Beberapa waktu belakangan ini, saya sering
mendapatkan pertanyaan tentang bagaimana mengajarkan Islam yang lebih tepat.
Artinya dengan pengajaran itu, para peserta didik menjadi mengenal Islam secara
utuh dan memadai. Memang tidak mungkin ajaran Islam yang luas dan komprehensif
itu dipahami sekaligus dalam waktu yang singkat. Pekerjaan itu semua memerlukan
tahap-tahap dalam waktu yang lama.
Pertanyaan itu muncul oleh karena didorong oleh
kenyataan bahwa pendidikan Islam dirasakan belum memberikan hasil
yang memuaskan. Para siswa mulai dari tingkat sekolah dasar, menengah,
hingga perguruan tinggi, setelah diberikan pelajaran tentang Islam
ternyata belum memiliki perilaku, watak atau karakter yang menggambarkan
sebagai seorang muslim yang baik. Dari pendidikan Islam belum
menghasilkan orang yang mampu berpikiran besar, berilmu dan memiliki
profesionalisme, sanggup berpikir dan berbuat untuk orang lain, dan
bahkan kelebihan-kelebihan lainnya.
Bahkan pendidikan Islam masih belum mampu
menjauhkan dari suasana yang memprihatinkan. Misalnya pada
kahir-akhir ini, ternyata banyak terjadi tawuran antar siswa,
penyimpangan perilaku yang seharusnya tidak terjadi, dan lain-lain.
Apalagi, jika dikaitkan dengan banyaknya korupsi yang dilakukan oleh para
pejabat pemerintah di berbagai instansi dan levelnya. Mereka itu, sewaktu
sekolah sudah mendapatkan pelajaran tentang Islam. Atas dasar kenyataan
itu, maka tidak sedikit orang kemudian bertanya-tanya, apa yang salah
dari penyelenggaraan pendidikan Islam ini. Mengapa pendidikan yang
bersumberkan dari kitab suci dan sejarah para Rasul ini belum memberikan
dampak yang sigfnifikan terhadap karakter seseorang.
Menghadapi persoalan seperti itu, sementara orang
memberikan jawaban bahwa hal itu disebabkan oleh jumlah jam pelajaran yang
disediakan terlalu sedikit hingga tidak mencukupi. Namun apakah ada jaminan
bahwa dengan misalnya jumlah jam pelajaran itu ditambah kemudian akan bisa
memperbaiki keadaan. Rupanya juga tidak ada jaminan, sebab tidak sedikit
orang yang telah menempuh pendidikan Islam dalam waktu yang cukup lama, tetapi
ternyata masih melakukan penyimpangan yang tidak pantas dijalankan
olehnya.
Sekalipun suasananya seperti itu, akan
tetapi semua pihak masih yakin bahwa pendidikan Islam akan mampu membentuk
watak, perilaku, dan karakter yang ideal. Maka pertanyaan adalah apa
sebenarnya yang salah atau perlu diperbaiki dari pendidikan Islam itu.
Oleh karena itu, pertanyaan mendasar yang seharusnya dijawab adalah pada
sisi-sisi apa yang perlu diperbaiki dari pelaksanaan pendidikan
Islam itu. Apakah perbaikan itu dari pendekatan atau
metodologi, isi pengajaran, bahan ajar, kultur sekolah, atau
lainnya. Pertanyaan seperti ini sering muncul dan sangat perlu mendapatkan jawaban
yang jelas.
Selama ini pelajaran tentang Islam diformat
menjadi beberapa pelajaran, yaitu pelajaran al Qur’an dan hadits,
tauhid, fiqh, akhlak dan tasawwuf, tarekh, dan bahasa Arab.
Beberapa pelajaran itu diberikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan
tinggi. Demikian pula di perguruan tinggi Islam, kajian Islam diformulasikan
dalam berbagai rumpun ilmu, yaitu rumpun ilmu ushuluddin, syari’ah, tarbiyah,
adab, dan dakwah. Dengan berbagai mata pelajaran dan juga kajian terhadap
beberapa rumpun ilmu tersebut, diharapkan seseorang menjadi berperilaku,
berwatak, dan berkarakter Islami. Namun pertanyaan selanjutnya adalah
apakah memang demikian itu yang benar-benar akan dihasilkan.
Jawaban yang sementara ini diperoleh adalah bahwa,
ternyata tidak selalu begitu. Lewat bukti empirik, bahwa membangun perilaku
Islami tidak cukup dilakukan dengan memberikan pelajaran yang diformat
sebagaimana dikemukakan di muka. Perilaku seseorang tidak hanya
dibentuk lewat pemberian pelajaran yang bersifat kognitif. Perilaku selalu
terbentuk dari berbagai komponen yang masing-masing saling memperkukuh,
melengkapi, dan menyempurnakan. Oleh karena itu, maka perlu dicari secara
bersama-sama, bagaimana membentuk perilaku Islami itu. Hal itu tentu tidak
sederhana, memerlukan perenungan mendalam, kajian baik pada tataran konsep,
teori, bahkan data atau informasi tentang pengalaman
lapangan.
Akan tetapi apapun, saya yakin, bahwa
ajaran Islam bisa diinternalkan pada pribadi masing-masing orang lewat berbagai
pendekatan, baik yang bersifat kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Hanya untuk menghasilkan sesuatu yang ideal itu memerlukan
perenungan mendalam dan sekaligus keterbukaan untuk mencari dan menerima yang
baru. Bertahan pada paham yang lama, dan tidak berusaha mencari sesuatu yang
baru, tetapi selalu menyatakan tidak puas terhadap kenyataan yang ada,
adalah bukan cara menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Berangkat dari
kenyataan seperti itulah, maka diperlukan pemikiran mendalam untuk mencari
format baru tentang pendidikan Islam sebagai alternatif yang
dipandang lebih ideal. Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar