Andaikan NU dan Muhammadiyah Memiliki Semacam Carrefour, Alfamart, dan Indomart



Umumnya organisasi sosial keagamaan, semacam NU, Muhammadiyah dan juga lainnya pada  setiap menyelenggarakan kegiatan organisasi, seperti muktamar, musyawarah Wilayah, atau konferensi daerah, lewat panitia yang ditunjuk selalu ke sana ke mari untuk mendapatkan sumbangan. Saya kebetulan dianggap pantas menyumbang, baik  kegiatan itu diselenggarakan oleh NU maupun Muhammadiyah atau lainnya. Sebisa-bisa sekalipun tidak banyak, saya berusaha memberi. Pertimbangan saya, sebagaimana saya tahu selama ini,  organisasi sosial keagamaan  itu tidak memiliki sumber-sumber pendanaan yang mencukupi.

Keterbatasan dana  seperti itu sudah dialami  sejak lama, dan ternyata masih belum berubah. Pendanaan yang bersumber  dari donatur, jumlah yang dihasilkan tidak menentu.  Sifatnya hanya sebagai sumbangan, maka tergantung keikhlasan yang menyumbang. Padahal, jumlah kebutuhan yang diperlukan selalu pasti, yaitu pasti besarnya. Organisasi sosial keagamaan selalu membutuhkan biaya banyak untuk membiayai program-prgram kegiatannya. Akan tetapi karena dana yang terbatas itu, maka kegiatan yang tidak mendesak terpaksa ditangguhkan.

Semangat untuk menggerakkan organisasi, seperti NU dan Muhammadiyah sebenarnya sangat besar. Banyak orang sangat mencintai organisasi keagamaan itu.  Akan tetapi oleh karena keterbatas dana itu, maka jenis kegiatan yang dilakukan tidak maksimal. Umpama organisasi tersebut memiliki sumber-sumber pendanaan yang cukup, maka kegiatan-kegiatan sosial seperti pendidikan, pengasuhan anak yatim, dan bantuan terhadap orang miskin, pengentasan anak-anak jalanan dan sejenisnya akan bisa dilakukan oleh organisasi sosial keagamaan tersebut.

Namun sayangnya, mereka  hanya sebatas berbekalkan semangat, dan banyak yang  belum  didukung oleh sumber-sumber dana yang cukup. Selama ini mereka hanya mendasarkan pada perolehan dari donatur yang tidak menentu jumlah yang diperoleh. Sekalipun demikian, ternyata kegiatan sosial seperti pendidikan agama tingkat dasar bagi anak-anak, pengasuhan anak yatim, dan sejenisnya,  di banyak tempat tetap berjalan, sekalipun dengan keadaan seadanya.

Semangat melakukan kegiatan sosial tersebut kadangkala amat tinggi. Hal itu didorong oleh nilai-nilai yang ditangkap dari ajaran agamanya. Misalnya bahwa, seorang muslim harus memperhatikan terhadap mereka yang lemah, yaitu mereka yang fakir, miskin dan anak yatim. Dalam kitab suci al Qur’an,  orang yang tidak mau memperhatikan mereka itu disebut sebagai pendusta agama. Oleh karena itu maka apa yang dilakukan sebenarnya didasari oleh motivasik instrinsik yang sangat kokoh. Hanya persoalannya adalah kemampuan mendanai kegiatan itu yang selalu masih terbatas.

Memasuki dunia modern yang semakin diliputi oleh suasana transaksional seperti sekarang ini, pengumpulan donator semakin tidak mudah dilakukan. Kecuali pada momentum tertentu, misalnya untuk menanggulangi bencana alam. Pada saat terjadi gunung meletus yang memakan banyak korban, banjir bandang, gempa bumi yang memporak-porandakan rumah penduduk dan fasilitas umum sehingga banyak menelan korban, maka biasanya masyarakat tidak terlalu sulit digerakkan untuk menyumbang. Akan tetapi untuk kegiatan seperti pengasuhan anak yatim, orang miskin dan sejenisnyha, ----karena bersifat rutin, maka tidak mudah mendapatkannya.

Melihat kenyataan itu, saya kadang merenungkan, umpama NU dan Muhammadiyah atau organisasi Islam lainnya berhasil mengembangkan sumber-sumber ekonomi, seperti Carreffoure, alfamart, indomart  dan sejenisnya,  maka organisasi sosial keagamaan tersebut akan memiliki kekuatan secara lebih pasti dalam mengembangkan program-programnya. Jika hal itu bisa diwujudkan, maka organisasi sosial keagamaan, akan menjadi kekuatan dakwah yang luar biasa. Kita lihat pasar modern semacam indomart, alfamart, carrefoure ada di semua kota besar maupun kecil, dan bahkan sudah masuk ke lorong-lorong atau gang-gang jalan.

Umpama  NU dan Muhammadiyah memiliki pusat-pusat bisnis seperti itu, maka organisasi sosial keagamaan tersebut tidak saja berhenti dari mencari sumbangan ke sana-ke mari, melainkan juga sudah sekaligus memberikan peluang bagi anggotanya untuk mendapatgkan lapangan pekerjaan. Itulah sebenarnya yang diperlukan pada masyarakat sekarang ini. NU dan Muhammadiyah tidak saja mengajak para simpatisannya pergi ke masjid, puasa, zakat dan haji, tetapi juga mengajak ke pusat-pusat  bisnis secara luas dan berukuran besar.

Sesekali  saya juga membayangkan, dengan keterbukaan pemerintah memberikan berbagai ijin usaha apa saja, maka mestinya NU dan Muhammadiyah memiliki holding Company yang bergerak di bidang usaha ekonomi. Dengan begitu,  jika pada saat ini pemerintah memiliki maskapai penerbangan Garuda Indonesia, maka apa salahnya Muhammadiyah memiliki  maskapai penerbangan Matahari Air, NU memiliki Jagat Air dan seterusnya. Demikian pula, organisasi keagamaan tersebut  lewat Holding Company yang dimiliki membuka perkebuinan sawit di mana-mana, pengeboran m inyak di berbagai wilayah dan bahkan di berbagai negara yang memiliki sumber-sumber minyak dan usaha tambang lainnya.  

Apa yang saya bayangkan seperti itu mungkin oleh sementara orang dianggap aneh. Akan tetapi, bukankah sebenarnya NU dan Muhammadiyah atau organisasi sosial keagamaan lainnya, pada saat ini sudah memiliki tenaga ahli yang sedemikian banyak. Mereka telah memiliki universitas-universitas, pemimpin,  dan banyak anggota  yang bergelar Doktor dan Profesor dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.  Potensi itu menurut hemat saya dimanfaatkan secara   maksimal. Selain itu, jika sementara ini, mereka berhasil membangun rumah sakit, lembaga pendidikan hingga perguruan tinggi, maka kiranya tidak sulit merintis usaha-usaha di bidang ekonomi modern sebagaimana alfamart, indomart, carrefoure, maskapai penerbangan, pertambangan dan lain-lain.

Saya yakin usaha-usaha bisnis modern  itu bisa dikembangkan oleh organisasi sosial keagamaan. Usaha itu menurut hemat saya tinggal mengorganisasikannya. Sebab tenaga ahli, permoldalan ----bisa diusahakan, dan yang terpenting bahwa masing-masing organisasi sosial keagamaan telah memiliki pasar yang jelas, yaitu para simpatisannya.  Sebaliknya, jika hal itu tidak mendapatkan perhatian, maka akibatnya organisasi sosial keagamaan, NU dan Muhammadiyah atau sejenisnya, akan selalu dihadapkan oleh kekurangan pendanaan  untuk membiayai  program-program kegiatannya. Mencukupkan dari hasil donatur atau sumbangan insidental sebagaimana yang selama ini dijalankan, adalah cara-cara lama yang  semestinya ditinggalkan.  Memasuki zaman modern, maka  organisasi sosial keagamaan, apapun namanya harus dengan pendekatan modern, agar tidak disebut sebagai telah ketinggalan zaman. Wallahu a’lam.  

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar