Di depan sebuah meja makan, seorang anak berusia lima
tahun duduk dengan wajah cemberut. Dia tidak mau menyantap sajian yang
terhidang di hadapannya. “Mama, aku tak suka makanan ini!” ujarnya.
Sang ibu yang merasa sudah susah payah menyajikan
makanan tersebut tentu merasa kesal, “Syukuri yang ada, masih banyak anak yang
kurang beruntung di luar sana!” Si anak pun berkata dengan ketus, “Mama
bilangnya bersyukur terus, bosan!”
Di tempat lain di suatu pagi, seorang ayah baru saja
menerima majalah langganannya. Begitu melihat sampul majalah yang memasang foto
orang tidak memiliki kaki dan tangan, anak lelakinya berkata, “Ayah pasti
bilang, aku harus bersyukur!”
Banyak yang mungkin mengalami peristiwa seperti dua
kisah nyata di atas: anaknya merasa tidak nyaman ketika orangtua memintanya
untuk bersyukur. Peristiwa seperti itu sesungguhnya menunjukkan adanya
kesenjangan pemahaman antara orangtua dan anaknya saat terjadi komunikasi di
antara keduanya.
Ketika mengatakan “syukur”, orangtua kerap menganggap
anaknya –bahkan yang masih sekolah di taman kanak-kanak pun- sudah paham dengan
konsep syukur. Dengan demikian kata tersebut sering terungkap dari mulut
orangtua, agar anaknya mau menerima keadaan yang justru mungkin tak diinginkan
anaknya. Tentu saja pesan tersebut menjadi tidak sampai, anak yang belum paham
arti syukur, menganggapnya sebagai pemaksaan.
Syukur merupakan sikap dan ungkapan positif yang
didasari perasaan suka cita dengan diliputi rasa terima kasih. Syukur
seharusnya muncul dan terungkap secara spontanitas yang disebabkan karena
keadaan, situasi, atau peristiwa yang dirasakan memberi manfaat dan umumnya
sangat diharapkan. Namun dalam banyak kasus, syukur yang seharusnya bermakna
positif, diterima anak menjadi sebaliknya.
Banyak orangtua ingin anaknya menjadi orang yang
pandai bersyukur, namun tidak memikirkan bagaimana caranya. Orangtua seharusnya
memberikan banyak pengalaman yang membuat anak secara spontan memiliki rasa
syukur.
Jika ibu menginginkan anaknya senantiasa mensyukuri
makanan yang terhidang di meja makan, tidak membuang nasi, atau mau
menghabiskan makanannya, ibu bisa membawa dan melibatkan anak pada proses
pembuatan makanan. Ibu bisa mengajak anak mencuci beras, menanak nasi, dan
memahami berapa lama nasi dimasak. Ibu pun sebaiknya mengajak anak berbelanja
di pasar, membeli beras beberapa kilo dan membawanya menuju rumah.
Tak hanya itu, ibu pun pada saat menempuh perjalanan
ke luar kota bisa menjelaskan bahwa sebelum ada di pasar, sebagian besar beras
diangkut dari desa yang jauh. Jika ada saudara atau nenek yang tinggal di desa
pesawahan, anak bisa mempelajari tahapan menanam padi dan berapa lama padi
dapat dipanen. Setelah dipanen, padi pun tidak serta merta dapat dimasak. Masih
ada proses membersihkan padi dan memisahkannya dari gabah sehingga dapat
dimasak.
Jika anak memahami betapa panjang proses nasi hingga
terhidang di atas meja, maka anak tentu tidak akan menyia-nyiakan sepiring nasi
yang ada di hadapannya. Hal tersebut oleh para ahli dinamakan hidden movement
atau gerakan/proses yang tak terlihat. Jika anak memahami hidden movement, maka
ia akan menjadi anak yang pandai bersyukur karena dia paham proses panjang di
balik kehadiran suatu benda.
Pikiran anak tentu sangat berbeda dengan orangtua
karena pengalaman yang dialaminya juga berbeda. Untuk menanamkan sebuah sikap
positif -misalnya syukur- tak cukup hanya dengan nasihat, namun perlu
pengalaman langsung.
Oleh Ida S. Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar