Kasih Sayang dan Kelembutan



Seorang sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam (SAW) baru pulang dari sebuah perjalanan. Ketika hampir sampai di Madinah, ada seekor anak burung merpati menciap-ciap kehilangan induknya. Ia kemudian menolong burung itu dan diletakkannya di saku jubahnya. Tak lama kemudian, induk merpati mengejar sahabat tersebut. Sang induk yang ternyata membawa makanan itu, lalu menyusup masuk ke dalam jubah sahabat dan memberi makanan anaknya.
Sahabat tersebut takjub dan berkata dalam hati, ”Alangkah beraninya si induk merpati. Ia tidak tahu bahwa saya bisa membunuhnya.” Karena takjub, sahabat tersebut tidak langsung pulang, tapi menemui Rasulullah SAW.
”Ya Rasulullah, ajaib, ajaib. Saya menemukan anak merpati, lalu saya taruh di jubah saya, tiba-tiba induknya dari angkasa masuk ke dalam jubah saya untuk memberi makan pada anaknya. Alangkah hebatnya induk merpati, segala risiko ditanggung karena cintanya ada anaknya.” Demikian sahabat mengungkapkan keheranannya pada Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW menjawab, ”Cinta induk merpati dengan segala risiko memberi makanan agar anaknya selamat, masih jauh lebih besar cinta Allah pada manusia, makhluk terbaik ciptaan-Nya. Segala risiko ditanggung Allah pada manusia, maka segala pemberiannya adalah yang terbaik.”
Kisah di atas memberi gambaran tentang bagaimana kasih sayang induk binatang sekaligus kasih sayang Sang Pencipta pada makhluknya yang bernama manusia. Namun, manusia yang diberi akal pikiran justru kerap mengabaikan rasa kasih sayang ini. Bahkan belakangan, banyak kisah nyata yang ditulis media masa tentang kekerasan orangtua pada anak-anaknya yang kerap berujung pada kematian.
Banyak orangtua dengan alasan menanamkan disiplin, membiasakan kebaikan, dan membuang kebiasaan buruk dengan cara-cara kekerasan. Seorang ibu yang mengaku terbiasa mencubit ketiga anaknya kalau anak-anaknya ’nakal’ berkata, ”Habis bagaimana lagi, dibilangin gak bisa!” Banyak orangtua yang menginginkan hasil cepat, namun dengan cara kekerasan. Padahal, kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan.
Belakangan mencuat istilah ’bullying’ atau aksi kekerasan di sekolah-sekolah, senior pada adik kelasnya, sesama satu kelas, atau satu angkatan. Boleh jadi perilaku kekerasan ini dicontohkan oleh orangtua, yang kemudian mengakibatkan terbentuknya kepribadian anak yang pemarah, kasar, dan beringas. Anak pun menjadikan kekerasan fisik untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Dengan demikian, ia menjadi tak segan memukul atau menyakiti teman-temannya maupun saudaranya sendiri.
Anak-anak usia di bawah tiga tahun yang belum bisa mengungkapkan isi hatinya dengan jelas kadang menggunakan dukungan fisik seperti memukul, mencubit, dan lain-lain untuk menyelesaikan masalahnya. Namun, seiring bertambah usia dan kemampuan bahasanya, maka cara-cara tersebut seharusnya sudah mulai harus ditingggalkan.
Keteladanan dan dukungan orangtua perlu terus dikuatkan pada anak. Namun, jika orangtua memberi contoh dengan kekerasan, maka anak pun akan menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar dari permasalahannya.
“Sesungguhnya Allah itu Maha Lemahlembut dan menyukai kelemahlembutan dalam seluruh perkara.” (Riwayat Bukhari dan Muslim). 

Oleh Ida S Widayanti

0 komentar:

Posting Komentar