Seorang gadis kecil tak bisa melihat
maupun mendengar. Baginya dunia begitu sunyi dan tanpa warna. Kedua indera yang
sangat penting bagi kehidupan manusia tersebut lenyap di usia balitanya oleh
sebuah penyakit. Walaupun mulutnya mampu mengeluarkan suara, ia tak mampu
berbicara. Isyarat yang ia gunakan seringkali tak memadai, sehingga orang di
sekitar sulit memahami keinginannya. Kegagalan mengomunikasikan perasaan dan
keinginannya kerap menimbulkan ledakan kemarahan dan amukan.
“Aku merasa seolah-olah tangan-tangan tak terlihat
sedang mencengkeramku, dan kulakukan usaha ‘gila-gilaaan’ untuk membebaskan
diri,” ujarnya. Kedua orangtuanya sangat sedih. Mereka tak dapat berbuat
apa-apa karena rumah mereka terpencil, jauh dari sekolah untuk tunanetra dan
tunarungu.
Akhirnya seorang guru tiba, membimbing dan
menuntunnya. Awalnya tak mudah. Suatu kali ia merasa kesulitan mempelajari kata
‘water’. Ia lalu membanting bonekanya yang masih baru hingga hancur menjadi
pecahan kecil. Ia merasa senang ketika gurunya menyapu pecahan boneka tersebut.
Tak ada rasa menyesal, bahkan ia merasa puas karena telah melampiaskan rasa
tidak nyamannya.
Apa yang dilakukan sang guru? Ia membawakan topi si
anak dan mengajaknya jalan-jalan ke luar menikmati cahaya matahari. Mereka
menyusuri jalan setapak menuju sumur sebuah rumah. Gurunya meletakkan tangan di
bawah saluran air. Saat ia merasakan sejuknya semburan air, ia mengeja kata
‘water’ di tangannya. Ia kemudian mengetahui bahwa sesuatu yang sejuk dan
mengalir di tangannya itu adalah ‘water’. Ia baru menyadari bahwa segala
sesuatu ternyata memiliki nama dan akan melahirkan gagasan. Ia merasa dunianya
mulai bercahaya, meski harus melalui perjuangan dan kerja keras untuk belajar
dan terus belajar.
Dialah Helen Keller, penyandang tunanetra dan tuna
rungu pertama yang meraih gelar sarjana. Selain bahasa Inggris, ia menguasai
bahasa Jerman, Perancis, dan Latin. Kata-kata mutiaranya tersebar, dan hingga
saat ini masih sering dikutip banyak orang. Ia juga pejuang yang menentang
penjajahan dan peperangan hingga usia senja.
Sang guru yang mengajar penuh cinta adalah Anne
Sullivan. Menurut Helen, “Awalnya aku hanya butiran-butiran kemungkinan.
Gurukulah yang membuka dan mengembangkan kemungkinan itu. Saat ia datang,
segala yang kumiliki menghembuskan cinta dan kebahagiaan sehingga menjadi penuh
makna. Sejak saat itu, dia tak pernah melewatkan peluang untuk menunjukkan
keindahan dalam segala hal ataupun berhenti berusaha –dalam pikiran, tindakan,
dan teladan- untuk membuat hidupku indah dan berguna.”
Menurut Helen, semua guru bisa membawa seorang anak ke
ruang kelas, tapi tidak semua guru bisa membuat muridnya belajar. “Kecerdasan
guruku, simpati, dan kasih sayangnya telah membuat tahun-tahun pertama
pendidikanku menjadi begitu indah. Guruku sangat dekat denganku, sampai-sampai
aku tak bisa berpikir jauh darinya. Tak ada bakat, mimpi, atau kebahagiaanku
yang tak dibangkitkan oleh sentuhannya yang penuh kasih sayang.”
Kisah di atas memberikan gambaran, betapa pentingnya
peran seorang guru bagi perkembangan jiwa maupun kemampuan akademis anaknya.
Saat akan memasukkan sekolah, seringkali orang tua hanya melihat hal-hal yang
tampak di luar seperti gedung dan sarana lainnya. Seorang ahli pendidikan
mengatakan, “Meski di gedung yang mewah, tanpa guru berkualitas, proses
pendidikan berkualitas tidak akan berlangsung. Namun dengan guru berkualitas,
di bawah sebatang pohon pun proses pendidikan berkualitas akan berlangsung.
Ida S Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar