Semua orang
memerlukan kekebasan, apalagi seorang pendidik. Orang yang hati dan jiwanya
bebas, maka akan dengan leluasa mengekspresikan pikiran dan pandangannya.
Dengan kebebasan itu, maka dari mereka
akan kelihatan tentang jati dirinya yang
sebenarnya. Mereka akan menunjukkan kemampuan
dirinya sendiri secara jelas.
Mendengarkan cara
bicara orang yang menyandang kebebasan akan terasa enak. Apa saja yang
disampaikan akan terasa terang dan jelas. Coba bandingkan dengan tatkala
mendengarkan orang yang sedang ketakutan. Bicaranya tidak teratur dan juga
tidak jelas. Orang yang sedang merasa takut dan gagap tidak akan mudah
menyampaikan isi hatinya.
Seorang kyai biasanya
lebih memiliki kebebasan. Dalam mengajar, kyai tidak harus mengikuti petunjuk atau pedoman dari
orang lain. Bahkan kitab-kitab yang diajarkan juga tergantung pilihan kyai
sendiri. Masing-masing kyai memiliki kelebihan yang berbeda-beda. Di antara
banyak kyai ada yang lebih ahli di bidang tafsir, sedangkan lainnya di bidang
tata Bahasa Arab, hadits, tasawuf, dan
lain-lain.
Perbedaan keahlian para kyai biasanya juga diketahui
oleh masyarakat. Oleh karena itu, para santri tatkala mencari dan memilih kyai
selalu mendasarkan pada bidang apa yang
diminatinya. Santri yang akan mendalami tata bahasa Arab, di Jawa Timur, akan pergi ke Pesantren Lirboyo Kediri.
Bagi mereka yang akan belajar fiqh akan pergi ke Pesantren Asem Bagus,
Situbondo. Sedangkan mereka yang akan mendalami ilmu tasawuf, para santri akan datang ke Pesantren di Langitan atau
Pasuruan, dan seterusnya.
Para santri mempercayai sepenuhnya terhadap keilmuan kyainya. Oleh karena itu, mereka
ditugasi apapun oleh kyai akan mengikut. Kepercayaan dan loyalitas seperti itu
kiranya yang menjadikan salah satu faktor kunci keberhasilan para santri.
Kadang memang mengagetkan. Di pesantren yang fasilitasnya serba terbatas,
tetapi ternyata para santri mendapatkan sesuatu yang lebih dibanding dengan
siswa yang belajar di sekolah.
Sebagai contoh kecil,
sekedar sebagai perbandingan antara di pesantren dan di sekolah umum. Para
santri hanya dengan fasilitas seadanya dan dalam waktu beberapa tahun, mereka
sudah mampu memahami kitab yang berbahasa Arab. Sementara itu di sekolah dan
bahkan di perguruan tinggi, mahasiswa belajar
Bahasa Inggris bertahun-tahun, sekalipun
sudah dinyatakan lulus tidak sedikit yang masih belum bisa memahami buku
berbahasa Inggris.
Berbeda dengan kyai yang sedemikian bebasnya, adalah para
guru di sekolah. Tugas para guru adalah mengajarkan isi pelajaran sebagaimana
digariskan oleh pemerintah. Para guru hampir-hampir tidak memiliki kebebasan
dalam mengajar bahkan juga menyangkut cara mengajarnya. Kreativitas guru
hampir-hampir tidak diperlukan, oleh karena aturan dari birokrasi pemerintah
sudah sedemikian detail.
Kreasi rupanya hanya boleh dimiliki oleh pejabat pendidikan
di level atas. Isu adanya perubahan kurikulum, yang kemudian disebut Kurikulum 2013,
adalah merupakan bukti bahwa guru dan bahkan kepala sekolah tidak memiliki
kebebasan atau keleluasaan dalam menentukan jenis dan bahkan isi pelajaran.
Para guru hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran kepada para siswa, dan
kemudian pada waktunya akan dievaluasi lewat ujian nasional oleh pemerintah.
Para guru yang sebenarnya telah memenuhi persyaratan,
misalnya ijazah tertentu, ternyata belum diberikan kebebasan untuk mengajarkan
ilmu yang sebenarnya dikuasai dan bahkan cara mengajarkannya sekalipun. Guru
masih bagaikan pegawai, yaitu bertugas menyampaikan materi pelajaran kepada
para murid-muridnya. Padahal kebebasan itu penting sekali dimiliki oleh para guru. Siapapun yang tidak memilki
kebebasan, maka tidak akan mampu sekedar
menjadi dirinya sendiri. Sebagai akibatnya, hasil-hasil karyanya juga tidak
akan maksimal.
Dari gambaran
tersebut, antara kebebasan kyai di
pesantren dan guru di sekolah ternyata berbeda. Kyai lebih otonom dan bebas. Hal
demikian itu, ternyata tidak dimiliki oleh para guru. Kyai dalam menentukan
pelajaran yang diajarkan menyesuaikan
dengan kreatifitas dan ilmunya sendiri. Sementara itu para guru harus
menunggu kurikulum dan petunjuk dari pemerintah. Padahal semestinya sebagai
pendidik, guru pun membutuhkan kebebasan
dan keleluasaan untuk mengajarkan ilmu
yang sebenarnya dimiliki sendiri dan bukan ilmu yang masih harus ditunggu dari
birokrasi atasannya. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar