Seorang ibu merasa bersalah ketika
ia harus meninggalkan anak-anaknya ke luar kota. Beberapa hari sebelum
berangkat si Ibu sudah menyiapkan mental anak-anaknya dengan mengajak mereka
berdiskusi. ”Maaf ya, ibu harus pergi ke luar kota untuk acara bedah buku.
Mudah-mudahan buku ibu laku, jadi kita punya uang. Mas kan ingin beli sepeda,
mbak ingin membeli rumah boneka, adik juga ingin beli mainan pesawat,” kata si
Ibu. Namun, jawaban anak sulungnya yang masih kelas 5 SD itu mengagetkan hati
si ibu.
”Bu, kalau uang kan sebenarnya
bukan hal yang terlalu penting. Tapi kalau ibu pergi memberikan ilmu, lalu ilmu
ibu itu memberi manfaat dan dikerjakan oleh banyak orang, maka pahala ibu akan
terus mengalir sampai ibu meninggal nanti,” kata si Anak.
”Iya Bu, walaupun kami sedih
ditinggal ibu, sebenarnya kami senang karena ibu ditunggu dan diperlukan banyak
orang di sana. Kami harus berbagi,” ujar anak yang tengah yang masih kelas 2
SD.
Mendengar kata-kata anaknya, si Ibu
merasa terharu. Ia mengira bahwa anak-anaknya akan senang dengan iming-iming
yang ia sebutkan. Namun diluar dugaannya, anak-anaknya memahami sesuatu yang
jauh bernilai dari sekadar materi.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa
pengertian dan kesadaran anak dapat dibangun melalui sesuatu yang lebih
bermakna. Tidak selalu pemberian hadiah berupa benda-benda kongkrit menjadi
sesuatu yang menarik bagi anak. Namun, banyak orangtua dan guru yang masih
menjadikan reward atau hadiah sebagai alat utama untuk mendidik atau mendisiplinkan
anak. Bukan hal yang aneh kalau terdengar teriakan, “Doni, cepat mandi! Nanti
mama kasih coklat kesukaanmu!”
Iming-iming hadiah biasanya
dilakukan orangtua yang merasa capek terus membujuk anak. Menurut ahli
pendidikan bahwa semua hadiah yang dijadikan barter dengan perilaku anak adalah
sogokan.
Sebenarnya konsep reward
penghargaan dapat dilakukan agar anak bersemangat melakukan hal yang baik atau
positif. Namun, kita perlu berhati-hati agar jangan masuk kategori bujukan atau
sogokan. Misalnya, membujuk anak supaya berhenti menangis. Bahkan, pemberian
sogokan tidak menumbuhkan motivasi dari dalam dirinya (intrinsic motivation)
dan akan bergantung pada motivasi dari luar (extrinsic motivation), yaitu
hadiah. Hal itu akan membuat daya juang anak rendah.
Sogok juga akan membuat anak
pamrih, sehingga orangtua akan kerepotan karena harus terus-menerus menyiapkan
hadiah. Dalam jangka panjang nilai hadiah juga harus bertambah. Ketika anak
makin besar, tentu permen tidak akan cocok lagi.
Mandi, makan, minum susu, dan
membaca buku adalah untuk kebaikan anak. Hadiahnya ada pada manfaat kegiatan
tersebut. Tidak tepat jika orangtua memberikan hadiah yang tidak ada
hubungannya. Dengan terus memberi pengertian tentang manfaatnya maka akan
tumbuh motivasi dari dalam dirinya sendiri.
Yang paling membahayakan jika
kebiasaan menyogok terus dilakukan maka akan terbawa sampai dewasa. Di tempat
bekerja, ia akan selalu bertanya, ”Apa yang akan saya dapat jika saya melakukan
hal ini?” Inilah salah satu yang menyebabkan Indonesia menjadi bangsa
terkorupsi.
Islam mengajarkan keikhlasan. Dan
bisa kita mulai dengan tidak mengobral hadiah, namun dengan memberi pengetahuan
dan pengertian yang menggugah kesadarannya.
Ida S Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar