Andaikan Tugas Guru Sekedar Menjadikan Siswa Hafal Isi Buku Pelajaran



Sekalipun pengalaman itu  sudah hampir genap  50 tahun yang lalu, saya masih mengingatnya dengan baik. Pengalaman yang saya maksudkan itu adalah tentang cara ketiga guru saya mengajar, tatkala saya masih belajar di SMP. Cara mengajar mereka itu sedemikian  mengesankan, berbeda dari guru-guru lainnya. Seorang guru mengajar ilmu hayat, kedua mengajar agama, dan seorang lagi mengajar sejarah.

Masing-masing cara mengajar ketiga  guru tersebut  berbeda dan juga berbeda pula dengan para guru lain pada umumnya. Pada umumnya para guru SMP ketika mengajar hanya dengan berceramah untuk menerangkan isi buku pelajaran yang diajarkan. Sesekali saja mereka memberi kesempatan kepada para murid untuk bertanya hingga jam pelajaran dinyatakan selesai. Dengan demikian tugas guru adalah berbicara di depan kelas, sedangkan murid harus diam mendengarkan  ceramah itu dengan baik.

Berbeda dengan cara guru mengajar sebagaimana pada umumnya itu, tiga guru yang saya masudkan memang  berbeda. Guru ilmu hayat  memilih untuk mengajar pada jam terakhir. Setiap kali mengajar, dia hanya  mengajukan pertanyaan kepada semua murid  tentang isi buku yang memang harus dimiliki oleh para siswa. Siapa saja yang bisa menjawab dengan benar, diperbolehkan pulang duluan. Tentu para siswa  berkompetisi ingin menjawab,  agar segera pulang. Anak yang malas belajar akan pulang terakhir bersama gurunya itu.

Guru ilmu hayat itu tidak pernah menerangkan isi pelajaran. Setiap masuk kelas, ia  hanya mengajukan pertanyaan kepada para murid-muridnya. Dengan cara itu, setiap datang  pelajaran ilmu hayat, para siswa sudah siap berebut menjawab soal. Siswa yang berhasil menjawab di bagian awal merasa bangga, oleh karena dianggap pintar.  Sebaliknya,  bagi  mereka yang tidak bisa menjawab atau  mendapatkan giliran paling akihir, selalu kalah dari kawan lainnya dianggap bodoh.

Berbeda dengan guru ilmu hayat adalah guru agama. Guru agama sangat disenangi oleh para murid oleh karena pada setiap waktu mengajar, dia tidak mengajarkan materi pelajaran agama, melainkan hanya  mendongeng.  Para siswa  suka sekali dengan isi dongenangannya. Hanya saja sebagai syarat, sebelum mulai mendongeng, guru agama memberikan pertanyaan terkait dengan dasar-dasar pengetahuan agama yang harus diketahui oleh para siswa. Manakala pertanyaan guru agama itu berhasil dijawab oleh siswa yang ditunjuk secarta acak, maka mendongengnya dimulai.

Lewat cara itu, setiap siswa merasa berkewajiban mempersiapkan diri untuk merespon pertanyaan atau tugas guru agama, misalnya menghafal surat pendek, menyebutkan rukun iman, nama-nama rasul yang berjumlah dua puluh lima, dan lain-lain. Pada saat tiba mata pelajaran agama, para siswa selalu siap menjawab pertanyaan, agar guru yang bersangkutan  tidak  kecewa, dan selanjutnya mau segera mendongeng. 


Lain dengan guru ilmu hayat dan guru agama adalah guru sejarah. Guru sejarah ini  melemparkan  tugasnya kepada para siswa. Berdasar buku pegangan yang sama, maka dibagi-bagilah isi di dalamnya  kepada para siswa, agar dipelajari secara mendalam dan kemudian para siswa  yang mendapatkan giliran  ditugasi untuk menerangkan di muka kelas kepada teman-temannya. Guru yang bersangkutan hanya sekedar mendengarkan dan membantu siswa manakala terdapat pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Dalam suasana seperti itu, juga terjadi kompetisi antar siswa. Mereka saling menunjukkan kehebatan dan atau bahkan menjatuhkan sesama teman.

Saya masih  ingat, ketika mata pelajaran ilmu hayat dan  sejarah tersebut diujikan dalam ujian negara------dulu ujian nasional disebut dengan ujian negara, banyak para siswa yang mendapatkan nilai sempurna, yaitu 10. Padahal, soal ujian negara tidak dalam bentuk pilihan  berganda, melainkan narasi. Lagi pula,  koreksi hasil ujian tidak lewat komputer, melainkan dilakukan secara manual. Para korektor ditentukan   dengan cara  saling  tukar menukar dengan  guru sekolah lain. Agar lebih obyektif, tukar menukar itu dikoordinasi oleh dinas pendidikan kabupaten.

Dari pengalaman itu, andaikan setiap  sekolah, para guru diberi keleluasaan untuk mencari cara mengajar secara bebas, maka hasil yang diperoleh lebih efektif, menggembirakan, dan menjadikan para siswa menyenangi guru dan  pelajarannya. Lebih dari itu,  pelajaran di sekolah tidak akan  membosankan dan bahkan mengesankan oleh karena di sana ada kompetisi yang terbuka. Para siswa akan menyenangi guru dan juga sekolahnya.

Para siswa tatkala dinyatakan lulus pada  akhir tahun, bukan menunjukkan kegembiraan yang berlebihan dengan berbagai ekpresi yang kurang pantas. Tatkala lulus, mereka justru merasa sedih oleh karena meninggalkan para guru dan sekolahnya. Oleh karena itu, andaikan tugas guru itu hanya sekedar agar  para siswa hafal isi  buku pelajaran, maka caranya tidak sulit dicari. Akan tetapi, tugas guru sebenarnya tidak saja mengajar, atau menjadikan murid berhasil menghafalkan isi buku pelajaran, melainkan juga meberikan pendidikan. Anak tidak cukup diajar, tetapi juga harus dididik. Wallahu a’lam.     

   
Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar