Di tengah padang yang terbuka luas,
dua orang musafir berdebat tentang sebuah titik hitam yang tampak nun jauh di
depan. Yang seorang menyatakan, titik itu tak lain seekor kerbau. Sementara
lainnya sangat meyakini, itu seekor banteng.
Riuh rendah mereka berdebat dengan
argumentasinya. Karena tidak ada titik temu, satu-satunya jalan yang mereka
sepakati adalah bersegera mendatangi titik itu ke tempatnya.
Maka, mereka pun berjalan menyusuri
padang, sambil terus berdebat, beradu wacana, mempertandingkan acuan, referensi
dan pengalaman. Sampai akhirnya mereka hampir tiba di titik yang dituju. Namun,
sebelum mereka melihat persis apa gerangan ia, titik itu tiba-tiba melesat,
terbang dari tempatnya, melayang-layang ke angkasa.
“Burung!” kata salah seorang, “Apa
saya bilang”. “Tidak bisa!” sahut lainnya.
Keduanya berlari mendekat, meskipun
si benda terbang itu melesat makin jauh dan tinggi. Akhirnya, mereka berhenti
dengan sendirinya dengan napas terengah-engah.
“Kerbau!” kata orang kedua.
“Kerbau bagaimana?” orang pertama
membantah, “Sudah jelas benda itu bisa terbang, pasti burung!”
“Kerbau!” orang kedua bersikeras,
“Pokoknya kerbau! Meskipun bisa terbang, pokoknya kerbau!”
Saya doakan dengan tulus ikhlas
semoga Allah melindungi Anda dari kemungkinan memiliki teman, saudara, istri,
rekanan kerja, direktur, bawahan, pemerintah, penguasa, pemimpin atau apa pun,
yang wataknya seperti si pengucap kerbau itu.
Kalau nyatanya Anda telanjur
memiliki sahabat kehidupan yang habitat mentalnya seperti itu, saya hanya bisa
menganjurkan agar Anda bersegera menyelenggarakan ruwatan bagi nasib Anda
sendiri. Atau, tempuhlah cara yang lebih relegius: puasa empat puluh hari,
salat hajat tiap malam, mencari wirid-wirid paling sakti yang memungkinkan Anda
terlindung oleh para malaikat Allah dari spesies manusia semacam itu.
Cobalah kata “kerbau” itu Anda
ganti dengan kata lain. Umpamanya reformasi. Kata “terbang” bisa Anda ganti
dengan kata lain, yang relevan terhadap reformasi. Ucapkan kata-kata semacam
tokoh kita itu, “Meskipun saya mempertahankan agar segala sesuatunya harus tetap
mapan, stabil dan buntu, tapi yang penting pokoknya saya ini pendukung
reformasi!”
“Meskipun saya bisa sampai ke
wilayah yang serba menggiurkan ini, serta duduk di kursi yang penuh wewangian
ini berkat proses dan mekanisme nepotisme dan feodalisme, tapi yang penting
pokoknya saya antinepotisme”.
“Meskipun terus terjadi
ketertutupan, pembungkaman dan pemusnahan, tapi pokoknya ini keterbukaan dan
demokrasi”.
“Meskipun saya berbuat tidak adil,
tapi pokoknya saya anjurkan agar saudara-saudara berbuat adil”.
“Meskipun habis-habisan saya
melanggar hukum, tapi pokoknya saya ini penegak hukum”.
“Meskipun sebagai pihak yang
diamanati oleh rakyat dan digaji oleh rakyat, saya tidak pernah minta maaf
kepada rakyat atas terjadinya kebangkrutan negara dan krisis total, tapi yang
penting pokoknya saya bukan pemerintah yang buruk”.
“Meskipun kita kandas di landasan,
tapi yang penting pokoknya ini adalah tinggal landas”.
“Meskipun harga bukan hanya naik
tapi lompat galah, yang penting pokoknya ini bukan kenaikan melainkan penyesuaian”.
Memang tidak ada makhluk Tuhan yang
cakrawala kemungkinannya melebihi manusia. Manusia adalah sepandai-pandainya
makhluk, namun ia bisa menjadi sedungu-dungunya hamba Tuhan. Ular saja mengerti
persis kapan ia harus makan, seberapa banyak yang sebaiknya ia makan, serta
kapan ia mesti berhenti makan. Sementara manusia makan kapan saja, menangguk
keuntungan tak terbatas sebanyak-banyaknya — seandainya ia tak dibatasi oleh
maut.
Manusia itu paling lembut, tapi ia
juga yang paling kasar. Manusia bisa mencapai kemuliaan kepatuhan kepada Tuhan,
namun ia juga mampu melorot ke titik paling nadir untuk bandel, mokong, mbalela
dan makar. Untunglah, Allah itu sendiri adalah khoirul makirin:
sebaik-baiknya pelaku makar.
Manusialah mahluk Allah termulia. Ahsani
taqwim. Tapi ia juga yang paling hina dan paling rendah. Asfala
safilin.
Doa kita hanya sekalimat: “Ya
Allah, makhlukMu yang asfala safilin, tolong jangan izinkan punya
kekuasaan dan memegang senjata. Amin.”
0 komentar:
Posting Komentar