Puasa itu melatih
"tidak" karena kehidupan sehari-hari kita adalah melampiaskan
"ya". Sekurang-kurangnya mengendalikan "ya". Mental manusia lebih berpihak pada "melampiaskan" dibanding
"mengendalikan".
Padahal, keselamatan peradaban, keindahan
kebudayaan, tata kelola manajemen, kepengurusan negara dan kemasyarakatan lebih
mengacu pada pengendalian daripada pelampiasan. Bahkan idiom "kemerdekaan" kita selama
ini sedemikian tidak terkontrol sehingga identik dengan
"pelampiasan". Maka Ramadhan menjadi sangat penting untuk
melatih "tidak" itu.
Bukan hanya tak makan tak minum tak banyak omong
dan lain sebagainya, tapi juga berbagai macam "tidak" yang lain coba
dilatihkan selama bulan Ramadhan. Termasuk "tidak" ribut, riuh rendah, gebyar-gemebyar,
melonjak-lonjak, berjoget-joget. Puasa mungkin juga merupakan perjalanan
memasuki kesunyian, menghayatinya, merenunginya, kemudian menemukan nikmatnya.
Dunia dan Indonesia sudah selalu ribut, dan begitu
memasuki Ramadhan: semakin ribut keadaan. Modal keuangan dan alat perniagaan yang membuat
apa saja menjadi komoditas semakin jadi pengeras suara dari keributan itu.
Penderitaan
diributkan bukan oleh orang-orang yang menderita, tetapi oleh saudagar-saudagar
penderitaan yang menjualnya sana sini dengan keributan statement, opini, dan
asumsi, sambil menempuh strategi jangan sampai ada solusi. Wakil Presiden ribut
terus kapan saja dan tentang apa saja. Jakarta ribut ingin menyulap dirinya
menjadi Singapura yang metropolitan.
Bagi yang memasuki Ramadhan dengan mencoba menyelinap
memasuki bilik "swaraning asepi" atau dunia "kasyful
hijab", mungkin mereka mulai belajar membuka telinga batin sehingga
terdengar suara-suara setan dan Iblis. Kalau suara Allah, para rasul dan nabi, atau
auliya' –anggaplah kita kurang cukup bersih untuk bersentuhan dengan frekuensi
itu. Mendengar suara setan saja alhamdulillah rasanya.
Suara setan beberapa waktu yang lalu yang saya
dengar adalah ketika ada pentas monolog teater yang berjudul "Mencari
Tuhan". Setan itu
dengan beberapa rekannya tertawa terkekeh-kekeh terguncang-guncang bahkan
sampai badannya terguling-guling.
Salah satu setan bilang: "Kasihaaan deh lu Tuhan….. ratusan abad
Kau ciptakan mereka, memasuki abad ke 21 sejak lahirnya Isa Nabi-Mu, dan entah
berapa ratus abad yang lalu kau angkat manusia sebagai khalifah-Mu,
mandataris-Mu di bumi sejak Adam yang ilmu ekogenetika manusia sudah
membuktikannya bahwa ia manusia pertama: tiba-tiba hari ini mereka memberi
pernyataan bahwa mereka sedang mencari-Mu….. Lha selama ini Tuhan ke mana kok sampai
dicari-cari oleh mandatarisnya sendiri? Lha para mandataris yang hebat-hebat
itu selama ini ngeloyor ke mana saja kok baru sekarang mencari Tuhan? Lho
setelah 100 abad menjadi mandataris kok baru mencari siapa dan di mana Sang
Pemberi Mandatnya?….."
Komunitas setan belang bangsat itu tertawa
terkekeh-kekeh terguncang-guncang sampai basah seluruh badannya oleh lelehan
air mata.
Menjelang Ramadhan ini saya mendengar rombongan
setan itu sengaja lewat-lewat di sekitar saya dan ngomong aneh-aneh seperti itu. "Puasa kok suasananya lebih
ribut dibanding tidak puasa. Puasa cap apa itu? Wong namanya saja puasa kok
ribut. Anggaran belanja makanan minuman keluarga-keluarga kaum pelaku puasa
malah lebih meningkat dibanding hari-hari tak puasa. Puasa kok meningkat
cengengesannya, ribut jualan kue puasa, jajan puasa, kado puasa, lawakan puasa,
ustadz puasa, album puasa, mebel puasa, soto rawon puasa, kolak getuk
puasa…."
Dan ketika gempa mengguncang dimana-mana –
kejadian yang dulu diramalkan sudah seharusnya terjadi sekitar setahun lalu –
Setan itu langsung nyerocos lagi: "Gempa datang untuk mencoba melawan ributnya suara Ramadhan,
komoditas Ramadhan, industri Ramadhan, eksistensi dan vokalisme taushiyah
Ramadhan….
Tapi berani
taruhan bahwa gempa yang diizinkan Tuhan untuk terjadi di malam pertama
memasuki Ramadhan itu tak akan mampu mengalahkan riuh rendahnya budaya industri
Ramadhan!"
Setan lain bereaksi: "Bukankah itu mencerminkan suksesnya
misi-visi kita kaum setan atas kehidupan manusia?" Setan yang pertama menjawab:
"Untuk melakukan keributan-keributan perusak kekhusyukan Ramadhan, bulan
privatnya Allah itu, umat manusia tidak memerlukan pengaruh atau provokasi kita
para setan. Mohon kita akui dengan kebesaran jiwa bahwa kecerdasan manusia
untuk mengotori hidupnya sendiri sudah jauh melebihi target maksimal nenek
moyang kita para setan dahulu kala untuk merusak hidup manusia."
Setan yang ketiga menimpali: "Manusia itu tolol. Untuk tidak
mencuri dan mabuk mereka butuh kitab suci Allah, tak bisa mereka temukan
sendiri dengan nurani dan akal sehatnya. Untuk tidak korupsi dan menindas
rakyat mereka butuh konstitusi dan hukum formal. Itu pun belum tentu mereka
patuhi. Jadi untuk menghancurkan peradaban manusia, sama sekali tidak
diperlukan setan dan Iblis. Mereka sudah matang dan dewasa dan canggih
menjalankan sistem dan budaya penghancur kehidupan anak cucu mereka sendiri.
Meski Tuhan mengizinkan ada tsunami terjadi dan sepadan dengan tsunami di zaman
Nabi Nuh dan Firaun, meskipun gunung-gunung diledakkan, meskipun gempa disebar,
meskipun tanah bumi diretak-retakkan: manusia sudah telanjur tidak memiliki
alat di dalam diri dan sistem kebersamaannya untuk belajar dari bencana-bencana
itu. Setiap bencana hanya melahirkan tiga bersaudara: politisasi bencana,
komodifikasi bencana, dan wisata bencana…… Mereka sesungguhnya tidak mengerti
Ramadhan…."
Saya termangu-mangu dan menjadi ragu sendiri: itu
semua kata-kata setan atau malaikat atau isyarat dari Tuhan sendiri?
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar