Anak Autis



Akhir-akhir ini tampak semakin banyak anak yang tergolong autis. Mereka itu, dilihat dari psikologinya, dianggap mengalami pertumbuhan yang kurang normal. Saya sendiri sama sekali belum mengerti ihwal kelainan anak autis ini. Namun oleh karena ada di antara keluarga teman yang mengalami nasib seperti itu, saya suatu saat terbawa-bawa untuk ikut terlibat dalam pembicaraan tentang anak autis dimaksud.

Menurut informasi yang saya peroleh dari pembicaraan dengan para teman, kelainan psikologis berupa autis itu sebenarnya adalah oleh sebab tertentu atau pembawaan, menjadikan seorang anak tidak memiliki kemampuan untuk berkonsentrasi terhadap banyak hal. Anak autis biasanya hanya mampu berkonsentrasi pada satu, dua, atau tiga hal saja.

Misalnya, seorang anak autis hanya peka terhadap angka atau nyanyian, menggambar atau jenis lainnya. Namun anehnya, anak autis yang peka terhadap angka, maka ia sangat mudah mengenali dan menghafal angka-angka. Akan tetapi terhadap hal-hal lainnya sangat sulit untuk berkonsentrasi. Bergitu pula seterusnya. Oleh karena itu kepekaan anak autis  sebenarnya bisa dikembangkan atau bahkan secara pelan bisa ditambah.     

Tatkala sedang ikut membicarakan tentang anak autis tersebut, saya teringat apa yang pernah diterangkan oleh KH Qosim Buchari (Alm), pengasuh pesantren di Gondang Legi, Malang Selatan. Beliau pernah menjelaskan kepada saya, berdasarkan kitab yang pernah dipelajari, bahwa otak manusia itu terdiri atas banyak kotak atau lapisan-lapisan. Bagi orang yang normal, memiliki 28 kotak. Semakin banyak kotak atau lapisan otak yang dimiliki, maka seseorang itu semakin cerdas, berwawasan luas, dan demikian pula sebaliknya. 

Para ilmuwan atau ulama, menurut keterangan KH Qosim Buchari (Alm) pasti memiliki kotak atau lapisan otak lebih dari 28, tetapi sebaliknya banyak orang hanya memiliki secara terbatas dalam jumlah yang  berbeda-beda, hingga misalnya hanya memiliki satu, dua, atau sepuluh, lima belas, dua puluh lapis otak saja. Orang yang memiliki keterbatasan jumlah kotak atau lapisan otak  tersebut hanya akan mampu berkonsentrasi sebagaimana kapasitasnya itu.

Mengkuti pembicaraan teman-teman tentang anak autis dan juga penjelasan KH Qosim Buchari tersebut, saya membayangkan bahwa kalau begitu halnya, maka sebenarnya anak autis itu memang bertingkat-tingkat sesuai dengan jumlah kotak atau lapisan otak mereka masing-masing. Seseorang mungkin memiliki jumlah kotak di kepalanya atau lapisan otak yang terbatas, tetapi terlatih dengan baik, maka yang bersangkutan memiliki kemampuan berkonsentrasi terhadap satu atau beberapa hal sedemikian baik. Namun sayangnya, ia tidak memiliki kemampuan berkonsentrasi terhadap hal-hal selainnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering bergaul dengan seseorang yang sangat sulit diajak memperhatikan sesuatu di luar konsentrasinya sehari-hari. Bahkan hal lain yang dimaksudkan itu olehnya dianggap tidak penting. Setiap diajak membicarakan hal lain yang dimaksudkan itu tidak mau, dan bahkan dianggap olehnya sesuatu yang dimasudkan itu tidak penting. Atas sikapnya itu, maka teman-temannya merasa terganggu, menganggap yang bersangkutan tidak mendukung dan bahkan mementahkan programnya yang dianggap baik.

Sekalipun hal itu belum menjadi sebuah kesimpulan, saya ikut penasaran. Jangan-jangan, banyak orang yang sekali pun sudah berpendidikan tinggi, sebenarnya dalam tingkat tertentu, mereka juga tergolong autis. Hanya saja, oleh karena jumlah lapisan otaknya tidak terlalu sedikit, sehingga masih bisa berkonsentrasi pada beberapa hal, maka belum dikenali sebagai kelainan. Namun ia selalu sulit diajak untuk memperhatikan persoalan-persoalan yang melebihi konsentrasinya itu. Terbetik dalam pikiran saya, pada batas-batas tertentu, jangan-jangan orang dimaksud sebenarnya juga  menderita autis.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar