Penggenggam Kebenaran



Suatu hari dalam kemacetan lalu lintas seorang teman menceritakan pengalaman seorang penyelam saat menyusuri alam bawah laut yang sangat menakjubkan dan penuh misteri. Hal yang menurutnya sangat mencengangkan adalah fakta bahwa pulau-pulau kecil dengan luas puluhan atau ratusan meter persegi, penopang di bawahnya rata-rata hanya sebesar drum.

Cerita itu membuat saya merenung dan menyadari betapa banyak hal yang tak terjamah dan tak tersentuh oleh kehidupan kita. Jangankan di bawah laut, bahkan dipermukaan bumi pun betapa terbatasnya apa yang kita ketahui. Apalagi yang di luar angkasa... amat sedikit orang yang pernah menjelajahinya.

Saya jadi teringat kata-kata kakak saya, dalam satu kesempatan ia mempertanyakan selama tinggal di Jakarta, berapa tempat yang sudah dikunjungi? Berapa banyak jalanan yang sudah ditapaki? Ok, mungkin Jakarta terlalu luas, kita persempit lagi. Misalnya di sebagian Jakarta saja, berapa banyak jalan yang sudah dilalui? Atau di lingkungan rumah, berapa banyak gang yang sudah dilalui? Kebanyakan dari kita paling hanya melalui jalan yang merupakan jalur perjalanan rumah dan kantor. Betapa kecilnya area yang kita lalui.

Saya tiba-tiba makin merasa kecil dan tak tahu apa-apa di bumi ini. Kita semua yang tinggal dunia, berapa banyak pengetahuan tentang dunia yang kita miliki? Tentu amatlah sedikit. Pantaskah kita sebagai makhluk kecil dan hina ini mengklaim sebagai pemegang kebenaran?
Kenyataan ini mengingatkan saya pada fenomena saat ini ketika banyak orang tiba-tiba latah mengatakan ESQ dan Ary Ginanjar sesat dan menyimpang. Banyak tulisan yang saya temui bertaburkan analisis dan dugaan yang, mohon maaf, jauh dari kenyataannya. Mereka tidak membaca buku secara utuh atau ikut trainingnya secara penuh, namun berteriak lantang tentang ini dan itu yang dianggapnya sesat.

Mereka seolah telah mempelajari semua ilmu, telah membaca semua buku, dan telah belajar pada semua alim ulama, telah mendalami kehidupan penulisnya dan paham latar belakang mengapa buku itu lahir. Saya juga yakin, yang menulis macam-macam dan menuduh hal-hal yang tak pantas tentang ESQ, hanya membaca bukunya sepintas lalu, bahkan mungkin itupun merujuk buku lama yang sudah banyak direvisi.

Bahkan seorang yang mengaku ustadz dalam semua seminar menuduh Ary Ginanjar membawa ajaran dan agama baru baru karena membaca tulisan di halaman persembahan yang berisi:

“Saya persembahkan secara khusus yang amat saya cintai dan kasihi anak-anakku... Semoga tulisan ini bisa menjadi buku pegangan hidupmu, sehingga pemikiran ini bisa terwariskan padamu. Saya yakin, inilah warisan yang paling berharga buatmu, hati, pemikiran, dan langkah yaitu sebuah pemikiran dan langkah berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, dan Ihsan.”

Menurut  orang tersebut, jelas bahwa Ary Ginanjar membawa ajaran dan agama baru yang bernama ESQ 165, dan pada anak-anaknya ia tidak mewariskan Quran dan Hadis, melainkan ajaran ESQ 165. Saya sungguh kaget mendengar logika Ustadz tersebut! Bukankah sangat jelas tertulis sebagai “sebuah pemikiran dan langkah berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, dan Ihsan” tidak ada yang salah dan tidak ada tersirat makna apapun bahwa Ary adalah Rukun Iman, Rukun Islam, dan Ihsan.
ESQ 165 hanya sebuah judul buku dan nama training yang ingin mengembalikan Rukun Islam, Rukun Iman, dan Ihsan ke dalam setiap jengkal kehidupan manusia dalam bidang SDM, manajemen, dan pembangunan karakter. Selama ini Al Quran hanya dihapal tapi jauh dari kehidupan pebisnis, perkantoran, industri, dan perusahaan-perusahaan. Lalu apakah ini layak dipandang sesat? Sedangkan banyak orang Islam mengikuti training SDM semacam Seven Habits yang jelas-jelas bersumberkan pada ajaran Kristen Mormon tidak dianggap sesat.

Membaca buku hanya setengah atau bahkan sepenggal, sangat berpeluang menimbulkan salah persepsi. Jangankan membaca buku -ciptaan manusia yang sangat memungkinkan mengandung kesalahan- membaca Al Quran pun yang sudah jelas dijamin kesucian dan kebenarannya pun, jika hanya sepotong-sepotong bisa berpeluang menyimpang. Bacalah Surat Al Maun hanya ayat 4, “Maka Celakalah orang yang shalat.” Tentu akan menimbulkan kesalahan.

Saya kira semua orang punya keterbatasan, tak ada yang menulis buku sedemikian sempurna sampai tak ada cacat sedikitpun di dalamnya. Tak perlu menghujat yang membingungkan umat, beri masukan saja dan kritik membangun, dan yang paling penting janganlah merasa paling benar. KEBENARAN yang mutlak hanyalah milikNya. Manusia hanya mendekati kebenaran. Betapa sombongnya orang yang merasa dirinya paling benar, dan menuduh orang lain 100% salah.

Allah menggambarkan betapa kecil kita di hadapan ilmu Allah:

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. Al Kahfi 18:109) “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habis-nya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS.Luqman 31:27)

Masih pantaskah diri kita mengklaim sebagai pemegang kebenaran, dan menyalahkan yang lain?



Ida S Widayanti

0 komentar:

Posting Komentar