Perjuangan untuk Ketidakbaikan

Selama ini perjuangan senantiasa identik dengan kebaikan. Adakah perjuangan untuk suatu ‘ke-tidak-baikan’?


Pertanyaan di atas melintas begitu saja di kepala saya saat masih kuliah. Ketika itu saya merasa bahwa untuk melakukan sebuah kebaikan begitu susahnya, sehingga dibutuhkan perjuangan-perjuangan berat.

Untuk berhasil meraih cita-cita –dengan kuliah di dua perguruan tinggi negeri sekaligus- saya harus belajar mati-matian dan mengerjakan segudang tugas. Menjadi aktivis dakwah kampus juga tidak mudah, selain kegiatan sosial banyak, dana organisasi minim sehingga harus membantu mencarikannya, juga waktu yang terbatas sehingga harus pontang-panting membagi waktu. Untuk itu seringkali hari Minggu pun saya tak pernah bisa berkumpul dengan keluarga atau sekadar jalan-jalan dan bersenang-senang.

Sedangkan saya melihat fenomena teman-teman ‘yang lain’. Mereka kuliah asal-asalan, sering membolos, kerjaannya main, ngobrol di kantin. Hidupnya tanpa beban berat, hanya memperturutkan kesenangan. Dari situlah titik tolak asumsi saya bahwa untuk jalan kebaikan perlu kerja keras dan perjuangan berat.

Pada saat saya sudah mulai bekerja, pandangan itu mulai sedikit bergeser. Saya lihat teman-teman yang dulu rajin kuliah dan juga ikut organisasi, umumnya sukses di dunia kerja. Sedangkan teman-teman yang sering bolos, nyantai, dan cenderung seenaknya sendiri, banyak yang gagal di dunia kerja. Dari situ saya mulai berpikir bahwa meskipun kita bersusah payah dulu, toh akhirnya perjuangan itu berbuah kesuksesan.

Namun, ada peristiwa yang membuat pandangan saya benar-benar berubah. Pada suatu siang saya berbincang-bincang dengan sopir sebuah kendaraan umum. Ia adalah mantan preman yang sudah malang-melintang di dunia kejahatan. Ia mengaku pernah melakukan apa saja yang disebut kejahatan: mabuk, berjudi, berkelahi dan membunuh, bahkan berzina dengan banyak wanita.

Ia pernah menjadi buronan, hingga merantau ke luar Jawa. Dalam setiap pengembaraan ia senantiasa mencari tempat yang aman, tahukah apa tempat yang paling dirasakan aman? Masjid. Ya, masjidlah tempat yang menurutnya membawa ketentraman.

“Saya lihat orang-orang yang berjalan mendekati pintu masjid wajahnya senantiasa tentram dan damai. Saking santainya, bahkan mereka bisa berjalan sambil bersiul. Sedangkan orang-orang yang berbuat kejahatan hatinya selalu diliputi ketakutan dan ancaman. Ketika mencuri seekor ayam saja, mana ada yang berani bersiul. Mendengar daun bergesek saja bisa membuat jantung seolah mau copot,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa untuk sukses ‘mencuri’ itu tak mudah, dibutuhkan kesungguhan dan kerja keras.

Dialog itu menimbulkan kesadaran baru bahwa untuk kejahatan pun ternyata perlu perjuangan, bahkan lebih berat. Tapi mengapa banyak orang beranggapan sebaliknya?

Sebuah kejadian lain makin memperlebar cakrawala pandangan saya tentang arti perjuangan. Saat itu hari Minggu di musim liburan, saya bersama dua anak berada di arena permainan Dunia Fantasi Ancol. Terbayang bagaimana berjubelnya orang di setiap wahana permainan.

Antrian selalu mengular, meliuk-liuk, jauh dari pintu masuk hingga ke tempat yang tak terlindungi dari sinar matahari. Berdiri lama di bawah sengatan sang surya, sedangkan pergerakan antrian terasa amat lambat, tentu bukan hal yang mudah dan menyenangkan. Saya lihat banyak orang membuka payung, atau mengguyur handuknya yang menempel di kepalanya. Apakah mudah untuk bersenang-senang? Ternyata TIDAK juga. Butuh perjuangan untuk hanya sekadar bermain dan bersenang-senang.

Sahabat, jika untuk bersenang-senang pun seseorang perlu berjuang, apalagi untuk kebaikan. Jika untuk ‘neraka’ (baca: kejahatan) saja seseorang perlu bekerja keras, apalagi untuk surga yang balasannya tak terhingga. Karena itu, jika Anda sedang berjuang untuk sebuah kebaikan, maka nikmatilah dan bersemangatlah, karena orang-orang yang sedang melakukan kejahatan atau ketidakbaikan pun, mereka harus berjuang dan jauh  dari kemudahan. Karenanya tak perlu mengeluh.

Sahabat, kita sedang berada di penghujung Ramadhan. Di tengah deraan lapar, dahaga, dan tubuh lunglai senantiasa ada godaan untuk bersantai-santai dan bermalas-malasan. Bangunlah diri, sibaklah selimut kemalasan, bergegaslah untuk menambah ketakwaan, meningkatkan ibadah-ibadah, dan amal sholeh serta kebaikan pada sesama. “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan pula.” (QS Ar-Rahman: 60).

Selamat berjuang untuk kebaikan!

Ida S Widayanti

0 komentar:

Posting Komentar