Suatu hari, karena ribut di dalam
kelas, murid-murid di sebuah sekolah mendapat hukuman dari guru. Agar hukuman
itu mendidik, sang guru menugaskan murid-muridnya menjumlahkan angka dari 1
sampai 100. Ketika murid-murid lain sedang sibuk menjumlah, tidak sampai satu
menit seorang anak berjalan ke arah guru dan menyerahkan hasil hitungannya.
Ternyata jawaban anak tersebut benar yaitu: 5050.
Tentu saja sang guru heran, lalu bertanya bagaimana ia bisa menjumlah dengan
secepat itu. Anak tersebut menjawab: “Mudah saja, 1 ditambah 100 sama dengan
101. 2 ditambah 99 sama dengan 101. 3 ditambah 88 sama dengan 101. Ada 50
pasangan angka yang seperti itu. Saya kalikan 101 dengan 50 maka hasilnya
5050.”
Anak tersebut kemudian tumbuh menjadi seorang yang
sangat pandai dalam memecahkan persoalan matematika. Dunia kemudian mengenalnya
dengan nama Karl Friedich Gauss (1777-1855), ahli matematika dan ilmuwan dari
Jerman. Ia banyak memberi sumbangan pikiran dibidang analisis, geometri, relativitas,
dan energi atom.
Cara yang dilakukan Gauss kecil dalam memecahkan soal
matematika tentu saja bukan cara yang diajarkan oleh gurunya. Ia menemukan
pemecahan matematika itu sendiri. Anak-anak dengan jalan pikirannya, ternyata
mampu menciptakan pemecahan soal yang sebelumnya tak terpikirkan oleh orang
dewasa.
Barangkali muncul pertanyaan di benak kita, bagaimana
mungkin anak kecil bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan orang dewasa.
John Holt dalam bukunya yang menggegerkan dunia yaitu “How Children Fail”
memaparkan hasil pengamatannya sebagai seorang guru SD di AS selama
bertahun-tahun terhadap anak didiknya. Di dalam bukunya itu dengan rinci John
Holt memperlihatkan bagaimana anak-anak berpikir dan menciptakan jalannya
sendiri dalam memahami berbagai persoalan. Cara atau jalan mereka memang tidak
sama seperti yang dipakai oleh orang dewasa.
Selama ini, kadang anak dianggap bodoh atau salah
karena cara menyelesaikan masalahnya berbeda dengan hasil pikiran orang dewasa.
Tak jarang anak pulang dalam keadaan sedih, karena hasil pekerjaannya -walaupun
jawabannya benar- dianggap salah karena cara yang ditempuh anak tidak sama
dengan yang diajarkan oleh guru.
Andaikan Gauss kecil kemudian disalahkan karena tidak menghitung urut sebagaimana biasanya, dengan menjumlahkan satu per satu angka dari mulai satu tambah dua tambah tiga…sampai tambah seratus, mungkin ia takkan digelari “Pangeran Ahli Matematika”. Boleh jadi, ia menjadi anak yang tidak ‘pede’ alias percaya diri karena cara berpikir kreatifnya dipandang nyeleneh dan menentang guru, dan ia tumbuh menjadi orang dewasa biasa yang tidak memberi kontribusi pada masyarakat dan dunia.
Anak-anak ibarat benih pohon, meskipun bagus dan berkualitas, ia tidak akan tumbuh sempurna jika ditanam di lahan yang tandus. Sejenius apa pun Gauss, kalau ia tidak didukung oleh guru, orangtua dan lingkungannya, maka tidak akan menjadi orang yang hebat.
Untuk menjadi orang dewasa yang berkualitas dan
menjadi rahmat bagi alam semesta, ia membutuhkan lingkungan yang mendukung
yaitu orangtua dan guru yang menghargai cara berpikirnya, yang membuat ia
kreatif mengeluarkan ide dan gagasannya. Biarlah anak-anak pelajari sendiri
diri dan dunia ini, dengan cara pandang mereka sendiri.
Ida S. Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar