Kata miskin seringkali hanya
dimaknai terbatas dan atau sederhana, yaitu orang yang tidak memiliki cukup
harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Keterbatasan harta yang
dimiliki itu kemudian menjadikan mereka dipandang menderita, hingga perlu
ditolong. Negara atau pemerintah dituntut untuk melakukan upaya-upaya
mengurangi beban itu dengan cara membuka berbagai lapangan pekerjaan.
Banyak sebab yang menjadikan
seseorang jatuh miskin.Di antaranya misalnya tidak memiliki pekerjaan tetap,
malas bekerja, bodoh, bekerja tetapi berpenghasilan rendah, dan lain-lain.
Orang miskin juga diakibatkan oleh kenakalan, misalnya menyukai bermain judi,
terlalu boros, terkena musibah, dan ssebagainya.
Orang yang selama hidupnya miskin
tidak merasakan bahwa dirinya menderita. Bahkan, mereka tahu bahwa dirinya
miskin tatkala melihat orang lain memiliki banyak harta. Orang yang terbiasa
hidup miskin, tidak merasa dirinya memilii masalah kemiskinan. Orang lain saja
yang melihat bahwa keniskinn sebagai masalah. Orang miskin juga
sebagaimana orang kaya, pada saat-saat tertentu, merasakan kegembiraan dan atau
kebahagiaan.
Kemiskinan memang menyebabkan
seseorang merasa menderita, sehingga perlu ditolong. Akan tetapi tidak semua
orang yang miskin mendatangkan perasaan itu. Ada saja orang yang
menginginkan dirinya tetap miskin, dan bahkan menikmati kemiskinannya.
Orang-orang sufi sengaja menjalani hidup miskin. Mereka merasa bahagia dengan
keadaannya itu. Dengan cara menjalani hidup miskin, mereka merasa memiliki
kekayaan jiwa untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Sebaliknya, terdapat orang yang
sebenarnya kaya, harta bendanya melimpah, jabatannya
tinggi, hidupnya mewah, tetapi ternyata sedang mengalami kemiskinan jiwa
yang akut. Sekalipun hartanya sudah tidak akan habis digunakan selama hidupnya,
tetapi masih merasa kurang. Jabatannya sudah tinggi, tetapi masih melihat ada
orang lain yang lebih tinggi lagi, dan ia masih ingin diraihnya.
Orang-orang sebagaimana digambarkan
tersebut justru tersiksa, mereka sudah memiliki banyak hal, tetapi
belum mampu merasakan dan apalagi mensyukuri. Mereka bertempat tinggal di rumah
mewah, bepergian dengan mobil yang sangat mahal harganya, tetapi semua itu
tidak dirasakan cukup. Bahkan seringkali merasa jengkel terhadap
orang di kanan kirinya. Semuanya dirasakan sebagai kekurangan.
Orang-orang tersebut sebenarnya sedang menderita kemiskinan, yaitu
berjiwa miskin.
Selanjutnya, lebih menderita lagi
adalah dirasakan oleh para koruptor yang sudah menjadi
tersangka, dan apalagi telah dipenjarakan. Para koruptor terbiasa
bergelimang dengan harta, hidupnya sehari-hari selalu dibantu orang
lain, dihormati, bicaranya didengarkan, tetapi kemudian semua itu menjadi
hilang, karena harus masuk penjara.
Para koruptor yang dalam
kadaan seperti itu, tidak saja miskin harta, melainkan juga miskin
kehormatan, prestise, harga diri, komunikasi, sehingga mengakibatkan
jiwanya juga miskin. Keadaan seperti itu justru lebih berat
dirasakan daripada sekedar miskin harta. Orang yang miskin harta
sehari-hari masih bisa bercanda dan bahkan tertawa sebagaimana dirasakan
oleh orang yang kaya harta. Akan tetapi, tidak demikian itu dirasakan
oleh orang yang berjiwa miskin.
Oleh karena itu, kiranya orang
lebih memilih, -------kalau harus memilih, miskin harta daripada miskin
jiwa. Kecuali, bagi mereka yang memang benar-benar berjiwa miskin,
maka masuk penjara pun akan dijalani, untuk mendapatkan harta yang
diinginkan. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar