Ini kisah seorang ibu yang belajar
di luar negeri dengan membawa ketiga anak laki-lakinya. Di tempat barunya itu,
anak-anaknya berinteraksi dengan beragam agama dan kepercayaan.
Suatu ketika anaknya yang berusia tujuh tahun berkata
bahwa ia ingin pindah ke agama temannya. “Islam ada nerakanya! Aku ingin masuk
agama yang peace!” ujar anak itu sambil mengacungkan tangannya, yang maksudnya
simbol dari kata “damai”.
Rupanya anak itu tergoda dengan penjelasan temannya
yang mengatakan bahwa di dalam agamanya tidak mengenal kata dosa, kalaupun
pernah salah bisa ditebus dan diampuni.
Lalu, si ibu berusaha menjelaskan bahwa Islam
sesungguhnya adalah agama yang “peace”, berasal dari kata salama yang artinya
damai. Tak hanya konsep, ibu tersebut juga menjelaskan dalam kehidupan
sehari-hari, khususnya di Indonesia yang mayoritas Muslim. Namun, anak tersebut
tampak tak puas, dan malah bertanya, ”Tapi kok ibu-ibu yang pernah aku lihat
kebanyakan cerewet dan suka marah-marah sama anak-anaknya. Padahal mereka orang
Islam. Kalau anaknya lagi main malah dimarahi. Bapak-bapaknya juga banyak yang
galak, kalau nyuruh shalat sambil membentak anaknya. Malah ada orangtua yang
suka melotot dan memukul anaknya. Guru ngaji juga ada yang suka menakuti
anak-anak. Itu tidak peace!”
Anak tersebut menunjukkan realitas yang sebaliknya,
bahwa orangtua yang agamanya lain itu selalu memanggil anaknya dengan lembut
kalau hendak pergi ke tempat ibadah. Bahkan, sang anak pun kagum karena Sang
Ayah tidak berteriak memanggil dari seberang taman, namun menghampiri anaknya
dan memeluknya agar pulang ke rumah dan bersiap-siap menuju tempat ibadah.
Mereka berpakaian rapi dan wangi, wajahnya ceria, lalu melambaikan tangan ke
anak tersebut. Dan yang lebih menyenangkan menurut anak itu, bahwa setelah
pulang beribadah, temannya mendapat kue yang enak.
Kisah nyata di atas mengajak kita untuk merefleksikan
diri, wajah Islam seperti apa yang kita tampakkan pada anak kita. Mungkin kita
banyak menjejali anak dengan ceramah tentang nilai-nilai Islam, namun dengan
cara yang jauh dari nilai keikhlasan, kesabaran, kelembutan, cinta kasih, dan
kegiatan yang menyenangkan bagi anak.
Mungkin masih ada sekolah Islam yang memberlakukan
aturan dengan kekerasan. Hukuman dijalankan dengan cara yang tidak tepat.
Namun, jika nilai-nilai kebenaran dan kebaikan disampaikan dengan cara
kekerasan, maka akan membuat nilai-nilai itu tidak menampakkan keindahannya.
Suatu kali seorang anak berusia tujuh tahun yang belum
bisa khusyu’ shalatnya ditakut-takuti dan diancam gurunya, bahwa ia akan
disuruh belajar di kamar mandi. Alih-alih membuat anak itu termotivasi, tetapi
malah sebaliknya. Pertama, bisa jadi membuat anak membenci ibadah shalat karena
selain terasa membebani juga membuka kemungkinan ia mendapat hukuman. Kedua,
bisa jadi muncul kesan dalam benak anak tersebut bahwa kamar mandi adalah
semacam sel tempat melaksanakan hukuman. Dengan demikian kemungkinan juga ia
malas ke kamar mandi untuk mandi atau menyikat gigi.
Pendidikan modern dengan menggunakan teknologi yang
canggih sudah dapat merekam aktivitas otak siswanya. Dan telah banyak
dibuktikan bahwa cara terbaik untuk menanamkan kebiasaan positif adalah dengan
cara membuat anak merasa nyaman dan menyenangkan. Semoga kita dapat senantiasa
mengajarkan kebaikan dengan cara yang baik dan tepat.
Ida S Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar