Berbagi Sejak Dini



”Dulu saya merasa tindakan pada ketiga anak laki-laki saya benar. Kini setelah berpuluh tahun, ketika saya sudah tak dapat memperbaikinya lagi, saya baru menyadari betapa kelirunya apa yang sudah saya lakukan.
Saya dan suami paling tidak suka mendengar anak-anak ’berantem’. Oleh karena itu, saya selalu mengusahakan untuk tidak terjadi konflik di antara mereka. Sejak mereka kecil, agar tidak berebut, apapun yang kami beli untuk anak-anak selalu tiga buah, baik makanan maupun mainan. Karena itu, banyak barang yang persis sama berjumlah tiga buah.
Ketika mereka sudah bisa tidur terpisah, kami buatkan tiga kamar yang berbeda, dengan perlengkapan tersendiri. Waktu kecil, mereka memiliki sepeda masing-masing, maka ketika menginjak remaja pun mereka ingin memiliki motor sendiri-sendiri, begitu juga dengan perangkat komputer. Terakhir, mereka pun minta dibelikan mobil satu-satu. Meski berat, kami berusaha untuk menyediakan tiga mobil sekaligus dalam waktu yang hampir bersamaan.
Sesuatu yang awalnya kami pikir tidak menimbulkan masalah, ternyata berdampak serius bagi kehidupan mereka kemudian. Ini kami rasakan betul ketika kami sudah beranjak tua, ketika mereka sudah berkeluarga dan mandiri. Meskipun mereka saudara kandung, tak ada kedekatan di antara mereka. Kehidupan mereka sendiri-sendiri sehingga mereka pun jarang saling tolong-menolong. Ketika salah satu di antara mereka membutuhkan pertolongan, yang lain seakan tidak peduli.
Dulu, kami pasangan suami istri yang terlalu asyik bekerja. Kami pikir itu kami lakukan demi mereka agar segala kebutuhannya terpenuhi. Namun, ternyata kami melupakan kebutuhan emosi dan pendidikan karakter mereka.
Yang paling menyedihkan, kepada kami pun -sebagai orang tuanya- mereka kurang peduli. Bahkan ketika kami makin tua, dan membutuhkan perhatian dan pertolongan, mereka hanya memikirkan kehidupannya sendiri.”
Pengalaman nyata yang dialami sebuah keluarga di kota metropolitan di atas, mengingatkan kita akan arti pentingnya berbagi sejak usia dini. Seringkali orangtua dengan segala fasilitas yang dimilikinya, menyelesaikan atau menghindari konflik dengan cara instan, tanpa memikirkan akibatnya. Dengan selalu memberi barang masing-masing pada tiap anak, membuat mereka kurang memiliki pengalaman berbagi.
Dengan berbagi -walaupun berpotensi menimbulkan masalah- membuat anak-anak belajar dan merasakan banyak hal. Berbagi membuat anak merasakan indahnya kasih sayang, belajar menunda kepuasan, dan belajar berempati.
Karena itulah, saat menjelang Idul Fitri manusia diperintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah bagi kaum miskin. Perintah ini bukan hanya untuk orang dewasa, tapi juga pada seorang bayi sekalipun. Hal ini mengandung arti bahwa berbagi harus dibiasakan sedini mungkin. Kalau bisa, anak-anak kecil dibiasakan bersentuhan dan memberikan langsung pada yang membutuhkan.
Kisah di atas memberikan pelajaran bahwa jika sejak kecil anak tidak dibiasakan berbagi, maka sampai dewasa ia akan sulit untuk menolong sesama. 


Ida S Widayanti


0 komentar:

Posting Komentar