Tatkala seseorang diterima masuk ke perguruan tinggi,
maka ada pertanyaan terkait pintu yang
dilalui. Sudah dipahami secara umum bahwa, sekarang ini masuk perguruan tinggi negeri bisa lewat
bermacam-macam pintu, yaitu pintu undangan, pintu tes tulis bersama, pintu tes
mandiri, dan mungkin masih ada pintu lainnya.
Variasi jalur atau pintu masuk itu seringkali mengundang
pertanyaan dari orang awam, mengapa dibuat yang demikian itu. Bukankah
perguruan tinggi selalu mengajarkan cara-cara yang lebih rasional, efektif, dan
efisien dalam mengerjakan apapun. Banyaknya pintu itu dilihat dari efisiensi
jelas tidak efisien dan juga tidak efektif. Sedangkan dari aspek rasionalnya,
tentu masih perlu dilihat dulu, yaitu jenis rasional apa yang dimaksudkan itu.
Manakala disebut sebagai rasional itu adalah sesuatu yang
mendatangkan keuntungan, maka banyaknya pintu atau jalur itu jelas rasional.
Sebab dengan bermacam-macam jalur dan pintu itu akan mendatangkan jumlah uang
yang semakin banyak, sekalipun hal itu
bagi masyarakat justru sebaliknya. Lain
lagi, kalau rasionalitas itu dilihat dari alternatif yang bisa diakses, maka jelas kebijakan itu
menjadi sangat rasional. Beda lagi kalau yang dimaksudkan rasional dikaitkan
dengan waktu dan tenaga yang digunakan, maka hasilnya akan sebaliknya, yaitu
menjadi tidak rasional.
Apapun pertimbangan yang digunakan, dengan banyaknya jalur dan pintu masuk itu nyatanya semua perguruan tinggi melakukan
hal yang sama, membuka berbagai jalur dan pintu masuk. Masyarakat menyesuaikan
apa saja yang diputuskan oleh perguruan
tinggi. Mungkin masyarakat yang memiliki banyak uang akan melewati berbagai jalur itu, hingga tujuannya berhasil. Berbeda dengan
orang kaya, adalah bagi yang berekonomi
lemah, hanya akan memilih satu jalur saja, ialah jalur undangan. Pintu itu
gratis dan bahkan manakala lulus dan berhasil mendapatkan status bidik misi, semuanya dibiayai oleh
pemerintah.
Mencermati secara mendalam terkait banyaknya pintu masuk
perguruan tinggi itu, ternyata tidak ada
kaitannya dengan upaya mencari calon yang benar-benar berkualitas. Kesimpulan
itu diperoleh dari kenyataan bahwa,
seorang calon yang tidak lulus melalui
satu pintu ternyata masih bisa
lulus tatkala lewat pintu lainnya.
Sebutan kualitas menjadi relatif, tergtantung pintu mana yang dilalui.
Mendidik anak berkualitas tinggi akan lebih mudah dibanding
dengan mendidik calon mahasiswa yang memiliki kemampuan intelektual pas-pasan.
Tentu perguruan tinggi akan memilih yang berkualitas intelektualnya, dan begitu
pula sebaliknya. Berbagai jenis pintu atau jalur masuk itu adalah untuk memilih
sebagaimana kriteria yang diinginkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.
Akan tetapi, rupanya tidak seperti itu
yang terjadi.
Berbagai lika liku
masuk perguruan tinggi, sebenarnya sudah ada sejak dulu. Pada saat
perguruan tinggi negeri masih benar-benar berorientasi pada upaya mencari calon
mahasiswa yang berkualitas, test itu dilakukan beberapa tahap. Calon mahasiswa
selain harus lewat test tulis, masih
harus mengikuti tes lisan, test kesehatan,
dan seterusnya. Berbagai tes itu dimaksudkan agar benar-benar diperoleh bibit unggul. Perguruan tinggi tertentu tidak
mau menerima calon mahasiswa seadanya. Penerimaan mahasiswa dengan cara seketat
itu adalah sebagai bagian dari upaya menjaga kualitas dan nama baik perguruan
tinggi yang bersangkutan.
Beda dengan dulu, bahwa sekarang ini, aneka jenis jalur masuk perguruan tinggi ditangkap oleh masyarakat sebagai adanya
maksud di luar akademik. Sebab masing-masing jalur, bagi perguruan tinggi
tertentu, juga berkaitan dengan tarif yang diberlakukan. Penerimaan dari jalur
yang berbeda akan berbeda pula tarifnya. Itulah sebabnya, sekalipun tes yang
diselenggarakan seolah-olah begitu ketat, ternyata jumlah calon mahasiswa yang
diterima sedemikian banyak. Bahkan aneh sekali, seseorang yang tidak diterima
pada satu jalur atau pintu, tidak lama kemudian
dipanggil agar masuk lewat pintu lainnya. Dengan begitu, perguruan
tinggi menjadi terasa aneh dan tampak
tidak rasional. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar