Berandai-andai Agar Sarjana Tidak Menganggur



Keluhan bahwa ternyata banyak sarjana yang menganggur sebenarnya dirasakan sudah cukup lama. Mahasiswa yang memilih tidak segera lulus agar tidak dituntut menghadapi kesulitan mencari kerja sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Hanya saja,  jumlahnya tidak sebanyak sekarang ini.  Mahasiswa yang belum memiliki bayangan,  akan pergi dan bekerja  apa setelah lulus, lebih memilih memperpanjang belajarnya di kampus. Dengan strategi  itu, mereka masih memiliki status yang relatif lebih jelas, yaitu masih berstatus sebagai mahasiswa.  

Melihat kenyataan itu, dulu sewaktu masih ikut memimpin perguruan tinggi swasta, saya pernah punya ide sederhana untuk mengatasi problem mahasiswa yang takut lulus itu. Ide sederhana itu, menurut hemat saya, bisa diimplementasikan. Namun, oleh karena saya harus  berhenti dari ikut memimpin perguruan tinggi yang saya maksudkan  itu, maka ide tersebut gagal saya jalankan.

Ide sederhana itu lambat saya implementasikan, oleh karena status saya bukan pimpinan tertinggi. Sebagai seorang pembantu, pekerjaan yang saya lakukan  selalu doubel, yaitu memproduk ide dan sekaligus  meyakinkan kepada pimpinan tertinggi agar bisa diterima dan dilaksanakan. Sedangkan meyakinkan bahwa sebuah ide itu sangat rasional dan bisa dilaksanakan adalah  bukan perjaan mudah. Apalagi ide tersebut  misalnya belum ada contoh pelaksanaannya dan berhasil.

Saya sedikit banyak mengerti,   mengapa sarjana banyak yang  menganggur. Pertanyaan  itu sebenarnya tidak sulit dijawab, yaitu oleh karena,  mereka tidak punya modal. Bagi anak-anak desa ataupun juga anak kota  yang ekonomi orang tuanya terbatas, begitu lulus menjadi sarjana, maka modalnya juga habis untuk membiayai kuliahnya. Padahal usaha apapun selalu membutuhkan modal. Tanpa modal tidak akan mungkin bisa usaha. Oleh karena itu, sarjana yang tidak memiliki modal itu akan  pergi kemana-mana mencari pekerjaan. Berbekalkan fotocopy ijazahnya, mereka melamar menjadi pegawai. Itu pun  juga tidak mudah didapat, karena harus bersaing dengan pelamar lain yang jumlahnya juga tidak sedikit.

Untuk mengatasi problem tersebut, saya pernah merumuskan ide, yaitu  umpama para  sarjana  yang diwisuda  tidak saja diberi ijazah, tetapi juga sekaligus diberi modal oleh pimpinan perguruan tinggi yang mewisudanya, maka sarjana tersebut akan bisa merintis usaha. Apalagi misalnya, sistem pendidikan di perguruan tinggi diubah secara total.

Para mahasiswa tidak saja diberi kuliah, tetapi juga ditugaskan untuk berlatih sesuai dengan bidang ilmu yang dikembangkan. Misalnya, mahasiswa peternakan selama belajar, selain  harus mempelajari  literatur dari perpustakaan dan bekerja di laboratorium, juga  ditugasi merawat ternak. Mereka yang berhasil mengerjakan tugasnya  itu dinyatakan lulus. Sementara yang gagal, disuruh mengulangi lagi.  Begitu pula mahasiswa fakultas lainnya, harus bekerja sesua dengan bidangnya masing-masing.

Ide yang saya maksudkan secara kongkrit bisa dijelaskan sebagai berikut. Pada  awal tahun kuliah, mahasiswa fakultas peternakan misalnya, dikelompok-kelompokkan. Masing-masing kelompok,  dengan modal patungan atau pinjaman yang diusahakan oleh   pimpinan perguruan tingginya, membuat usaha peternakan. Terserah apa yang dipilih, misalnya ternak sapi, unggas, kambing atau apa saja yang dimaui.  Apapun yang dipilih harus memenuhi batas minimal. Misalnya, bagi mereka  yang memilih ternak sapi  dalam satu kelompok  tidak kurang dari 25 ekor.

Selama empat tahun kuliah,  25 ekor sapi itu akan berkembang biak. Manakala setiap tahun beranak satu, maka selama empat tahun, minimal  induk dan cucunya akan berkembang menjadi 150 ekor. Dengan cara itu, para mahasiswa akan mendapatkan berbagai keuntungan. Mereka tidak saja mendapatkan ilmu peternakan, tetapi juga akan memperoleh penghayatan tentang berternak, kepercayaan diri, dan juga keuntungan dari  usaha ternaknya itu. Selanjutnya, ketika mereka diwisuda,  sekaligus  juga diberi modal yang diambilkan dari keuntungan usaha ternaknya itu. Dengan cara itu sarjana peternakan akan menjadi pengusaha ternak, sarjana pertanian akan menjadi pengusaha pertanian dan seterusnya.

Saya yakin bahwa cara ini adalah sangat visibel dan akan menjadi model pembelajaran  yang efektif. Belajar peternakan  harus langsung dari  beternak, belajar tentang pertanian  adalah  langsung dari menjadi petani, dan demikian pula seterusnya. Bedanya mereka dengan  praktisi peternakan adalah,  bahwa para mahasiswa  selain belajar dari usaha merawat ternak juga membaca literatur, melakukan uji coba di laboratorium, dan sekaligus juga melakukan penelitian. Belajar dengan cara seperti ini, maka antara literatur, laboratorium dan kegiatan berternak secara nyata menyatu. Bahkan data penelitian yang dijadikan syarat penulisan skripsi atau lainnya diperoleh dari kegiatan ini.

Ide sederhana seperti ini, saya yakin bisa dilakukan.  Biasanya hambatan itu  datang dari cara berpikir mereka itu sendiri. Orang biasanya telah memiliki kerangka berpikir yang dianggap harus diikuti dan tidak mudah diubah. Mereka berpandangan bahwa kuliah itu harus di ruang kuliah, dilaksanakan 16 kali pertemuan, sehari-hari mengerjakan tugas dan kegiatan itu diakhiri dengan ujian. Manakala kegiatan itu diubah, mereka takut tidak sesuai dengan peraturan dan tradisi yang ada. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah keberanian mencoba hal baru, keluar dari kungkungan peraturan,  dan juga mau mengubah mindsetnya masing-masing.  Hanya dengan cara itu, ketakutan  lulus dan menganggur bisa diatasi dengan segera. Wallahu a’lam. 


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar