Nyaman dengan Aturan



Keyvan belum genap berusia tiga tahun. Suatu hari diajak ibunya berbelanja ke sebuah pusat perbelanjaan. Mereka melewati sebuah restoran cepat saji yang memasang poster di dindingnya secara mencolok. Melihat poster tersebut, Keyvan berkata pada ibunya.
“Ummi, masa orang itu makan daging ayamnya banyak sekali, seember, tidak pakai nasi, makannya sambil jalan lagi. Terus, dia juga tertawa-tawa. Padahal tidak baik. Tidak lucu,” katanya.
Di halte busway sebuah keluarga sedang menunggu bus Transjakarta. Pintu kaca otomatisnya menempel di dinding dan tak berfungsi lagi. Pintu kaca tersebut retak dengan ukuran kecil-kecil dan tersebar merata, sehingga tampak seperti mozaik. Si ibu begitu penasaran karena kaca tersebut tetap berdiri tegak. Ia pun kemudian menyentuh pelan-pelan permukaan kaca tersebut.
Tiba-tiba, anak perempuannya berteriak, ”Bunda, kok melanggar aturan! Lihat, di situ kan tertulis, ‘dilarang memegang kaca’. Bunda malah memegangnya,” kata si anak yang berusia delapan tahun itu.
Si ibu tentu saja kaget, ia merasa malu. Sekilas ia melihat pengumuman tersebut, namun tidak memperhatikan isinya. Meskipun yang dilakukannya hanya menyentuh secara pelan-pelan, namun ia merasa telah memberi contoh tidak baik tentang pentingnya mentaati aturan.
Dua kisah di atas, menunjukkan tentang anak-anak yang sudah paham tentang apa itu aturan. Keyvan secara spontan dapat melihat sesuatu yang menurutnya tidak sesuai dengan aturan makan. Aisyah, anak perempuan itu, sudah menyadari bahwa segala sesuatu ada aturannya. Ia pun paham bahwa aturan dibuat agar kita aman berinteraksi dengan yang lain setiap hari. Karena itu, mereka sudah merasa nyaman dengan aturan.
Dalam keseharian, kita kerap melihat bahwa orang dewasa tidak memberi contoh tentang komitmen menjalankan aturan, bahkan dari hal-hal kecil. Karena itu, di Indonesia seringkali aturan seolah dibuat untuk dilanggar. Lihatlah, jika ada papan yang bertuliskan ‘dilarang membuang sampah’ di situ bisa dipastikan akan ada timbunan sampah.
Fenomena ini sangat ironis. Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, namun kesadaran menjalankan aturan sangat rendah.
Apa yang dikatakan Keyvan tentang aturan makan sangat berbeda dengan aturan yang banyak terjadi di masyarakat. Lihatlah, begitu banyak orang tua yang menggendong anak ke luar rumah untuk makan, bahkan membiarkan anak makan sambil berlari-lari. Anak-anak jarang diajarkan tentang aturan, bahkan dalam urusan makan-minum yang menjadi kegiatan sehari-hari.
Manusia berbeda dengan hewan, jika lapar hewan akan makan apa saja apa yang ada di hadapannya tanpa memikirkan siapa pemiliknya. Sedangkan manusia, selapar apa pun dia seharusnya hanya makan makanan yang menjadi haknya. Saat makan, manusia seharusnya juga memikirkan: tata cara makan, halal-haramnya, dan jenis makanan yang baik (thayyib) untuk kesehatannya.
Ajaran Islam telah menetapkan serangkaian aturan. Jika kita biasa menjalankan aturan mulai dari hal yang kecil, maka niscaya akan siap menjalankan aturan besar lainnya. Anak-anak yang terbiasa dan nyaman dengan aturan, maka kemanapun ia pergi ‘aturan’ itu akan senantiasa mereka laksanakan, dan mereka hidup selamanya bersama aturan. 

Ida S Widayanti

0 komentar:

Posting Komentar