Fitrah Sang Anak



Seorang anak berusia sekitar empat tahun berdiri memerhatikan ayahnya yang sedang memperbaiki motor di halaman rumahnya. Si ayah begitu asyik membongkar satu demi satu onderdil kendaraan beroda dua tersebut, tanpa ia sadari anak laki-lakinya mengamati dirinya. Si anak terus memperhatikan ayahnya sambil sesekali memainkan mainannya. Berjam-jam sudah berlalu, namun si ayah begitu tenggelam dengan pekerjaannya.
Keesokan harinya si anak diajak berbelanja oleh ibunya ke pasar. Saat melewati sebuah toko mainan, anak tersebut menarik tangan ibunya dan meminta dibelikan sebuah mainan motor-motoran. Si ibu yang tidak berencana membelikan mainan, tentu saja tidak mengabulkannya. Si anak pun merengek. Si ibu menjelaskan bahwa uangnya untuk berbelanja makanan, namun si anak malah menangis. Si ibu mulai tidak sabar. Ia tetap mengatakan ‘tidak’ sambil marah. Tangisan si anak pun makin keras bahkan ia mulai mengamuk.
Melihat anaknya yang mengamuk di tempat umum, si ibu akhirnya menyerah. Ia pun membelikan mainan tersebut walaupun tetap sambil memarahi anaknya. Si anak begitu senang hatinya mendapatkan mainan yang sangat diinginkannya. Seharian itu ia asyik memainkan motor-motorannya.
Keesokan harinya, ia tetap memainkan motor barunya itu. Namun, cara memainkannya sudah mulai berbeda. Ia membongkar motor mainannya itu. Dengan alat yang ia temukan, dilepasnya satu persatu komponen motor-motorannya itu, sambil membayangkan apa yang dilakukan ayahnya.
Tiba-tiba ibunya datang dan kaget melihat motor-motoran yang baru dibeli sehari itu sudah tidak jelas bentuknya. Marahlah sang ibu, berkali-kali ia mengatakan betapa nakalnya si anak, bahkan kemudian dipukulinya anak itu dengan gagang sapu.
Waktu berlalu, sampai suatu hari ia melihat ayahnya kembali membongkar motornya. Anak itu kemudian mengambil sapu, dipukulnya kepala ayah dengan gagang sapu dari belakang. Betapa kaget dan marahnya si ayah pada si anak yang dianggapnya ‘kurang ajar’ itu. Ia balik memukul anaknya dengan sapu agar ia jera.
Suatu ketika, saat liburan, si anak yang sudah makin besar itu pulang ke kampung halaman ayah-ibunya. Begitu sampai di rumah kakeknya, si kakek berkata, “O, ini ya cucu yang nakal itu!” Ketika ia ke rumah pamannya, kalimat serupa pun menyambutnya.
Si anak begitu marah dalam hatinya pada ayah-ibunya yang sudah menyebarluaskan “kenakalannya” itu, padahal ia merasa tidak demikian. Yang dilakukannya selama ini hanyalah sekadar memuaskan keingintahuannya.
Akhirnya, anak tersebut merasa bahwa dirinya memang anak nakal. Berbagai hal yang dilakukannya kerap merepotkan kedua orangtuanya. Walaupun kemudian di usia dewasanya ia telah berubah, namun kemarahan di hatinya pada orangtuanya tidak berubah.
Sebagai khalifah di muka bumi, manusia dikaruniai rasa ingin tahu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasa ingin tahu adalah modal seorang anak untuk mencapai apa yang diinginkan oleh semua orangtua yaitu ‘pandai’. Namun, respon orangtua terhadap rasa ingin tahu anak seringkali tanpa disadari justru mematikan fitrah sang anak untuk menjadi khalifah. Semoga kisah nyata di atas menjadi ibrah bagi kita semua. 

Oleh Ida S. Widayanti


0 komentar:

Posting Komentar