Abjad dalam Kehidupan Anak



Seorang anak perempuan berusia lima tahun sangat berbahagia ketika memiliki adik bayi. Ia pun senang memainkan berbagai perlengkapan adik bayinya itu. Pada suatu hari, ia sibuk memainkan guling adik bayinya. Benda empuk dan ringan berbentuk bulat dan panjang itu baginya amat menarik. Dicobanya dibuat berbagai bentuk.
Ia bertanya pada ibunya, “Ummi, ini bentuk apa?”
Sang ibu menjawab, “Itu lingkaran!”
“Salah ini huruf O, Ummi. Ini huruf aku, kan namaku Olin!”
Si Ibu menoleh pada anaknya, lalu berseru, “Waah kakak kreatif ya, belajar huruf pakai guling…?” ujar sang ibu sambil memeluk anaknya. Si Ibu cukup takjub dengan ide anaknya. Si Anak tersenyum dan makin bersemangat mencoba berbagai bentuk.
“Ummi, ayo tebak yang ini huruf apa?” pertanyaan demi pertanyaan terus meluncur dari mulut mungil sang anak. Meski sang ibu sedang repot mengurus berbagai kebutuhan bayinya, ia berusaha untuk terus menjawab pertanyaan sang anak.
“Ummi, ini Ummi lho,” ujar si anak sambil melengkungkan guling membentuk huruf u. Tak lama kemudian ia berujar, “Aku sekarang tahu, huruf u, c, dan n itu bentuknya mirip lho, tapi arahnya beda. Kalau u ke atas, c menghadap ke samping, dan n ke bawah. Lihat nih!”
”Subhanallah, kakak sudah pandai melihat perbedaan dan persamaan dari huruf u, c, dan n, ya. Lihat adik bayinya ikut belajar, nanti dia akan cepat pandai membaca, karena diajarkan huruf sejak kecil oleh kakaknya!” Anak perempuan itu tersenyum senang. “Kalau nama adik bayi harus pakai dua guling seperti ini nih huruf k,” ujar si anak.
Tak lama kemudian sang anak bisa membaca. Bahkan suatu hari ia menulis surat pada ibunya, “Untuk Ummiku yang baik samaku karena Ummi sudah melahirkan adik bayi.”
Apa yang terjadi pada kisah di atas adalah contoh menarik bahwa membaca adalah hal yang sesungguhnya mudah bagi anak-anak. Ketika anak dalam keadaan gembira bahkan mereka belajar dengan caranya sendiri tanpa perlu dipaksa.
Hal ini bertentangan dengan yang banyak terjadi di masyarakat. Anak dipaksa untuk menghapal huruf, kemudian mengeja, bahkan kadang disertai dengan bentakan.
Saat ini, masuk sekolah dasar identik dengan bisa membaca dan menulis. Orangtua menjadi amat gelisah jika di usia TK, anaknya belum bisa membaca. Akhirnya, banyak orangtua yang mengkursuskan anaknya yang belum tentu metodenya menyenangkan.
Sylvia Ashton Warner, yang selama 24 tahun mengajar di Maori New Zealand mengatakan, “Kata pertama harus bermakna bagi anak. Kata itu harus merupakan bagian dari dirinya. Harus merupakan ikatan yang organik, secara organik lahir dari dinamika hidup itu sendiri. Harus kata yang sudah menjadi bagian dari dirinya.”
Pada kisah di atas, si anak begitu antusias belajar huruf dari nama orang-orang yang dekat dengan dirinya: namanya sendiri, ibunya, juga adik bayi yang disayanginya. Hal itu tentu sangat melekat dan bermakna bagi dirinya. Belajar membaca dengan mengurutkan huruf dari A ke Z hanya berguna bagi anak yang namanya berawal dari huruf A, seperti Ani, Amir, dan lain-lain.
Membaca adalah hal yang mudah jika hal itu bermakna bagi kehidupan anak dan prosesnya menyenangkan. Membaca yang menjadi ikatan organik adalah melalui proses alamiah sejalan dengan perjalanan kehidupan sang anak. Namun sayang, banyak orangtua dan guru yang mengajarkan membaca justru dari hal yang asing bagi anak. Mereka lebih suka men-drill anak dengan huruf-huruf yang membosankan daripada menciptakan suasana yang kaya dan merangsang kreativitas anak. 

Ida S. Widayanti


0 komentar:

Posting Komentar