Manusia selalu
dirundung problem bahasa. Bahkanpun para penyair, yang biasanya berada di dalam
“istana” eksklusif yang jauh dari politik dan masyarakat umum. Dewasa ini problematika budaya-bahasa dan politik-bahasa berkembang dan
membengkak sedemikian rupa, sehingga sangat menyempitkan kemungkinan kekayaan
komunikasi.
Dulu penyair kontemplatif Goenawan Muhamad kasih
dalil: “Musuh utama
penyair adalah salah cetak”. Kalau “binatang jalang” salah cetak menjadi “binatang jalan”, atau
“represi” menjadi “ekspresi”, maka habislah semuanya. Tak hanya penyair, semua
penulispun mengalami tantangan yang sama. Para pelukispun bulan-bulan ini harus
hati-hati: sementara singkirkan dulu cat hijau, kuning dan merah.
Saya bukan benar-benar seorang penyair, tapi
sering disuruh bikin kalimat-kalimat yang nanti orang menganggapnya puisi. Dan akhir-akhir ini rasa takut saya
membengkak setiap kali hendak memutuskan menggunakan suatu kosa kata atau
susunan kalimat. Ketakutan saya itu karena pada dasarnya saya
sangat menghormati ajaran para leluhur bahwa dalam hidup ini kita harus lebih
banyak mendengarkan orang dibanding mengomongi orang.
Bahkan Allah sendiri sangat lebih menekankan
fungsi sami’ (mendengar) dibanding bashir (melihat). Jadi orang omong apa saja selalu saya anggap
penting, karena mereka sudah besar, sudah dewasa, sudah sangat mampu berpikir
dan memutuskan segala sesuatu yang hendak diungkapkan. Kalau saya acuhkan dan
abaikan, itu kekeliruan sosial.
Suatu saat saya bikin kalimat: “Muhammadkan hamba
ya Allah….” Seseorang menuduh saya sok suci. Manusia biasa yang banyak dosa kok pengin jadi
Nabi. Padahal yang dimaksud “muhammadkan hamba” adalah
upaya dan doa mohon perkenan Allah agar membantu kita memakai wacana
kepribadian Muhammad untuk bisa kita terapkan dalam diri kita.
Allah sendiri bahkan kabarnya menciptakan manusia
dengan formula seperti “miniatur” Dia sendiri. Itu berarti merupakan anjuran
agar kelengkapan dan komprehensi-dialektis asma Allah kita jadikan acuan. Jadi, kita membina perilaku ini
berdasarkan cakrawala karakter Allah sendiri. Ia rahman rahim, penuh kasih
sayang. Tapi Ia juga bikin neraka, Ia juga qabidl (penahan rejeki), Ia juga
syadid (penyiksa), Ia juga mutakabbir (pentakabur) — namun semua watak yang dalam pandangan kita
seolah negatif itu selalu berfungsi positif karena diterapkan pada tempat dan
konteksnya yang tepat.
Mentang-mentang kita menganut ajaran kasih sayang
rahman rahim maka lantas kita menolak bikin rumah penjara, mengampuni koruptor,
membatalkan pasal-pasal hukum mengenai perampokan, penindasan atau kekejaman. Lembaga Pemasyarakatan itu bukan
institusi kekejaman.
Nerakanya Allah adalah wujud dialektis dari kasih sayangNya juga. Cara
menyayangi anak yang bersalah adalah dengan menghukumnya.
Tapi hal-hal
semacam itu tidak selalu gampang dijelaskan kepada manusia. Sehingga tatkala untuk Idul Adha saya mau bikin kalimat “Ismailkan hamba ya Rabbi….” — saya begitu kawatir orang akan salah
paham. Padahal maksud saya adalah kalau saya disembelih dalam pengalaman
sejarah, saya mohon kepada Allah agar kambing yang tersembelih.
Gelar Nabi Ismail AS adalah dzabihullah.
Sembelihan Allah. Saya
ingin sekali menggunakannya untuk judul suatu tulisan, namun dengan perasaan
was-was. Apakah Allah tukang sembelih? Apakah Allah itu Maha Jagal, sebagaimana
dalam konteks lain saya juga takut mengumumkan idiom wallohu khoirul makirin,
Allah itu Maha Pemakar?
Mungkin sudah
ratusan kali kita mengkomunikasikan bahwa untuk urusan tertentu peradaban kita
ini pra-Ibrahim. Kalau Ibrahim AS. hidup sekarang dan pada suatu pagi menyembelih
anaknya, para tetangga segera akan melaporkannya ke Polsek, atau mungkin
langsung memukulinya sampai meninggal. Di zaman ini kita tidak
memiliki perangkat ilmu pengetahuan dan tingkat legalitas hukum yang sanggup
mengakomodasikan fenomena (vertikal) Ibrahim dan Ismail.
Jangankan
fenomena penyembelihan. Sedangkan kita suatu hari nongkrong di dekat kandang
kambing saja orang lantas menyimpulkan kita adalah kambing. Saya berpapasan dengan angin pada suatu siang dan omong-omong sejenak,
orang di sekitar saya langsung menyangka saya masuk angin. Orang sekarang gila label.
Kalau saya
jum’atan, saya memutuskan untuk berjamaah hanya dengan kaum gelandangan. Kalau
berjum’atan dengan pedagang kaki lima, saya kawatir ada yang modalnya dari Pak
Carik sehingga nanti saya ikut dituduh direkrut oleh Pak Carik. Kalau ada
satpam dalam jamaah di mana saya ikut, nanti saya dituduh orangnya pejabat ini
atau pengusaha itu di mana satpam itu bekerja. Susahnya yang nuduh saya itu
bukannya para gelandangan, melainkan orang yang memang benar-benar bekerja di
kekuasaan dan konglomerasi.
Bahkan terakhir saya mendengar label baru bahwa saya adalah intel karena suka
bergaul dengan gelandangan, yang sebagian dari mereka adalah memang intel yang
menyamar jadi gelandangan.
Demikianlah saya senantiasa bersetia mendengarkan
orang lain. Dan itulah sumber pengetahuan hidup saya. Tapi susahnya, orang sering tak bisa diduga apa
maunya. Pernyataan orang juga tidak selalu mencerminkan sikap dan kemauannya. Kalau seseorang bilang “Nun, kamu sekarang bukan temanku lagi”, lantas saya percaya, saya
terapkan, sehingga ketika bertemu di jalan saya tidak berani menegur dan tatkala dia membutuhkan pertolongan saya tidak menolong — ternyata
reaksinya begini: “Kamu
memang sombong! Kamu tidak berperikemanusiaan, tidak peka terhadap kebutuhan
orang lain”.
Bahkan ketika saya butuh pertolongan namun tidak merasa berhak minta tolong
kepadanya, ia berkomentar: “Dia memang sok kuat. Egosentris. Tidak merasa bahwa orang hidup itu saling
membutuhkan. Disangkanya saya sedemikian lemahnya sehingga tidak bisa menolong
dia!”
Saya melihat itu semua adalah peristiwa cinta. Kalau kita tidak menimba, orang yang kita
cintai dan mencintai kita marah: “Kok nggak mau nimba sih?”. Kalau kemudian
kita menimba, ia tuding: “Terpaksa ya nimbanya!”. Lantas kita hentikan menimba,
ia bersungut-sungut: “Memang aslinya tidak mau menimba!”.
Cinta itu terkadang over-sensitif. Kalau yang terlibat dalam percintaan
adalah orang besar, lebih susah lagi. Kalau bersikap biasa-biasa
saja, ia naik pitam: “Nggak
tahu siapa saya ya! Belajar menghormati dikit kek!” Kalau kemudian kita membungkuk menghormatinya, ia tuduh: “Nyindir ya! Saya tidak mau kau
menghina dengan pura-pura menghormatiku!”. Kemudian kita kembali
bersikap biasa, dan ia serbu kita: “Dasar tak tahu diri!”
Lama-lama saya “curiga”, kayaknya doa saya
dikabulkan oleh Allah. Mudah-mudahan saya adalah the tiny Ismail yang sedang
disembelih.
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar