Seorang ibu sedang menyuapi anaknya
yang sudah sekolah kelas 1 SD. Sambil memasukkan sendok ke dalam mulut sang
anak, si ibu berkata, “Sudah besar makan masih disuapi, pakai baju, sepatu,
masih dibantu, mandi masih harus dimandikan. Kapan mau melakukan semuanya
sendiri?” tanya sang ibu, sambil terus menyuapi.
Fenomena di atas, merupakan hal yang umum terjadi pada
orangtua di kota besar. Mereka kewalahan dan merasa betapa repotnya mengurus
anak-anak yang usianya sudah lebih dari tujuh tahun namun masih serba dibantu.
Kebanyakan orangtua, meski sering mengeluh bahkan
marah pada anak-anaknya, kenyataannya banyak di antara mereka yang masih terus
melayani semua kebutuhan anaknya. Akibatnya, ketidakmandirian ini terus terbawa
hingga anak bertambah besar.
Secara fitrah, setiap bayi -tanpa perlu disuruh dan
dilatih- memiliki naluri berkembang untuk mandiri. Contoh nyata, bayi secara
otomatis akan belajar untuk tengkurap, merayap, merangkak sendiri. Akan tetapi,
yang terjadi, sering orangtua dan lingkungan kurang memberi dukungan dan
kesempatan terhadap proses kemandirian anak.
Ada seorang anak yang berusia dua tahun namun sudah
terbiasa melakukan segala sesuatu sendiri. Ia mampu melepas sepatu dan kaos
kaki, menggulung kaos kaki dengan rapi dan memasukkannya ke dalam sepatu, lalu
merekatkan perekat sepatu sehingga kembali rapi, lalu menyimpan sepatunya ke
dalam rak dengan posisi yang rapi. Banyak hal yang ingin ia lakukan sendiri
seperti makan, membuka dan menutup pintu, menyalakan dan mematikan lampu, dan
lain-lain. Ia mampu melakukan hal itu karena memang diberi kesempatan oleh
orangtua dan lingkungannya.
Di Filipina ada sekolah yang dinamakan TK Pagsasarili
yang artinya ‘membantu diri menjadi mandiri’. Di sekolah ini, anak-anak
diberikan hak dan kesempatan untuk dapat belajar, berpikir, dan bekerja secara
mandiri. Hasilnya cukup mengejutkan, rasa percaya diri para lulusan murid TK
ini sama dengan mereka yang telah mendapat kemampuan akademik kelas tiga. Yang
lebih penting lagi adalah kemampuan mereka dalam menunjukkan kecintaan dalam
bekerja, berdisiplin, berkosentrasi, dan bergembira.
Bagi masyarakat perkotaan dan lapisan menengah ke
atas, tidak memanjakan anak merupakan hal yang berat. Ketersediaan berbagai
fasilitas, pembantu atau pengasuh yang selalu melayani semua kebutuhan, akan
dapat mengkerdilkan kemampuan anak. Padahal, sejak bangun tidur hingga tidur
lagi begitu banyak kesempatan untuk melatih anak mandiri, seperti mengambil
atau menyimpan handuk, memakai pakaian, menyiapkan bekal dan pelengkapan
sekolah.
Memberi pertolongan yang berlebihan dengan alasan
sayang, akan membatasi anak untuk mengembangkan dirinya, dan memasung
kreativitas anak hingga ia tumbuh menjadi anak yang senantiasa bergantung.
Karena itu, dibutuhkan kesabaran orangtua memberi kesempatan anak belajar dan
menerima risiko yang ditimbulkannya.
Akan sangat menakjubkan melihat anak-anak usia dini
menolak untuk dibantu, dan dengan sigap melakukan segala kebutuhannya sendiri.
Bahkan yang lebih menarik lagi, mereka juga senang dengan keterlibatannya
dengan pekerjaan rumah tangga.
Ada kalimat menarik yang disampaikan oleh seorang
guru, “Orangtua seringkali lebih bangga akan kemampuan anak-anaknya
menyelesaikan soal-soal rumit matematika ketimbang kemampuan dasar seperti
mengikat tali sepatu, dan membereskan tempat tidur. Bagaimana mungkin ia akan
mampu menolong dunia, jika menolong diri sendiri saja tidak mampu.
Ida S Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar