Dibutuhkan Pemimpin Berselera Tinggi



Memang pemimpin itu lain dari sekedar pengikut. Pemimpin adalah orang yang bisa diikuti, dipercaya, didengarkan, memiliki kekuatan menggerakkan orang, dan yang lebih penting lagi, mereka bisa diteladani. Peran pemimpin tidak hanya sebatas sebagai kepala kantor atau mampu mengurus kegiatan yang bersifat administratif. Tugas pemimpin yang sebenarnya lebih luas dan mendalam dari sekadar yang disebutkan terakhir itu.

Karena itu seorang pemimpin, dan apalagi pemimpin bangsa yang sebesar ini tidak cukup hanya berbekalkan ijazah atau pendidikan dan apalagi masih minus pengalaman. Pemimpin bangsa tidak saja harus berbekalkan ilmu pengetahuan, kemampuan analisis, dan pengalaman, tetapi lebih dari itu, bekal tersebut  harus disempurnakan dengan kearifan.  Para pemimpin harus arif, bijak, atau sanggup mengambil keputusan yang penuh dengan hikmah. 

Bekal berupa ilmu pengetahuan yang biasa dibuktikan dengan ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi terkenal bagi seorang pemimpin adalah  perlu. Betapa pun ilmu pengetahuan harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Begitu pula bekal lainnya berupa pengalaman. Akan tetapi, memimpin manusia dalam pengertian yang sebenarnya tidak cukup hanya berbekalkan ilmu dan atau kekayaan ilmiah. Saya tidak ingin mengemukakan hal yang aneh, misalnya pemimpin harus  menguasai hal yang bersifat mistik. Bukan itu maksud saya. Tetapi, memimpin manusia harus mengikutkan suara hati, untuk melahirkan sesuatu yang saya sebut sebagai hikmah itu.

Pemimpin yang baru berada pada fase berselera rendah akan membahayakan bangsa secara keseluruhan. Yang saya maksudkan dengan berselera rendah adalah orang yang masih  menginginkan sesuatu atau menilai sesuatu hanya sebatas dengan ukuran-ukuran kebendaan, materi, dan uang. Pemimpin yang masih bangga hanya  karena dilihat orang  berpakaian dengan kain dan potongan mutakhir, berkendaraan merk terkenal, memiliki rumah ukuran dan berpenampilan keren, dan lain-lain, artinya yang bersangkutan masih berselera rendah.     

Memang setiap manusia selalu mengalami perkembangan cara berpikir dan berjiwa setahap demi setahap. Ada orang yang masih suka tatkala suaranya didengarkan dan dikagumi,  pakaiannya dianggap baik, mobilnya baru, rumahnya di tempat strategis dan sejenisnya. Orang seperti ini sebenarnya belum terlalu matang.  Tatkala orang seperti ini menjadi pemimpin, lebih-lebih pemimpin bangsa, maka orientasi pikirannya hanya akan  tertuju pada hal-hal yang bersifat materialistik itu. Pemimpin seperti ini rawan akan godaan yang bersifat kebendaan. Kasus-kasus korupsi yang banyak terjadi dan berbagai jenis penyimpangan lainnya adalah sebagai akibat yang bersangkutan masih belum matang secara psikologis.

Orang awam mengatakan bahwa pemimpin itu mestinya sudah tidak doyan nasi lagi. Artinya, seorang pemimpin,dan apalagi pemimpin bangsa,  harus sudah lewat  dari fase kebendaan itu. Orientasi pemimpin harus  kepada hal-hal yang lebih tinggi dan mulia, misalnya tentang keadilan, kejujuran, kemanusiaan atau makna kehidupan, nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi, kepedulian terhadap  semua, mencintai kebenaran, keindahan,  dan semacamnya. Semua itulah yang saya sebut sebagai kearifan atau hikmah. Pemimpin yang orientasinya seperti itu, tatkala menghitung keberhasilan seseorang atau sekelompok orang, bahkan institusi, bukan sebatas  dari aspek kebendaan, dan bahkan juga yang bersifat ilmiah, tetapi lebih dari itu adalah, sekali lagi, hikmah.

Merenungkan dari terjadinya berbagai persoalan sosial akhir-akhir ini, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, konflik di mana-mana, tawuran antar kampung, antar pemuda atau kelompok saling mengancam, berebut berbagai macam hal, dan lain-lain, maka bisa jadi,  itu semua sebagai akibat dari pemimpinnya yang selama ini kurang matang. Para pemimpinnya hanya berbekalkan ilmu, tetapi minus kematangan dan apalagi kearifan. Para pemimpinnya baru bisa  mengajak agar segera menjadi kaya yang bersifat material, dan belum mampu mengajak rakyat untuk menghayati nilai-nilai, makna hidup, dan bahkan juga memiliki keluasan dan kekayaan hati.     

Atas dasar pandangan itulah maka, sementara orang akhirnya  bersikukuh, bahwa pemimpin itu haruslah orang yang sudah meraih kematangan dalam berbagai halnya, baik keilmuannya, pengalamannya, dan bahkan juga kearifannya. Seseorang yang masih -- dalam bahasa Jawa -- doyan nasi, maka  belum waktunya duduk sebagai pemimpin dan apalagi pemimpin bangsa. Saya melihat  berbagai kasus yang melanda bangsa ini, hingga terjadi saling tuduh menuduh, mencurigai, merasa senang  tatkala temannya terkena kasus dan bahkan dipenjarakan, adalah sebagai akibat adanya pemimpin yang belum meraih kematangan secara sempurna. Karena itu, saya berpandangan bahwa bangsa ini sebenarnya  sedang menunggu atau membutuhkan hadirnya pemimpin yang berselera tinggi, yaitu mereka yang menyandang kearifan, bijak, hati yang jernih, dan kemampuan bertaraf tinggi atau hikmah.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar