Anak Jalanan


Beberapa bulan terakhir ini, dalam perjalanan di malam hari, saya merasa sedih tatkala melihat anak-anak jalanan di sekitar traffict light. Jumlah anak jalanan itu  ternyata cukup banyak, dan merata ada di mana-mana. Dalam perjalanan pulang dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asem Bagus di Situbondo, di malam hari, di beberapa kota yang saya lewati, selalu terdapat anak jalanan.
 
Begitu pula,  dua hari yang lalu,  dalam perjalanan malam ke pesantren Isykarima, Solo, di beberapa kota yang saya lewati, jumlah anak jalanan lebih banyak lagi. Sejumlah  anak-anak usia  belasan tahun, di tengah malam, mereka bergerombol di perempatan jalan,  dengan membawa alat musik seadanya meminta uang kecil kepada para sopir yang lewat.
 
Saya tidak terlalu yakin, bahwa apa yang mereka lakukan, yaitu  meminta uang kepada para pengguna jalan besar, dengan cara memainkan musik sederhana  itu sebagai tujuan utama.  Saya lebih percaya bahwa keberadaan mereka di pinggir jalan  itu hanya sebagai cara menyalurkan energi pada dirinya masing-masing yang tidak jelas. Mereka kehilangan orientasi hidup yang seharusnya dimiliki.
 
Yang sangat menyedihkan, di samping jumlahnya banyak, usia mereka masih sekitar belasan tahun, mungkin masih berusia anak-anak SMP. Tidak terbayangkan, apa yang akan terjadi jika kegiatan itu menjadi kebiasaan hidup mereka.  Anak-anak jalanan itu tidak saja akan menganggu orang lain, tetapi juga akan menjadikan gelandangan  di banyak kota semain banyak jumlahnya.  Selain itu, juga akan menjadi  persemaian kenakalan dan bahkan  jiwa kriminal akan sangat mungkin tumbuh dari  tempat itu.

Sebagai orang yang sehari-hari mengurus pendidikan, melihat kenyataan yang tidak semestinya itu menjadi selalu bertanya-tanya. Pertanyaan itu misalnya, mereka itu sebenarnya anak siapa,  bagaimana tanggung jawab orang tua dan sedang  di mana, bagaimana masa depan mereka itu. Pertanyaan lain  yang terasa lebih penting lagi juga misalnya, jangan-jangan gejala itu sebagai akibat dari tindakan orang tua dan bahkan juga sistem dan kualitas sekolah yang ada selama ini.
 
Terkait  pertanyaan tentang mereka itu anak siapa, bagaimana tanggung jawab orang tua, dan seterusnya adalah sudah  tidak mudah  untuk dilacak, oleh karena jumlahnya sudah sedemikian banyak. Lebih dari itu,  perhatian saya  bahkan  tertuju pada  pelayanan pendidikan di sekolah.  Saya khawatir jangan-jangan anak-anak itu justru merupakan produk dari pendidikan yang kurang memuaskan atau setidaknya belum mampu memberi gambaran  hidup tentang masa depan yang menjanjikan.
 
Manakala hal seperti itu yang menjadi sebab, maka para pengambil kebijakan pendidikan harus melihat dan menata ulang terhadap sistem pendidikan agar sesuai dengan tuntutan zamannya. Pendidikan yang diselenggarakan selama ini, sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi, modernisasi komunikasi, sumber-sumber bejalar yang sudah sedemikian membanjir, sementara apa yang terjadi di sekolah masih seperti sepuluh tahun yang lalu,  maka lembaga pendidikan sendiri sudah tertinggal oleh zamannya.

Menyaksikan kenyataan yang menyedihkan seperti itu, -------di sepanjang perjalanan,  pikiran saya sibuk untuk bertanya dan mencoba mencari jawab sendiri, misalnya, jangan-jangan anak-anak itu, tatkala di sekolah, merasa terbebani dengan pelajaran yang tidak jelas orientasinya. Oleh karena itu,  mereka sebenarnya sedang memerlukan penyaluran yang bisa dilakukan di luar sekolah.
 
Atau kemungkinan lain, bagi mereka sekolah sudah dirasakan sebagai keadaan yang menjemukan. Sekolah atau guru terlalu mekanistis, kaku, dan miskin nuansa.  Sekolah tidak lagi menjadi tempat yang menyenangkan oleh karena birokrasinya terlalu kaku. Semua diatur dan ditargetkan secara kaku, padahal sekolah  kurang menjanjikan masa depan. Akibatnya, mereka frustrasi, disorientasi, dan pilihannya  adalah menjadi anak jalanan itu. Mudah-mudahan tidak begitu, dan kita semua bertanggung jawab serta harus berhasil mendapatkan  jalan keluarnya. Wallahu a’lam.     

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar