Karena istrinya sedang sibuk
merawat bayi, seorang ayah menemani dua anaknya yang lebih besar bermain.
Berhubung cuaca mendung dan angin bertiup cukup kencang, Si Ayah mengajak
mereka bermain di dalam rumah.
Mereka sepakat akan main peran,
anak-anak membuka salon dan Si Ayah yang menjadi pelanggan. Mereka menyiapkan
koran bekas, kertas, solatip, pulpen, dan gunting. Anak laki-laki yang saat itu
kelas 2 sekolah dasar (SD) sibuk membuat pisau cukur, sisir dari kertas HVS dan
karton. Sedangkan adiknya yang masih TK dan belum lancar membaca dan menulis
itu berusaha keras menuliskan tarif salon.
“Kalau menulis enam ribu itu nolnya
berapa?” tanyanya. Si Kakak pun menjawabnya.
Setelah semuanya siap, mereka mulai bermain. Si Ayah duduk di kursi yang di bagian depannya sudah dipasangi cermin. Si Anak laki-laki memasang koran di leher ayahnya dengan bantuan jepitan jemuran.
Setelah semuanya siap, mereka mulai bermain. Si Ayah duduk di kursi yang di bagian depannya sudah dipasangi cermin. Si Anak laki-laki memasang koran di leher ayahnya dengan bantuan jepitan jemuran.
Selama lebih dari satu jam mereka
bermain. Dengan sabar Si Ayah duduk, sedangkan anak-anaknya seolah mencukur
kepalanya. Selama bermain, anak-anak itu bertanya, seperti mengapa saat
membersihkan jenggot harus pakai sabun, mengapa rambut dan kuku tidak sakit
saat dipotong tidak seperti anggota tubuh lainnya. Si Ayah berusaha menjawab
satu per satu pertanyaan anaknya. Beberapa hal yang sulit, akan mereka baca
bersama di buku.
Setelah selesai, Si Ayah bertanya,
“Berapa yang harus saya bayar?”
Si Kakak berusaha menjumlahkan
biaya yang harus dibayar. “Cukur rambut Rp 7000, cukur jenggot Rp 5000,
bersihkan ketombe Rp 10.000, gunting kuku Rp 8000.” Si Kakak mulai menghitung.
Selama bermain, kedua anak tersebut
bukan hanya merasa bahagia, namun juga memperoleh banyak pengetahuan, berlatih
keterampilan motorik, bahasa, etika, dan sopan-santun.
Di belahan dunia mana pun anak-anak
senang bermain peran, baik main rumah-rumahan, dokter-dokteran, dan lain-lain.
Tanpa disuruh atau diarahkan anak-anak dengan sendirinya main peran.
Belakangan para ahli menemukan
betapa pentingnya main peran dalam kehidupan anak. “Main peran adalah kekuatan
yang menjadi dasar perkembangan daya cipta, tahapan ingatan, kerjasama
kelompok, penyerapan kosa kata, konsep hubungan kekeluargaan, pengendalian
diri, keterampilan mengambil sudut pandang spasial, afeksi, dan kognisi,”
(Gowen, 1995). Melalui main anak dapat melebihi tahap perkembangannya saat ini.
Misalnya saat anak yang belum bisa menulis, berperan sebagai dokter lalu ia
menulis resep dengan tulisan rumput, maka ia melampaui tahap perkembangannya
saat itu. Anak yang tidak main peran, menurut Sara Smilansky, sering terlihat
tidak ada rangkaian dalam kegiatan dan percakapan. Mereka terlihat kaku,
monoton, dan mengulang-ulang perilaku.
Melalui main peran anak belajar
peran-peran yang ada di muka bumi. Kelak ia akan memilih peran yang paling
tepat dan ia pun akan memahami peran orang lain. Ia akan empati terhadap
berbagai profesi baik tukang parkir, kasir, perawat, dokter, guru, bahkan
pembantu sekalipun.
Sekolah yang menyadari arti main
peran sangat serius menjalankan program ini. Bagaimana dengan para orangtua,
sudahkah menemani anak main peran agar mereka memilih peran terbaiknya kelak?
Penulis Buku “Mendidik Karakter dengan Karakter”
Ida S Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar