Siapapun akan percaya dan
bahkan yakin bahwa bersatu itu adalah baik dan akan menjadikan kokoh.
Semua orang akan mengatakan hal yang demikian itu. Sebaliknya, tidak akan ada
orang yang berpikiran bahwa bercerai berai itu lebih utama. Oleh karena itu
umpama persatuan menjadi idiologi atau cita-cita adalah merupakan keniscayaan.
Tentu sebagai sebuah cita-cita atau idiologi, maka selalu diperjuangkan
oleh semua pihak. Siapapun merasa gagal, sedih, dan malu, manakala persatuan
tidak bisa diwujudkan.
Kiranya semua orang juga paham bahwa,
sedemikian berat mewujudkan cita-cita mulia itu. Akibatnya di mana-mana terjadi
perpecahan, tidak saja di kalangan organisasi, birokrasi, perusahaan,
politik, tetapi bahkan di kalangan masyarakat beragama pun juga tidak
sepi dari perpecahan. Di kalangan masyarakat beragama terdapat berbagai
madzhab, aliran, kelompok-kelompok yang kadang tidak mudah dipersatukan.
Padahal agama sendiri juga mengajarkan
tentang betapa pentingnya persatuan itu. Ajaran itu tidak saja
disampaikan lewat kitab suci, misalnya dalam Islam terdapat ayat : “
berpegang teguhlah semuanya pada tali Allah dan jangan bercerai berai”. Ayat al
Qur’an yang memerintahkan agar bersatu itu sebenarnya amat jelas dan tegas.
Akan tetapi, pada kenyataannya perbedaan yang melahirkan perpecahan selalu
terjadi di mana-mana tanpa terkecuali. Berpecah belah seolah-olah ditoleransi
oleh ajaran agama.
Tatkala berjuang membangun masyarakat
Islam di Madinah, Nabi Muhammad sendiri juga memberi contoh kongkrit
tentang betapa pentingnya persatuan. Utusan Allah yang terakhir itu
menyatukan dua kelompok yang semula berbeda, yaitu kaum muhajirin dan kaum
anshar. Kelompok yang semula berbeda saja oleh Nabi Muhammad saw.,
dipersatukan. Bahkan, persatuan itu tidak saja dari orang-orang yang
sudah memeluk Islam. Orang-orang Nasrani dan Yahudi di Madinah itu pun
lewat Piagam Madinah diajak bersatu dan bekerja sama.
Masyarakat yang bersatu pada kenyataannya
menjadi kokoh dan akhirnya memperoleh kemenangan dalam berbagai jenis
perjuangan. Kekalahan akan selalu dialami oleh kelompok apapun yang
sedang bercerai berai. Namun anehnya, orang lebih memilih bercerai berai dari
pada bersatu. Bahkan para tokoh Islam sekalipun ada yang memilih bercerai berai
daripada berjuang sesama tokoh Islam untuk menyatukan umat. Artinya, persatuan
belum sepenuhnya dijadikan idiologi atau cita-cita. Manakala mereka
menyeru pada persatuan, maka yang dimaksud adalah sebatas persatuan
kelompok yang dipimpinnya.
Selain pelajaran dari al Qur’an dan juga
hadits nabi, betapa pentingnya persatuan juga bisa ditangkap
dari sejarah kehidupan bangsa ini. Sekian lama bangsa Indonesia berjuang
mengusir penjajah. Perjuangan itu selalu mengalami kegagalan tatkala
dijalankan secara kedaerahan, kelompok-kelompok atau bahkan sendiri-sendiri.
Betapa gigihnya Imam Bonjol, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, dan
lain-lain dalam berjuang mengusir Belanda dari Indonesia. Semua itu
gagal disebabkan karena mereka belum berhasil menyatukan semua kekuatan.
Perjuangan itu baru berhasil setelah kekuatan itu disatukan menjadi kekuatan
nasional dari berbagai daerah di seluruh negeri ini. Bersatu
menjadi kunci kemenangan.
Pelajaran tentang pentingnya bersatu juga
bisa diperoleh lewat nasehat atau petuah dari para orang tua. Mereka
mengatakan bahwa bersatu akan teguh dan sebaliknya, bercerai berai
akan runtuh. Mereka mengibaratkan bahwa persatuan itu seperti sapu lidi.
Manakala lidi yang mudah diputus atau dipatahkan itu disatukan maka akan
menjadi sapu yang kokoh dan bisa digunakan untuk menyingkirkan sampah yang
sekalipun berjumlah banyak dan kuat. Begitulah orang tua
memberikan nasehat tentang betapa pentingnya persatuan.
Umat Islam di Indonesia adalah
mayoritas, jumlahnya lebih dari 85 % dari seluruh penduduk yang ada. Akan
tetapi selama ini titik lemahnya adalah, mereka belum bisa
bersatu. Umat Islam masih berada dalam organisasi, aliran, dan bahkan juga
organisasi politik yang berbeda-beda. Antar kelompok bukan saling memperkukuh,
tetapi kadangkala justru saling memperlemah. Sebagai akibat dari kegagalannya
membangun persatuan itu, maka tanpa diperlemah oleh pihak lain pun, umat
Islam sudah lemah dengan sendirinya.
Para tokoh Islam mengaku berjuang untuk
Islam, tetapi tanpa menyadari pada saat yang sama, mereka juga menunjukkan
perilaku yang masih belum sejalan dengan ajaran Islam, yaitu memperjuangkan
persatuan di antara umat Islam sendiri. Islam mengajarkan bahwa antara sesama
umat Islam harus saling memperkokoh. Di antara umat Islam seharusnya
bagaikan bangunan yang satu, yaitu harus saling memperkukuh,
menyayangi, dan tolong menolong. Sementara itu, pada kenyataannya di
antara mereka masih selalu menunjukkan perbedaan, yang disadari atau tidak,
mengganggu tali silaturrahmi yang seharusnya ditegakkan.
Saya selalu membayangkan, umpama
persatuan sudah menjadi idiologi atau cita-cita bersama, maka betapapun
beratnya, sekedar bersatu kiranya masih bisa diwujudkan. Para
tokoh seharusnya saling bertemu dan bersilaturrahmi, membicarakan tugas,
tanggung jawab, dan persoalan umat serta mencari solusi bersama. Dengan cara
itu, maka persatuan akan terwujud dengan sendirinya. Umat yang berada di
lapisan bawah juga akan bahagia tatkala melihat para tokoh atau elitenya tampak
bersatu. Namun itu semua tentu tergantung kepada para pimpinan atau
elitenya itu sendiri, apa maunya. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar