Presiden
kita berikutnya jangan asal presiden. Rakyatlah yang harus mencari pemimpin
bukan menunggu orang-orang yang menyodorkan diri untuk menjadi pemimpin.
Rakyat adalah pemegang kedaulatan. Mari
kita belajar untuk tidak meneruskan tradisi kelalaian: membiarkan diri dipimpin
”pemimpin setoran” perusahaan bernama partai politik.
Parpol tidak perlu pemimpin sejati. Ekspektasi parpol adalah laba sehingga
dipilihlah pemimpin yang paling menguntungkan perusahaannya.
Kalau
konstitusi dan undang-undang tidak memungkinkan rakyat mencari pemimpin,
berarti undang-undang dibuat tanpa kejernihan ilmu, kejujuran demokrasi, dan
kecintaan kepada rakyat.
Saya
tidak percaya bangsa Indonesia hobi masuk ranjau sehingga menjalani sejarah
dengan gairah sakit jiwa mencari ranjau-ranjau baru. Apakah penderitaan dan
ketertindasan sudah menjadi narkoba psikologi dan budaya kita?
Mari
melipatgandakan kriteria dibanding presiden-presiden sebelumnya. Ini negara
besar dan kaya raya, tetapi dikelola dengan kesembronoan melampaui batas. Ini
kepulauan raksasa dengan manusia-manusia spesifik dan multitalenta, tetapi di
titik nadir ketidakpercayaan diri. Ini garuda yang mabuk jadi emprit.
Calon pemimpin tidak sekadar diuji integritas, kredibilitas, dan
kematangan profesionalnya. Ia harus punya visi dan berani mengambil risiko
pribadi untuk keperluan rakyat.
Secara nalar, presiden dan pemerintah berani tidak makan sebelum rakyatnya
kenyang. Ibarat kepala keluarga, saat kenduri ia makan
terakhir. Kalau kebakaran, anggota keluarga ia selamatkan dulu. Ia siap jadi
orang paling sedih.
Secara agama presiden adalah orang yang paling berat hatinya melihat
penderitaan rakyat dan tidak cengeng atas penderitaannya sendiri. Kalau malaikat mendadak mencabut nyawanya, presiden merintih,
”Rakyatku, rakyatku....” Bukan ”Ibu...”, ”Istriku...”, atau ”Anakku....”
Hamba dengan Tuhan
Adab sosial Bangsa Jawa menemukan idiom manunggaling kawula lan
Gusti. Menyatunya hamba dengan Tuhan.
Bukan berarti hamba adalah rakyat, Presiden adalah Tuhan. Itu pemahaman manipulatif kekuasaan politik. Dalam demokrasi
Tanah Air dan lembaga negara adalah hak milik rakyat. Presiden pada
posisi dimandati, dipinjami sebagian kedaulatan dalam batas ruang dan waktu
tertentu. Maka tafsir feudal(kebangsaan) ”menyatunya hamba dengan Tuhan” tidak bisa dipinjam untuk
mengabsolutkan kekuasaan.
Mungkin
sebagian raja masa lalu memperdaya rakyat dengan penafsiran rakyat adalah
”kawula” dan raja adalah ”Gusti”. Namun, sejak Sunan Kalijaga pada abad
ke-14 hingga ke-16 menginovasikan kehadiran Semar dalam peta kekuasaan
raja-raja lewat wayang, struktur hubungan vertikal hamba-Gusti, rakyat-raja
menjadi relatif.
Semar adalah rakyat biasa. Lengkapnya Ki Lurah Semar Badranaya, tinggal di dusun Karang Kedempel. Pada saat yang sama ia adalah
Panembahan Ismaya, dewa senior berposisi sangat tinggi, di atas Batara Guru
yang jadi presiden Jagat Raya. Di atas Semar adalah Sang Hyang Widhi (istilah
Arabnya ”Ilahi”) atau Sang Hyang Wenang (”Robbi”), atau Tuhan.
Kehadiran
Semar melengkungkan struktur kedaulatan vertikal menjadi bulatan. Semar ada
di titik tertinggi di bawah Tuhan, sekaligus di titik terendah bersama rakyat.
Dua titik itu satu sehingga garis lurus vertikal jadi bulatan. Inilah indahnya
desain demokrasi Sunan Kalijaga.
Maka dalam diri seorang presiden, kawula dengan ”Gusti” itu manunggal.
Di dalam entitas tugas kepresidenan, rakyat dengan Tuhan menyatu. Kalau Presiden menindas rakyat, Tuhan sakit hati. Kalau Presiden
mengkhianati Tuhan, rakyat turut tertimpa kehancuran.
Isi kepala presiden adalah upaya menyejahterakan rakyat. Isi dadanya
adalah ”rasa bersalah” karena belum maksimal
bekerja, serta ”kerendahan hati” kepada Tuhan dan rakyatnya.
Maka
sejak semula ia tidak menawar-nawarkan diri, memasang gambar wajahnya di
sepanjang jalan, menyatakan ”aku yang baik”. Kata tukang becak di Yogyakarta: Bisa
rumangsa, ora rumangsa bisa: sanggup merasa tak mampu, bukan mampu merasa
”bisa”. Rakyat yang menilai apakah presiden bisa atau ber-bisa.
Sebenarnya
mengherankan melihat orang Jawa kehilangan kearifan lokalnya dan terseret model
aplikasi tipu-daya demokrasi untuk memilih pemimpin.
Seluruh
cara mencalonkan diri—entah menjadi presiden atau lurah—sangat menunjukkan
bahwa mereka ”rumangsa bisa”. Ini membuat semua orang yang berkualitas
”bisa rumangsa” minggir dari politik. Dengan demikian, hampir mustahil
rakyat akan memperoleh pemimpin dambaan dari antara para pemamer wajah yang
bermutu ”rumangsa bisa”.
Di
masjid dan mushala mana pun tidak ada orang bodoh tak tahu diri yang berteriak,
”Ayo berbaris makmum, saya yang paling pantas menjadi imam shalat”.
Dalam kehidupan manusia yang berakal, pemimpin lahir dari apresiasi
rakyatnya. Rakyat pulalah yang mendaulatnya menjadi
pemimpin. Presiden kita haruslah orang yang mengerti dan mengerti bahwa ia
mengerti, tahu tentang banyak hal, dan ada sesuatu yang seseorang ataupun
masyarakat belum tahu. Tugasnya sebagai presiden adalah mencari tahu. Ia
berdiri paling depan menembus kegelapan untuk menemukan cahaya.
Keluasan Hati
Presiden menjadi presiden karena ia punya kesanggupan akal, stamina
mental, keluasan hati, kesabaran rohani, dan kekompakan frekuensi dengan
seluruh unsur jagat raya untuk membawa ”oleh-oleh” buat rakyatnya sesuatu yang
rakyat belum tahu. Untuk Indonesia yang hancur lebur
sekarang ini, presiden wajib berani mati.
Presiden
adalah pengambil keputusan pertama dan utama untuk melangkahkan kaki menapaki
kegelapan. Sebab, manusia itu hidup dulu baru mengerti, bukan mengerti dulu
baru hidup.
Ya.
Masa depan itu gelap. ”Aku”, kata Tuhan, ”memperjalankan hamba-hambaKu menembus
kegelapan malam hari”. Hidup adalah malam hari karena ”sekarang” sesungguhnya
tak ada. Tatkala engkau berada di ”se”, tiba-tiba sudah ”ka”. Tatkala engkau
tiba di ”ka”, ”se” sudah masa silam yang ”tiada”, sementara ”rang” adalah masa
depan yang engkau tak tahu.
Jika engkau melembut, waktu tampak olehmu. Jika engkau meregang,
ketidak-terbatasan ruang tak terjangkau olehmu. Maka kuda-kuda terbaik adalah
kerendahan hati. Itulah ”kesadaran debu”.
Tak
bisa kau tempuh gelapnya ”rang” dengan modal ”merasa bisa”. Hari siang pun
gelap. Sebab, matahari bukan benar-benar bercahaya. Ia hanya mengantarkan
kesadaran tentang cahaya. Orang menanam tak tahu panennya, orang berjualan tak
tahu berapa calon pembelinya. Orang lahir tak tahu matinya.
Mungkin
itu sebabnya Tuhan menuntun melalui salah satu sifat-Nya: Kalau mau jadi
presiden, pertama sekali kamu harus ”mempelajari kegaiban dan menyaksikannya”.
’Alimul-ghaibi was-syahadah.’ Kognitif dan empiris. Kegaiban
yang paling utama adalah rahasia hati rakyatmu. Di situlah sesungguhnya cahaya
itu berada.
0 komentar:
Posting Komentar