikian juga dosen datang ke kampus
dan memberi kuliah. Akan tetapi kehadiran guru dan dosen tersebut tak
melahirkan kehangatan yang mengakibatkan jiwa para siswa dan mahasiswa tumbuh
dan berkembang secara baik.
Sebagai bukti bahwa masih lemahnya sektor pendidikan
ini,-------- jika mau jujur, bisa dilihat betapa banyak produk pendidikan
yang belum setara dengan hasil yang disandang. Bahkan seorang pejabat yang
berkompeten di bidang pendidikan, pernah menyatakan keheranannya. Ternyata
banyak lulusan S3 masih harus dicarikan tempat. Maka tidak heran jika lulusan
S2 apalagi S1 masih lebih kebingunangan lagi. Semua itu terjadi, memang banyak
penyebabnya, tetapi salah satunya dapat diduga, adalah oleh karena api
atau jiwa pendidikan semakin melemah. Sebaliknya yang terjadi adalah
birokratisasi pendidikan yang semakin kaku dan formalistik. Oleh karena
itu yang diperlukan ke depan adalah bagaimana menumbuhkan jiwa pendidikan di
berbagai level dan aspeknya. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar