Karena suaminya sangat sibuk,
seorang ibu rumah tangga begitu kerepotan mengurus ketiga anaknya. Di saat
libur, si ayah pun sudah kelelahan, ia ingin beristirahat di rumah tanpa
diganggu anak-anaknya. Sehingga anak-anak pun hanya dekat dengan ibunya.
Si ibu yang sejak kecil dimanja dan
terbiasa hidup senang merasa bingung mengurus ketiga anaknya yang masih
kecil-kecil dan sangat bergantung padanya. Tinggal di ibu kota, jauh dari
orangtua, dan pengasuh yang sering keluar-masuk, membuatnya sering mengalami
tekanan.
Seiring berjalannya waktu, si ibu
menemukan cara ampuh dalam mendidik anak-anaknya, khususnya dalam hal
kedisiplinan. Ketika anak-anaknya tak mau berhenti main air, ia cukup berkata,
“Kalau main air terus, Mama tinggal, nih!” Mendengar hal itu serta merta
anak-anaknya mengakhiri kegiatannya. Demikian juga saat ia merasa pening
mendengar tangisan anaknya, maka spontanitas berkata, “Sudah jangan menangis!
Kalau nangis terus Mama tinggal, ya!” Lalu anak-anaknya pun berusaha sekuat
tenaga menghentikan tangisnya.
Untuk memberikan ‘shock theraphy,’
ibu tersebut memang pernah meninggalkan anak-anaknya yang dikunci di dalam
rumah karena tidak mengikuti kata-katanya. Senjata tersebut menurutnya ampuh
dan anak-anaknya menjadi kapok. Di saat berkunjung ke rumah orang lain, atau
sedang dalam keramaian, dan ia khawatir anaknya terlihat tidak tertib, maka
ancaman ‘akan meninggalkan’ mereka sangat manjur.
Tahun mulai berganti. Anak sulung
ibu tersebut, sebut saja namanya Putri, sudah menginjak remaja dan memiliki
teman dekat seorang pria yang sudah cukup dewasa. Melihat Putri, si gadis
remaja yang sangat bergantung, temannya itu mulai memanfaatkan kesempatan.
Sedikit saja mengancam putus, maka serta merta Putri akan menuruti segala keinginan
kekasihnya itu. Hingga suatu hari, Putri diajak melakukan hal yang terlarang.
Tentu saja Putri menolak. Namun pria itu berkata, “Kalau kamu tidak mau, aku
tinggal ya. Kita putus saja!”
Kalimat itu begitu menakutkan
Putri. Tanpa disadari ancaman-ancaman akan ditinggal yang ia terima sejak kecil
sangat memengaruhi dirinya. Ia seakan lumpuh dan pasrah, meski hati kecilnya
berontak.
Kisah di atas memberi pelajaran
kepada kita bahwa mendidik anak dengan ancaman dapat menimbulkan dampak
negatif. Alyson Schafer dalam bukunya “Honey, I Wrecked The Kids” mengatakan,
bahwa saat kita sering memaksa anak, menurutnya hal itu secara tidak sengaja
mengajarkan anak untuk mengabaikan suara hatinya dengan mengatakan “Tidak!”
Sehingga saat dewasa ia cenderung tak mampu menolak. Menurut hasil
penelitiannya banyak anak terkena kekerasan seksual atau narkoba adalah
anak-anak yang tampak baik dan patuh. Kepatuhan mutlak karena ancaman, ternyata
berdampak negatif. Anak juga menjadi patuh pada teman-temannya yang mengancam meskipun
salah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Anak berasal dari usahanya (orangtua)” (Riwayat Abu Dawud).
Jika anak dididik oleh orangtua dengan ancaman, maka dengan ancaman pula yang
akan mengendalikan dirinya. Namun, jika anak dibesarkan dengan pengertian dan
penjelasan, maka ia akan menjalani kehidupan ini dengan pemahaman dan pemaknaan
yang dalam.
Semoga kita termasuk orangtua yang
dilimpahkan kesabaran dan keikhlasan oleh Allah Ta’ala dalam mendidik buah hati
kita.
Oleh Ida S Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar