Alkisah, pada suatu masa ada
seorang pemuda yang mencari guru terbaik di negerinya. Ia mendengar bahwa guru
yang paling hebat tinggal di sebuah tempat yang jauh dan sulit untuk ditempuh.
Karena tekadnya sudah sangat kuat, maka berangkatlah pemuda itu dengan membawa
perbekalan secukupnya.
Setelah menempuh perjalanan jauh,
tibalah sang pemuda di tempat sang guru.
“Apa yang membuatmu tiba di tempat ini, anak muda?” tanya sang guru.
“Saya ingin berguru agar saya menjadi orang yang arif bijaksana serta menjadi seorang pemimpin masyarakat.”
“Apa yang membuatmu tiba di tempat ini, anak muda?” tanya sang guru.
“Saya ingin berguru agar saya menjadi orang yang arif bijaksana serta menjadi seorang pemimpin masyarakat.”
“Baiklah, sebelum saya bisa
menerimamu, saya ingin bertanya, apakah engkau mencuci piring bekas sarapanmu
tadi pagi?”
“Tentu saja tidak sempat, Guru.
Berangkat ke sini bagi saya merupakan hal yang sangat penting, jangan sampai
terganggu oleh hal yang sepele.”
“Kamu salah, sekarang pulanglah
dulu. Cucilah piringmu dulu! Bagaimana mungkin engkau bisa menjadi pemimpin
yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negeri, sedangkan engkau tidak bertanggung
jawab terhadap barang yang telah engkau pergunakan.”
Kisah di atas memberi pelajaran
yang penting. Kita kerap menginginkan anak atau siswa kelak menjadi seorang
pemimpin hebat yang berguna bagi bangsa dan masyarakat, namun tidak membangun
sifat tanggung jawab itu dari hal-hal yang kecil dan dari dalam dirinya
sendiri.
Lihatlah fenomena keluarga jaman
sekarang. Jika sedang ada acara kumpul dengan keluarga besar, misalnya saat
hari raya Idul Fitri, maka para ibunyalah yang sibuk, dari mulai memasak
makanan, mencuci piring, gelas-gelas bekas keluarga dan tamu, sampai mencucikan
baju. Sedang anak-anak dari yang masih kecil hingga remaja cenderung hanya
bersenang-senang, bermain, dan bersantai-santai.
Kondisi tersebut sangat berbeda
dengan beberapa dekade lalu, yang mana orangtua sangat melibatkan anak-anak
dalam kegiatan rumah tangga, sehingga sifat tanggung jawab dan kemandirian anak
tumbuh. Di beberapa daerah mungkin fenomena tersebut masih tampak, namun di
masyarakat perkotaan sudah hampir luntur. Anak-anak hanya dibangun kemampuan
kognitifnya dengan belajar aspek akademis semata, sedangkan kemandirian kurang
dibangun karena mengandalkan pembantu rumah tangga (PRT).
Di negara-negara Barat, dimana gaji
pegawai domestik sangat tinggi, jarang ada keluarga yang mempekerjakan PRT.
Walhasil, anak-anak sudah dilatih kemandirian sejak dini. Beberapa sekolah
memberikan pelajaran home carrier, agar siswa-siswi profesional dalam mengelola
pekerjaan rumah tangga. Mereka belajar bagaimana memasak praktis dan bergizi,
mengatur lemari pakaian untuk empat musim, membersihkan rumah, juga mengatur
barang-barang di gudang.
Di sebuah sekolah usia dini, saat
bermain bebas disediakan berbagai alat permainan, di antaranya: tempat mencuci
piring, mencuci pakaian, membersihkan mobil, memandikan bayi, dan lain-lain.
Anak-anak usia 2-3 tahun pun dengan senang dan serius melakukan kegiatannya.
Mungkin kelihatannya sepele, namun sangat penting untuk kehidupan masa depan
mereka.
Oleh Ida S. Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar