”Mama dan papa mau menjamu tamu
dari luar kota malam ini, Diandra mau ikut?” tanya seorang ibu pada anak
perempuan tunggalnya yang berusia sembilan tahun. ”Mama, yang makan-makan itu
kan semuanya orang dewasa, tidak ada anak kecilnya. Nanti bicaraannya untuk
orang dewasa, aku tidak akan merasa nyaman. Aku di rumah saja,” ujar sang anak.
Di sebuah toko, seorang ibu
bertanya pada anaknya, ”Aisyah, ini ada mukena bagus dan lucu. Lihat motifnya
bagus pakai sulam pita dan bisa dilipat sampai kecil. Mau beli ini untuk
dipakai di sekolahmu?” tanya seorang ibu sambil menyerahkan sebuah mukena yang
unik.
”Mama, lokerku di sekolah cukup
besar, mukenaku sekarang muat di simpan di sana. Cara melipat mukena ini susah.
Ini cocoknya untuk dibawa pergi-pergi,” ujar sang anak yang masih bersekolah di
sekolah dasar.
Dua dialog di atas menunjukkan
bahwa anak-anak tersebut sudah memahami apa yang dinamakan klasifikasi atau
pengelompokan. Pada percakapan pertama tampak bahwa meski si anak adalah anak
tunggal yang umumnya manja, ia tidak serta-merta ikut pada acara orang tuanya
untuk makan-makan. Ia paham bahwa acara orang dewasa berbeda dengan acara untuk
anak. Ia tahu bahwa baginya lebih baik tinggal di rumah saja.
Pada dialog kedua tampak bahwa
meski pada umumnya anak -bahkan orang dewasa sekalipun- senang memiliki barang
baru, namun anak tersebut tidak begitu saja menerima tawaran mukena baru. Ia
mampu mengklasifikasikan mukena untuk di sekolah dan mana untuk dibawa pergi,
sehingga ia tetap memilih mukena lama untuk digunakan di sekolahnya.
Klasifikasi akan memudahkan hidup
seseorang. Contoh kecil menata lemari pakaian, misalnya. Orang yang meletakan
pakaian dengan klasifikasi yang baik maka akan mudah mengambil barang yang
dibutuhkan. Namun sebaliknya, jika lemari tidak diklasifikasi, semua jenis
pakaian disimpan begitu saja maka sangat sulit untuk mengambil sesuatu yang
diperlukan dalam waktu cepat. Saat membutuhkan dasi, yang terambil bisa kaos
kaki. Saat butuh baju pesta, yang didapat malah pakaian rumah.
Kemampuan mengklasifikasi tidak
tumbuh begitu saja, namun perlu dibangun sejak bayi. Anak di usia dini harus
sudah mulai dibangun kemampuan klasifikasi dalam hal yang kongkrit berdasarkan
warna, bentuk, dan ukuran. Hal ini bisa dilatih melalui bermain balok, meronce,
dan lain-lain. Sangat penting untuk melatih anak membereskan mainan berdasarkan
jenis, ukuran, bentuk, atau warna. Latihan klasifikasi juga bisa dibiasakan
dalam kegiatan sehari-hari seperti meletakan benda pada tempatnya dan mengelompokannya.
Jika anak sudah mampu
mengklasifikasi benda kongkrit maka ia akan mampu mengklasifikasi pada hal yang
abstrak. Dengan demikian saat dewasa ia mampu mengklasifikasi banyak hal, salah
satunya ia akan mampu memisahkan mana masalah pribadi, keluarga, dan kantor.
Kemampuan mengklasifikasi bukan hal
yang sepele, namun sesungguhnya sangat penting. Maraknya korupsi di negara ini
dikarenakan lemahnya kemampuan klasifikasi. Banyak orang yang tak memiliki
kemampuan yang kuat dalam mengklasifikasi mana uang pribadi, uang kantor, atau
uang negara. Ia menggunakan uang yang ada sesukanya.
Hampir semua aspek kehidupan
menuntut kemampuan klasifikasi. Ajaran Islam melarang manusia untuk
mencampuradukan antara yang haq dan bathil. Untuk selamat,
manusia harus memiliki kemampuan mengklasifikasi mana perintah Allah dan mana
larangan-Nya. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengklasifikasi hal yang
abstrak jika klasifikasi dalam hal kongkrit tidak terbangun baik sejak dini.
Ida S. Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar