Perlu Orang Sekampung



Seorang ibu begitu menyesali tindakannya membiarkan handphone yang memiliki koneksi internet miliknya tergeletak begitu saja. Tanpa sepengetahuannya, alat komunikasi pintar itu dibawa oleh anaknya ke luar rumah. Di luar, anak tersebut bertemu dengan teman-temannya yang lebih besar. Lalu terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan sang ibu, temannya itu membuka situs porno. Mereka secara bergantian menyaksikan tayangan yang tidak layak dilihat siapapun.
“Bagaimana ya, cara menghapus memori di pikiran anak saya, supaya yang dilihatnya itu hilang dari pikirannya?” tanya si ibu kesedihan. “Sengaja saya jauh-jauh memasukannya ke pesantren, ternyata sekalinya pulang teracuni juga,” si ibu mulai terisak. Ia lupa bahwa anak-anak di lingkungan rumahnya kebanyakan anak-anak kelas bawah, yang orangtuanya sibuk mencari makan. Mereka tidak sempat memperhatikan akidah dan akhlak anak-anaknya.
Si ibu menyadari ternyata tidak cukup hanya memasukkan anaknya ke pesantren, jika lingkungan rumah memberikan pengaruh negatif. Saat liburan, mereka tetap berinteraksi. Karena itulah pantas Hilary Rodham Clinton mengatakan dalam bukunya bahwa It Takes a Village to Raise a Child, perlu sekampung untuk membesarkan seorang anak. Terlepas dari kontroversi dari mana ide tersebut muncul atau siapa yang membantu menuliskan buku Hillary tersebut, namun banyak orang mengakui bahwa untuk mendidik seorang anak dibutuhkan lingkungan yang mendukung.
Di tempat lain, seorang ibu yang memiliki beberapa orang anak merasa prihatin dengan lingkungan rumahnya yang tak ada tempat mengaji. Meski ada di ibu kota, lingkungan rumahnya berada di sebuah kampung yang agak sepi. Di kampung tersebut masih banyak lahan kosong, sedangkan akses jalan kurang bagus.
Kampung tersebut adalah satu Rukun Warga yang terdiri dari 140 kepala keluarga. Di situ terdapat mushalla kecil yang tidak ’hidup’. Konon pernah ada pengajian untuk anak-anak, namun entah mengapa akhirnya pengajian itu bubar. Sehingga anak-anak mulai dari yang kecil hingga remaja tidak ada tempat untuk mengaji dan belajar agama.
Ibu yang gelisah melihat keadaan tersebut akhirnya membuka tempat mengaji di rumahnya dengan mendatangkan guru ngaji. Ia juga membuka taman bacaan gratis untuk anak-anak di sekitar rumahnya, agar mereka mencintai dan menyukai kegiatan membaca.
Apa yang terjadi sungguh diluar dugaannya. Anak-anak ibu tersebut begitu semangat dan antusias. Bila jam mengaji sudah dekat, mereka yang menyiapkan segala keperluan mengaji di mushalla di rumahnya. Mereka menggelar karpet, menyiapkan spidol dan alat lainnya. Mereka siapkan juga minuman dan makanan untuk gurunya itu. Mereka juga biasa menjemput teman-temannya untuk datang mengaji. Jika ada sesuatu milik temannya yang ketinggalan, mereka mengantarkan barang itu ke rumah temannya. Sikap tanggung jawab dan kepeduliannya muncul.
Ibu tersebut baru menyadari banyak manfaat positif ketika ia peduli pada lingkungan sekitarnya. Selain anak-anak di sekitar rumah mendapat tambahan pendidikan aqidah dan akhlak yang menjadi benteng pergaulan, namun juga memunculkan sifat-sifat positif anak sendiri. Peduli pada anak berarti peduli pada lingkungan.*


 Ida S Widayanti

0 komentar:

Posting Komentar