Seorang ayah
sedang berkemas akan pergi ke luar kota. Ketiga anaknya berkumpul di
sekelilingnya.(ketiga
anaknya meminta permintaan) “Ayah, aku mau dikasih oleh-oleh buku, ya!” ujar anak sulung. “Aku mau
boneka beruang, ayah!” ujar si bungsu. “Aku
mobil-mobilan saja ya!” si tengah tak mau ketinggalan. “Aku bukunya tentang
pesawat, ya!” tambah si sulung.
“Insya Allah…insya Allah!” ujar sang ayah tanpa memindahkan pandangannya
dari koper yang sedang dirapikannya.
“Ayah, aku mau ayah jawab iya, tidak pakai insya
Allah. Ayah jawab iya, dong!” ujar si
tengah sambil menarik-narik tangan ayahnya. “Iya ayah, jangan insya Allah,” ujar si sulung dan si
bungsu hampir bersamaan.
Dalam perjalanan meninggalkan rumah si Ayah merenungi kata-kata
anaknya. Ia merasa ada yang salah. Ia bertanya-tanya mengapa anak-anaknya tidak
suka ia mengatakan ’insya Allah’.
Di tempat yang berbeda, seorang ibu memanggil
anak-anaknya, “Anak-anak, mari kita berangkat sekarang!” Anak-anak yang sudah siap dengan pakaian pergi
tersebut tidak beranjak dari tempat duduknya masing-masing, mereka terus asyik
memainkan mainannya.
”Anak-anak, ibu bilang kita pergi sekarang!” ulang si ibu dengan suara lebih keras.
”Iya Bu, sebentar!” ujar si anak sambil tetap memainkan mainannya. Si
ibu tentu saja kesal karena merasa anak-anak tidak mengindahkan kata-katanya.
Dua kisah di atas adalah contoh dari betapa pentingnya
kita memperhatikan makna setiap kata yang kita ucapkan. Anak-anak membangun makna sebuah kata dari aktivitas
dan interaksi dengan orang di sekitarnya, terutama orangtua yang menjadi
pengajar utama di awal kehidupannya.
Pada kisah pertama, tanpa disadari si Ayah sering
menggunakan kata insya Allah ketika ia berjanji untuk hal yang tidak pasti atau
kecil kemungkinannya untuk bisa dilaksanakan. Sehingga otak anak mencatat bahwa kata ‘insya
Allah’ berarti tidak ada kepastian.
Pada kisah kedua si Ibu tidak menyadari bahwa saat ia
mengatakan ’mari kita pergi sekarang’, seringkali tidak segera berangkat. Masih banyak hal yang harus ia lakukan seperti
menyiapkan barang-barang yang akan dibawa, pintu yang belum dikunci, atau
kerudung yang masih harus dirapikan. Akhirnya, persepsi yang muncul di
benak anak bahwa ’sekarang’ adalah rentang waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, orangtua harus berhati-hati saat
berbicara dengan anak. Pastikan kata yang digunakan sesuai maknanya dengan yang
dimaksudkan. Dengan
demikian anak-anak akan senantiasa percaya pada kata-kata ibunya.
Membangun makna kata dan kalimat pada anak dilakukan
sejak bayi lahir bahkan sebaiknya dilakukan sejak janin dalam kandungan dengan
cara menceritakan apa-apa yang sedang dilakukannya secara akurat. Jika ibu
senantiasa ’mengatakan apa yang dilakukan’ atau ’melakukan apa yang dikatakan’,
maka anak akan belajar untuk selalu sesuai antara kata dan perbuatan. Memang
tidak mudah, selalu ada rintangan untuk menyelaraskan tindakan dengan
perkataan. Namun, kita harus senantiasa berusaha, karena hal itulah yang
senantiasa diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam (SAW) sehingga
beliau mendapat gelar Al-Amin, ’yang terpercaya’.
0 komentar:
Posting Komentar