Pada awal tahun 1980-an, saya mendapatkan tugas dari Badan Litbang
Kementerian Agama untuk menulis tentang pendidikan di pesantren. Pada saat itu saya datang ke beberapa pesantren, di antaranya adalah pesantren yang diasuh oleh Kyai
Abdullah Faqih, di Langitan, Tuban. Oleh karena tidak pernah nyantri, saya
ketika itu, sama sekali belum memiliki pengetahuan sedikit pun tentang kehidupan pesantren. Maka sebelum berangkat, saya berusaha untuk
mendapatkan informasi tentang tata cara ke pesantren. Tetapi yang saya dapatkan
justru hal yang agak menakutkan, misalnya bahwa memasuki pesantren
tidak mudah, apalagi harus bertemu kyainya.
Bersama Imam Thokhah, sekarang Kepala Bidang Pembinaan
Kerukunan Umat Beragama, Badan Litbang Agama, Kementerian Agama, di Jakarta,
saya berkunjung ke pesantren tersebut. Gambaran tentang pesantren yang saya
dapatkan dari beberapa teman ternyata berbeda sekali. Sampai di pesantren, saya
langsung diterima oleh Kyai Abdullah Faqih. Waktu itu beliau masih kelihatan
sangat muda. Setelah saya sampaikan maksud kedatangan saya untuk memahami
pendidikan pesantren, beliau sangat simpatik, menerima dengan baik, membantu,
dan bahkan bersama Imam Tholkhah, saya dipersilahkan menginap hingga beberapa
hari di pesantren Langitan.
Selama berada di pesantren itu, saya mendapatkan
penjelasan langsung dari Kyai Faqih tentang pendidikan yang dikelolanya. Bahkan saya diajak makan bersama-sama santri. Rupanya
Kyai ingin menunjukkan bagaimana pendidikan pesantren yang sebenarnya. Ketika
itu, saya diajak makan bersama menggunakan talam. Baru kali itu
saya menjadi tahu benar, bagaimana para santri makan secara
bersama-sama. Nasi dari panci ditumpahkan bersama dan begitu pula seluruh
sayurannya dijadikan satu di atas talam. Para santri, termasuk saya sebagai
tamu, diajak makan bersama-sama. Mungkin untuk menghormati, Kyai Faqih ikut
makan bersama di tempat itu.
Berbagai kegiatan pendidikan yang dijalankan seperti
sorogan, wetonan, dan bandongan sebagai tradisi
pesantren. Saya diajak mengikuti sekaligus diberi penjelasan. Kyai Abdullah Faqih rupanya menginginkan agar saya
benar-benar tahu tentang pendidikan di pesantren sebagaimana maksud saya datang
ke tempat itu. Berbagai filosofi tentang sorogan, wetonan, dan bandongan dijelaskan secara baik. Para
santri ketika mendengar kyai membaca kitab, diharuskan mencatat di kitab
itu juga. Kegiatan mencatat sangat penting, agar para santri benar-benar
konsentrasi terhadap pelajaran yang disampaikan.
Selama beberapa hari menginap dan belajar dari Kyai
Abdullah Faqih, saya menjadi paham bahwa pendidikan pesantren lebih utuh
dibanding dengan pendidikan lainnya. Di
pesantren terdapat proses pembiasaan, keteladanan,
latihan kebersamaan, dan semua itu dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembiasaan menyangkut berbagai aspek, sejak dalam menjalankan shalat
berjamaah, hubungan sesama santri dan kyai, hingga makan bersama.
Kehidupan tentang kesederhanaan, saling membantu, dan peduli
sesama, kemandirian, termasuk bagaimana harus menghormati tamu, semua itu
dibiasakan dan diberikan teladan oleh kyai dan juga lewat
santri-santri seniornya.
Dari beberapa hari saja menginap di pesantren
Langitan, saya mendapatkan banyak sekali pengalaman bagaimana mendidik para
santri dari Kyai Abdullah Faqih. Infomasi yang saya dapatkan sebelumnya,
bahwa kyai itu tertutup, sulit dihubungi, dan seterusnya, sama sekali tidak
terbukti. Bahkan sebaliknya, mereka menerima
tamu dengan baik dan memberikan apa saja yang saya perlukan ketika itu. Selain
itu, saya menyimpulkan bahwa semestinya pendekatan pesantren
dikembangkan pula di lembaga pendidikan Islam pada umumnya. Oleh karena itu,
berbekalkan pengalaman yang saya dapatkan dari Kyai Abdullah Faqih itu, ketika
mendapatkan amanah memimpin STAIN Malang yang sekarang telah berubah menjadi
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, saya sempurnakan model pendidikan milik
pemerintah ini dengan ma’had atau pesantren kampus.
Sejak itu, oleh karena kesibukan, entah mengapa, saya
tidak berkomunikasi lagi dengan Kyai Abdullah Faqih. Oleh karena
kesibukan sehari-hari, saya tidak berkesempatan untuk datang ke
pesantren, sehingga Kyai mungkin juga lupa, bahwa saya pernah mengaji ke
beliau. Tetapi hal yang mengejutkan, sekitar lima tahun yang lalu, ketika saya
diundang oleh seorang kawan di Tuban, dan kebetulan diselenggarakan pengajian,
saya datang di tempat itu. Pembawa acara mengumumkan bahwa
pengajian semestinya akan diberikan oleh Kyai Abdullah Faqih dari Pesantren
Langitan. Namun oleh karena beliau udzur, kesehatannya terganggu, beliau pesan
agar ceramah dalam pengajian itu digantikan saya, Rektor UIN Malang. Tentu
saya menjadi bertanya-tanya, terkejut, dan haru,
bagaimana Kyai Faqih mengerti dan menyebut nama saya untuk menggantikan peran
beliau dalam pengajian itu.
Sekalipun saya tidak bersilaturahmi lagi ke pesantren,
kecuali pada saat tertentu, misalnya ketika putra beliau wafat untuk
bertakziyah, saya selalu mengikuti pikiran dan pandangan Kyai Abdullah Faqih
baik terkait dengan pendidikan, sosial, dan bahkan poilitik. Apalagi, pada
menjelang dan sedang KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden
RI. Kyai Abdullah Faqih, pada masa-masa itu, selalu menjadi
rujukan, hingga namanya sangat populer dengan sebutan Kyai Langit. Pesantren
Langitan menjadi sangat dikenal melebihi pondok pesantren lainnya, dan bahkan
lembaga pendidikan tinggi besar sekali pun. Nama
pesantren menjadi populer atas kebesaran nama Kyai Abdullah Faqih. Pesantren
tidak saja dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, tetapi
juga tentang wacana politik dan hal-hal penting lainnya.
Pertemuan saya dengan Kyai Abdullah Faqih 30-an tahun yang lalu memberikan kesan yang amat
mendalam, hingga tidak pernah saya lupakan. Apa yang saya dapatkan dari beliau
tentang pesantren saya kembangkan ketika saya mendapatkan tugas memimpin STAIN
Malang yang kini telah berubah menjadi UIN Maulama Malik Ibrahim Malang. Hal
yang saya rasakan belum bisa meniru beliau adalah tentang kesabaran,
keikhlasan, istiqamah dalam membina para santri dan sekaligus umatnya. Pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam dengan kemandiriannya, telah menyumbang
kepada bangsa ini banyak hal yang penting dan manfaat. Dari pengalaman itu
pula, hingga saat ini, ketika ditanya tentang model pendidikan yang sebenarnya,
saya selalu menjawab adalah pendidikan pesantren.
Memang konsep pendidikan pesantren, dari beberapa halnya masih selalu memerlukan penyempurnaan. Akan tetapi
nilai-nilai pendidikan pesantren semestinya dijadikan rujukan dalam
pengembangkan pendidikan pada umumnya, khususnya pendidikan Islam di
negeri ini. Kyai Abdullah Faqih telah menjalankan konsep pendidikan itu. Saya
banyak belajar dari beliau, hingga diajak bersama-sama santri makan
menggunakan talam. Berbekalkan spirit dan pengetahuan tersebut, selanjutnya
selama ini saya mencoba kembangkannya di kampus yang saya pimpin, dan ternyata
setelah berjalan beberapa tahun, usaha tersebut mendapat sambutan luas. Semoga
amal ibadah beliau diterima oleh Allah Swt, dan
ditempatkan pada tempat terbaik dan mulia di sisi-Nya. Amien.
*) Naskah dibuat untuk memenuhi permintaan Panitia
Peringatan 40 hari wafatnya KH Abdullah Faqih, Pondok Pesantren, Wedang,
Langitan.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar