Akibat Kemajuan Teknologi Banyak Hal Kehilangan Relevansi



Dulu  sebelum tahun 1970-an, angkutan umum jarak dekat di Dinoyo, Malang  adalah dokar,  demo, dan bemo.  Sekarang ini ketiganya sudah tidak ada lagi. Dokar sudah tidak ada, dan  begitu pula demo dan bemo.   Menyebut kata dokar dan bemo,  banyak orang mengerti, tetapi belum tentu mengenal  dengan sebutan demo.  Demo adalah angkutan jarak dekat, sebagaimana bemo, tetapi  alat transportasi itu  dibuat sendiri oleh orang Malang. Bentuknya mirip dengan bemo, hanya perbedaannya  terletak pada mesinnya, yaitu lebih  kasar, hingga suaranya jauh lebih keras.

Sekarang ini alat transportasi itu diganti dengan  angkot atau angkutan kota.  Kehadiran angkutan umum tersebut menggeser keberadaan bemo, demo dan juga dokar. Dulu, pemilik dokar sudah disebut  terpandang. Seseorang dikatakan kaya oleh karena memiliki dokar dan beberapa kuda.  Orang yang memiliki kuda berukuran besar,  dan apalagi jumlahnya banyak disebut  sebagai orang sukses.

Namun ternyata ukuran sukses itu dengan bergantinya zaman tidak mampu bertahan. Pemilik kuda dan dokar sekarang ini tidak akan disebut hebat. Ukuran kehebatan orang  sudah berganti. Seseorang disebut   hebat manakala memiliki mobil mewah, rumah besar, dan perusahaan. Oleh karena itu  tidak ada lagi orang yang bercita-cita memiliki dokar, bemo dan apalagi demo. Kuda dan dokar sudah kehilangan relevansinya,  oleh karena  alat transportasi itu, dengan kemajuan teknologi  digantikan dengan yang lebih modern.

Kehilangan relevansi sosial  itu tidak saja menyangkut alat transportasi,  tetapi juga dalam berbagai bidang kehidupan lainnya. Dalam hal berpakaian misalnya, dulu orang  perempuan Jawa mengenakan sewek dan kebaya. Sekarang ini pakaian itu sudah tidak banyak kelihatan lagi. Perempuan tua pun sekarang ini  sudah mengenakan celana panjang.   Padahal  dulu,  hal itu  dianggap aneh. Dulu hanya orang laki-laki saja yang mengenakan celana panjang. Namun  zaman telah berubah,  sarung  saja yang  masih bertahan, sedangkan  perempuan tua pun tidak mau lagi mengenakan sewek dan kebaya.    

Di bidang pertanian irrelevansi itu juga kelihatan sekali. Dulu orang mengolah sawah dengan bajak yang ditarik oleh sapi atau kerbau. Sekarang kerbau dan sapi sudah kehilangan pekerjaan, tugasnya digantikan dengan mesin.  Orang memelihara sapi dan  kerbau bukan digunakan untuk membajak tetapi diambil dagingnya. Sekarang  orang  mencari untung dari penggemukan sapi.  Ada perubahan yang amat mendasar, dari semula menggunakan  tenaganya menjadi mengambil dagingnya. Kalau dulu yang diperlukan sapi yang kuat, maka sekarang yang dicari adalah sapi yang gemuk.

Lalu,   bagaimana dengan orang,  apakah ada  yang menjadi tidak relevan. Tentu manusia tidak akan dilihat hanya dari sekedar sebagai alat, melainkan memiliki makna lain. Manusia sepanjang hidupnya  masih tetap relevan  oleh karena  memiliki nilai-nilai yang tidak bisa digantikan oleh yang lain. Selain itu, manusia bisa melakukan inovasi, atau paling tidak adaptasi dengan perkembangan lingkungannya.  Namun, manakala seseorang tidak mau melakukan inovasi dan adaptasi, ternyata  orang pun juga akan mengalami apa yang disebut  dengan ketinggalan zaman.

Misalnya, di zaman sekarang ini  tatkala sudah tersedia email, internet, dan lain-lain, tetapi masih belum terampil menggunakannya, maka oleh anak-anak atau bahkan oleh cucunya sendiri yang bersangkutan  akan dianggap kuno. Sekarang ini sudah tidak lazim menulis dengan menggunakan mesin ketik, maka tatkala seseorang masih bertahan dengan alat itu, maka akan disebut ketinggalan zaman. Oleh karena itu dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,  manusia dituntut untuk memiliki kemampuan beradaptasi. Tanpa kemampuan  itu, maka akan termasuk terkena resiko kehilangan relevansi.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang  ini akan menuntut lebih terhadap kesiapan lebih dunia pendidikan. Dulu tatkala informasi belum sebanyak ini, para siswa dianjurkan untuk menghafal nama-nama orang penting, tempat-tempat penting, rumus-rumus dan seterusnya. Namun sekarang ini, jumlah orang penting semakin banyak, tempat-tempat penting juga bertambah, dan apalagi informasi sudah semakin membanjir seperti sekarang ini.  Manakala cara guru dalam  mengajar   atau bahkan pelayanan lembaga pendidikan masih sama dengan 10 tahun yang lalu, maka pendidikan tersebut juga akan kehilangan relevansinya.

Kadang saya berpikir, semakin banyaknya pengangguran intelektual yang diramaikan pada akhir-akhir ini, jangan-jangan hal itu  hanya sebagai akibat dari lambannya institusi pendidikan melakukan inovasi dan pembaharuan yang seharusnya dilakukan. Terkait dengan hal itu,  nasib kuda dan dokar di  Dinoyo, Malang  dan di banyak tempat lainnya yang sekarang sudah menghilang, maka seharusnya  digunakan pelajaran penting dalam mengembangkan pendidikan. Manakala tidak dilakukan, maka  akibatnya akan fatal. Pelayanan pendidikan akan menjadi tidak  relevan dan bangsa ini ke depan  akan merugi secara keseluruhan, persis  nasib kuda dan dokar di berbagai kota. Wallahu a’lam.



Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar