Penularan Emosi



Seorang ibu baru saja pulang dari tempat kerjanya dalam keadaan lelah. Urusan dan pekerjaan kantor yang menumpuk masih menggelayuti pikirannya. Perjalanan dari tempat kerja yang cukup jauh dan macet membuat tubuhnya kian terasa letih.
Dengan lunglai ia membuka pintu rumahnya. Terpampanglah ruang tamunya yang berantakan. Baru selangkah kakinya masuk ke ruangan, kedua anaknya berhamburan menyambut dan seakan berlomba berbicara, minta ini dan itu.
Si ibu makin merasa pening, akhirnya ia masuk kamar dan mengunci pintunya. Ia benar-benar lelah, lalu ia pun merebahkan tubuhnya. Didengarnya anaknya yang paling kecil berteriak sambil memukul-mukul pintu kamar. Pembantunya membujuk dan menghiburnya. Si ibu sebenarnya merasa iba hatinya mendengar tangisan anaknya, dan hatinya berkata, ”Maafkan ibu, Nak! Ibu perlu istirahat sebentar saja agar bisa bermain lagi dengan kalian.”
Mungkin banyak ibu pekerja yang mengalami pengalaman serupa. Karena lelah, si ibu kurang peduli pada anak-anaknya yang seharian ditinggalkannya. Ia berharap anak-anaknya bisa mengerti kondisinya.
Namun, ibu tersebut lupa bahwa sikapnya itu akan meninggalkan jejak di otak anaknya hingga dewasa nanti. Jika ibu dalam keadaan capek, bermuka masam, sibuk dengan diri sendiri, dan tak peduli pada sekitar, maka tanpa disadari otak anak akan mencatatnya, ”O, kalau sedang capek boleh tidak peduli pada orang lain.” Apalagi jika ibu sampai terpancing sehingga ia berkata, ”Sudah! Bisa diam tidak, ibu lagi capek!”
Jika hal itu sering diucapkan ibu, suatu saat ketika anak sudah dewasa, kemudian sedang capek dan banyak pekerjaan, lalu ibu bertanya maka sang anak bisa berkata, ”Ibu bisa diam tidak, saya lagi capek!” Mungkin si ibu sakit hati pada anaknya, padahal dulu ibulah yang menanam sikap tersebut pada anaknya.
Akan tetapi, jika ibu dalam keadaan capek berkata, ”Ibu memang capek, tapi masih ada sisa tenaga untuk berjalan dan berbicara dengan kalian. Capek bisa hilang kalau kita istirahat, makan, dan minum.” Atau perkataan lain yang bisa membuat anak-anak memahaminya. Maka anak pun akan meniru sikap seperti itu.
Saat lelah, penting bagi ibu untuk mengelola diri agar jangan sampai terpancing emosi. Sebab, emosi bisa menular. Daniel Goleman dalam bukunya Social Intelligence menyatakan bahwa di dalam otak terdapat banyak syaraf cermin (mirror neuron) yang dapat memantulkan aktivitas sel otak orang lain. Sehingga, tanpa disadari manusia akan saling menyalin ekspresi wajah, pola nafas, dan gerakan tubuh orang lain.
Jika ibu dalam keadaan lelah dan marah berhadapan dengan anak, maka perasaan tersebut akan menjalar pada anak, sehingga ia bisa balik mengekspresikan kemarahannya pada sang ibu. Akibatnya, ibu tentu akan merasa tidak senang atau tidak nyaman.
Karena itu, jika ibu dalam keadaan lelah masih bisa tersenyum dan bersikap ramah, maka anak pun akan tetap merasa nyaman. Pancaran kebahagiaan di wajah ibu juga akan menular pada sang anak. Sehingga anak akan memiliki konsep di pikirannya bahwa ibu adalah sosok yang menyenangkan dalam situasi apa pun. Hubungan ibu dan anak pun akan terjalin dengan indah. 

Ida S Widayanti

0 komentar:

Posting Komentar