Bayi yang Tak Diinginkan



Seorang wanita menanggung derita hebat ketika kehilangan saudara kandung satu-satunya. Kakak laki-laki yang selalu hadir tatkala ia membutuhkannya, direnggut nyawanya oleh suatu penyakit. Pada saat yang bersamaan wanita tersebut dinyatakan positif hamil lagi. Ia merasa tidak siap.
Di tengah badai duka, ia meminta dokter untuk melenyapkan janin di kandungannya. Namun sang dokter melarangnya.
Sang wanita protes, merasa tidak diperlakukan adil oleh Sang Pencipta. Ia diberi seorang makhluk hidup, padahal ia tidak memintanya, sedangkan seseorang yang hidup dan begitu dicintainya, diambil secara paksa. Hari-hari selama kehamilannya pun dilalui dengan rasa sedih, kecewa, dan marah.
Wanita itu mengaku sudah sejak lama ia mencoba berdamai dengan hatinya, dan mau menerima kenyataan, tapi begitu sulitnya. Namun, tatkala melihat bayi yang tidak berdaya di hari kelahirannya, hatinya luruh dan ia pun jatuh hati pada bayi itu.
Beberapa tahun kemudian sang anak tumbuh menjadi seorang gadis cilik yang cantik dan sehat. Secara fisik tak ada masalah, namun ia tumbuh menjadi seorang anak yang membangkang pada ibunya.
Hari-hari berlalu, begitu sulit bagi si ibu untuk menjangkau hati si anak. Di setiap tahapan umurnya, selalu ada kesulitan. Menjelang masuk SMP, si anak pun memutuskan berhenti belajar dan sekolah. Berbagai cara telah dilakukan oleh si ibu. Psikolog, psikiater, ahli pendidikan, bahkan ustadz terkenal pun kerap didatangi, namun si anak tetap menjauh. Air mata, derita, sesal, selalu mendera perasaan si ibu. Ia hanya berikhtiar, dan pasrah menunggu Sang Pencipta membalikkan hati si anak.
Di tempat lain, kasus hampir serupa pun terjadi. Seorang wanita karier merasakan kebimbangan. Seorang laki-laki yang tak berkenan di hatinya telah menebar benih di rahimnya. Ia sempat tergoda untuk mengembalikan nyawa itu ke ketiadaan. Namun, kemudian ia memilih untuk menghadirkan sang bayi di bumi.
Kandungannya sangat lemah. Untuk memungkinkan si bayi selamat, tubuhnya hanya boleh terbaring. Ia yang begitu aktif mencoba patuh. Namun, karirnya sebagai jurnalis internasional, membuatnya berontak dari tempat tidur. Dua minggu tak bergerak membuatnya seakan mati. Ia tak siap harus menjadi ‘larva’ demi sang janin. Akhirnya bayi di rahimnya itu pun mati.
Seharusnya kepergian sang bayi tidak menimbulkan masalah. Namun ternyata ia tak bisa diam, hatinya dipenuhi sesal. Ia pun menulis lembar demi lembar. “Ulurkanlah tanganmu kepadaku,” tulisnya. “Lihat, kini kau yang memimpinku, membimbingku. Kau memang bukan sebutir telur, kau bukan ikan yang kecil, kau seorang anak! Kau telah tinggi sampai ke lututku. Bukan, malah ke hatiku…”
Sang jurnalis adalah Oriana Fallaci. Dan tulisan kepada sang janin itu kemudian menjadi buku terkenal berjudul: Surat Kepada Seorang Anak Yang Tak Pernah Lahir.
Seorang ibu memang bisa memilih antara melahirkan atau tidak dan selalu ada alasan untuk tidak menghadirkan makhluk hidup di rahimnya itu. Mungkin sesaat ada kemerdekaan. Tapi kemudian, selalu muncul rasa sesal dan bersalah yang begitu dalam, yang seumur hidup harus ditanggung, seperti kedua wanita di atas. 

Ida S. Widayanti


0 komentar:

Posting Komentar