“Mbak, kalau membawa barang secukupnya saja. Kalau membawa sesuatu melebihi
kemampuan tangan kita, benda itu pasti akan jatuh. Aku juga diberi tahu seperti
itu oleh Bu Guru kalau aku sedang bermain di sentra balok,” ujar Hani, siswa TK
B kepada khadimatnya (pembantu) yang secara tidak sengaja menjatuhkan
piring-piring yang dibawanya.
Hani yang baru berusia enam tahun, telah memahami
prinsip dari kata “secukupnya” dan apa konsekuensinya. Ia pun sudah mencoba
menerapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Namun di masyarakat saat ini,
aplikasi sikap tersebut jarang terlihat. Bahkan di sebuah seminar tentang
pendidikan anak usia dini bagi guru dan orangtua yang diselenggarakan di sebuah
hotel berbintang, terjadi fenomena sebaliknya.
Acara yang mendatangkan pembicara dari luar negeri
tersebut dihadiri ratusan guru dari berbagai daerah, termasuk dari luar Jawa.
Sebagian besar pesertanya Muslimah, terlihat dari pakaian peserta yang
mayoritas berjilbab. Pada hari pertama, setiap makanan –khususnya makanan
ringan (snack)- yang disediakan selalu tidak cukup, banyak peserta yang tidak
kebagian makanan. Padahal, jumlah makanan yang disediakan dilebihkan dari
jumlah peserta dan panitia.
Setelah petugas hotel mengamati perilaku peserta, ternyata
banyak orang yang mengambil makanan melebihi jatah yang disediakan. Jika ada
tiga jenis makanan, maka beberapa orang mengambil dua atau tiga makanan untuk
satu jenis, sehingga satu orang bisa mengambil lebih dari enam potong makanan.
Padahal, makanan tersebut ternyata banyak tersisa di piring peserta dan
kemudian terbuang.
Akhirnya, petugas hotel mengubah cara menyajikan
makanan, tidak lagi berupa prasmanan dimana peserta memilih dan mengambil
sendiri, namun sudah dimasukkan ke dalam piring kecil. Masing-masing piring
terdiri dari satu buah makanan untuk satu jenis. Walhasil, makanan untuk
peserta ternyata mencukupi bahkan masih berlebih.
Fenomena itu merupakan hal yang biasa di masyarakat
kita. Jika ada acara hajatan atau perhelatan akan terlihat fenomena yang sama.
Orang mengambil sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan apakah makanan itu akan
habis atau tidak.
Kata “secukupnya” tampaknya sangat sederhana dan
sepele, namun sesungguhnya memiliki arti dan dampak yang sangat besar dalam
kehidupan. Dalam realitas keseharian, banyak tragedi dan bencana disebabkan
banyak orang yang tidak memiliki prinsip ‘mengambil sesuatu hanya secukupnya’
atau ‘sesuai kebutuhan’, tidak berlebihan dan tidak kekurangan.
Kita melihat berita di televisi, banyak terjadi bencana
longsor dan banjir karena pohon ditebangi secara besar-besaran. Banyak pejabat
yang sesungguhnya sudah kaya raya, lalu ingin lebih kaya lagi dengan cara
korupsi. Masih banyak contoh perilaku yang melanggar sikap “secukupnya” yang
bisa berakibat fatal. Padahal, puluhan ayat di dalam al-Qur`an yang melarang
gaya hidup berlebihan dan melampaui batas.
Secukupnya adalah sikap yang tidak serta merta ada,
namun perlu dibangun sejak dini melalui penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
“…Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.” (Al-A’raaf [7]: 31)
Ida S Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar