Ini kisah seorang ibu yang dimasa
kecilnya tinggal jauh di sebuah perkebunan di Jawa Timur. Untuk pergi dan
pulang sekolah, ia bersama ketiga saudaranya harus menempuh perjalanan sekitar
60 km dengan menumpang mobil truk perkebunan. Tentu saja kegiatan menuntut ilmu
menjadi terbilang berat dan sangat melelahkan untuk seorang anak di usia
sekolah dasar.
Namun ada hal yang paling
membahagiakannya, yang ia kenang sampai dewasa bahkan saat memiliki 3 orang
putra putri. Setiap pulang sekolah, ia disambut hangat sang ibu di halaman
rumah, seakan mereka tamu agung yang dinantikan. Lalu mereka menuju meja makan
yang sudah siap dengan menu kesukaan anak-anaknya.
Saat yang paling ia sukai adalah
saat sang ibu duduk menemani mereka makan. Semua anak ramai bercerita tentang
berbagai peristiwa yang mereka alami selama mereka berangkat, sampai mereka
pulang kembali dari sekolahnya. Sang ibu selalu antusias mendengarkan semua
cerita anak-anaknya, seakan semua itu kabar penting sekaligus paling
menggembirakan hatinya.
Menurut ibu tersebut, itulah
pengalaman terindah yang paling ia kenang sepanjang hidupnya. Sebuah peristiwa
yang tampak sederhana, namun sesungguhnya tidak sederhana. Pengalaman yang
kemudian membuatnya bercita-cita menjadi seorang ibu berkualitas yang melakukan
hal terbaik untuk anak-anaknya.
Dari kisah ibu tersebut kita dapat
belajar satu hal yang sangat penting, namun kerap terabaikan oleh para orang
tua yaitu ‘mendengarkan’ isi hati dan keluhan anak-anaknya. Orangtua pasti
menginginkan kebaikan bagi anak-anaknya, namun seringkali malah lebih banyak
menasihati dan menceramahi, bahkan memarahinya.
Ada seorang anak remaja yang kalau
ditelepon ibunya menjauhkan alat komunikasinya dari telinganya. Lalu sesekali
ia akan mendekatkan ke mulutnya untuk berkata, “Ya Ma, ya Ma!” lalu
menjauhkannya lagi dari telinganya. Ia sudah tahu bahwa ibunya hanya berbicara,
namun tak mendengarkannya.
Ada anak lain yang kalau ditelepon
ibunya, lalu temannya bertanya, ia menjawab, “Biasa…Nyokap nyanyi!” Bahkan ada
yang menamai orang tuanya “Radio Butut” siarannya itu-itu saja katanya.
Fenomena di atas tentu saja
memprihatinkan. Orangtua yang seharusnya menjadi orang yang paling dekat dengan
anak, dan tempat yang paling aman dan nyaman untuk mencurahkan isi hatinya
(curhat), menjadi sebaliknya.
“Didengarkan” adalah kebutuhan
semua orang anak maupun orang dewasa. Karena itu, ketika di rumah tidak ada
tempat curhat, maka anak-anak mencarinya di luar rumah. Ia curhat pada
teman-temannya, bisa sesama jenis atau lawan jenis. Padahal, hasil riset
menunjukkan bahwa remaja yang diberi kesempatan berbicara dengan orangtua
mereka akan memiliki daya tahan mental lebih baik terhadap lingkungan negatif.
Tentu saja anak tak bisa curhat
begitu saja pada orangtuanya. Kalau orangtua tak biasa mendengarkan dan
menyimak pembicaraan anak-anaknya sejak kecil, ia akan sungkan untuk berbicara.
Jika anak merasa dekat dengan orangtuanya, dengan sendirinya ia akan berbicara
karena merasa yakin didengarkan dan dimengerti, bukan disalahkan dan
diceramahi.
Seorang motivator ternama
mengatakan, “Semakin besar seseorang, ia cenderung semakin mendorong orang lain
untuk berbicara. Semakin kecil seseorang, ia cenderung semakin mengkhotbahi
lawan bicaranya. Bagaimana dengan Anda?
Ida S Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar