Kisah dari seorang ibu, “Boleh saya
bantu?” ujar si sulung yang saat itu berusia kurang dari tiga tahun, ketika
melihat saya sedang mengganti sprei. Kalimat itu juga kerap keluar ketika ia
melihat saya kerepotan mengerjakan hal lain.
Beberapa tahun kemudian, ketika ia makin besar, saya
mulai sering memberinya perintah ini dan itu, karena saya pikir, di usia
sekolah dasar ia sudah harus mandiri dan punya tanggung jawab. Lambat laun
kalimat, “Boleh saya bantu?” itu tak lagi keluar dari mulutnya.
Ketika saya hamil anak ketiga, saya merasa sangat
lemah. Saya sering minta bantuan Mbak di rumah. Dan, betapa kagetnya ketika
anak-anak terutama sulung saya juga jadi sering minta bantuan Mbak, bahkan
untuk sekadar mengambilkan sendok atau piring. Padahal ia tergolong anak yang
mandiri, kadang tanpa disuruh pun membantu mengepel lantai, membersihkan kaca
jendela, atau mencuci piring. Saya segera menyadari bahwa saya harus mengurangi
frekuensi meminta bantuan ’asisten’ di rumah.
Anak kedua saya perempuan, saya cenderung
memperlakukannya dengan lembut. Ternyata, ia pun sangat lembut dan penuh
perhatian. Jika saya pulang bekerja, ia suka bertanya, ”Ummi capek ya, boleh
aku pijit?” atau, ”Ummi aku bukakan kaos kakinya, ya!”
Ketika usianya menginjak lima tahun –berbeda dengan
kakaknya- ia belum bersemangat untuk membaca, meskipun ia sudah mengenal huruf
dan bisa merangkai kata. Saya kemudian berusaha di setiap kesempatan –secapek
apapun- untuk selalu membacakan cerita-cerita yang disukainya. Saya berharap,
dengan banyak dibacakan kisah-kisah menarik, ia akan berminat membaca sendiri.
Dan apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Suatu hari
ia bertanya, ”Ummi, mau aku bacakan cerita? Kan Ummi baik, sering bacakan aku
cerita!” Meski masih terbata-bata, ia mulai membaca, tanpa saya suruh. Itu
terus berlangsung beberapa hari, pagi dan sore, meski ia sebenarnya masih belum
lancar membaca.
Kisah dari
seorang ayah
Sungguh saya sebenarnya ingin
berhenti merokok, tapi tidak bisa. Berkali-kali saya berusaha namun selalu
gagal. Kalau saya tidak merokok, pikiran saya melayang tak menentu, kalau
berbicara dengan orang lain pun tidak nyambung.
Saya lahir dari keluarga miskin, sehingga sekolah SMP
saja tidak tamat. Bahkan sejak umur 13 tahun saya sudah bekerja membantu orang
tua. Adik saya banyak, mereka harus sekolah. Pada usia 13 tahun itulah saya
mulai bekerja sebagai kernet angkutan kota (angkot). Pergaulan membuat saya
akrab dengan rokok. Kini kebiasaan itu sudah melekat hampir 40 tahun, bagaimana
saya bisa menghentikannya?
Saya tahu betapa merusaknya rokok, baik bagi kesehatan
tubuh maupun keuangan. Penghasilan saya sebagai sopir angkot sebagian besar
habis untuk rokok. Karena itu, istri saya terpaksa bekerja dari rumah ke rumah
sebagai tukang cuci. Padahal, besarnya uang bulanan rokok, bisa untuk mencicil
sepeda motor.
Yang membuat saya sedih, kedua anak laki-laki saya pun
ikut merokok. Padahal hampir setiap hari saya bilang, “Jangan merokok seperti
Bapak, ya! Rokok berbahaya dan sangat merugikan.” Tapi mereka ternyata tidak
mau mendengar nasihat saya.
***
Dua kisah di atas menunjukkan bahwa
anak-anak belajar dari contoh yang ia lihat sehari-hari. Itulah yang dinamakan
modelling. Anak-anak ibarat cermin, apapun yang orang tua lakukan akan memantul
kembali dari dirinya. Karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
(SAW) tidak hanya datang dengan perintah dan larangan, namun menjadi contoh
yang baik (uswatun hasanah).
Ida S. Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar