Ini kisah sepasang suami istri yang
harmonis, masing-masing memiliki karier yang bagus. Perjalanan hidupnya mulus
hingga memiliki level dan status sosial yang cukup terhormat di masyarakat.
Anak pertama dan keduanya sehat dan selalu mendapat nilai dan ranking tinggi di
sekolahnya. Bahkan sering menjadi juara dalam berbagai perlombaan.
Ketika anak ketiganya lahir dan tumbuh, lalu
menyandang predikat berkebutuhan khusus atau autis, pada awalnya mereka kaget
dan merasa tidak siap. Namun, lewat perenungan yang panjang, mereka kemudian
sangat mensyukurinya. ”Kami bersyukur, anak ini menyelamatkan kami dari api
neraka, karena keadaan yang sukses selama ini membuat kami bangga akan prestasi
duniawi. Kelahiran anak ini, telah mengingatkan kami, untuk apa kami diberi
umur oleh Tuhan.”
Bila meyakini bahwa jodoh sudah ditentukan, maka gen
antara suami-istri yang bertemu tentu juga karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
(SWT). Karena itu, kita diuji dengan kehadiran anak yang kita miliki sekarang.
Itulah pekerjaan rumah, ujian, dan proyek yang Allah SWT berikan. Jika anak
kita cerdas, bukan berarti boleh bertepuk dada, tapi kita sedang diuji dengan
anak yang memiliki berbagai kelebihan. Kalau kemudian anak kita memiliki
kekurangan, bukan berarti harus malu, justru itu pekerjaan kita untuk merawat
dan membesarkan anak yang memiliki keterbatasan.
Kita harus mengurus anak-anak sebaik yang kita mampu.
Adapun hasil akhirnya, kita serahkan kepada Sang Pemiliknya. Yang Allah nilai
hanya upaya kita apakah sudah maskimal atau tidak. Tidak ada kriteria untuk
memasuki surga-Nya harus memiliki anak yang cerdas dan selalu juara.
Satu di antara tiga amal yang akan menolong orang tua
salah satunya adalah doa anak yang shalih, bukan doa anak yang pintar. Dan
bukan pula doa anak yang selalu juara satu. Berusaha untuk punya anak yang
tercanggih dan selalu juara bukan kehendak Allah. Ambisi orang tua untuk
menjadikan anak juara justru sering menjadi beban bagi si anak.
Ibu tadi lalu berkata, ”Selama ini kami selalu
menjadikan anak-anak kami hebat dengan berbagai predikat juaranya. Namun kami
tidak pernah mencari tahu apa maksud Tuhan memberikan anak, dan kami tidak tahu
Tuhan ingin anak dididik seperti apa.”
Setan memang kerap menghasut pikiran kita untuk menjadikan
anak sebagai sarana memperoleh rasa bangga. Padahal hanya satu kesalahan setan
yang membuatnya dilaknat, yaitu ia merasa ’paling’ sehingga ia tidak mau
tunduk. Manusia pun sering terjebak dalam keinginan seperti itu, termasuk
menginginkan anaknya menjadi ”paling”.
Pasangan suami istri di atas akhirnya menyadari bahwa
siapapun anak yang diberikan, itulah yang pas untuk mereka, untuk menyelesaikan
tugas kehidupan dan untuk mengantar mereka ”pulang”. Mereka merasa tidak perlu
membandingkan dengan anak tetangga, saudara sepupu, ataupun anak
teman-temannya. Siapa yang lahir itulah yang mereka baca (iqra). Ia membawa
pesan dari Allah SWT. Iqra’ adalah perintah pertama yang turun ke muka bumi.
Iqra’ adalah juga membaca anak-anak yang dititipkan melalui rahim sang ibu.
Setiap orang tua mempunyai pikiran tentang anaknya,
tapi manusia harus mencari tahu apa maksud Allah menghadirkan anak-anak yang
mereka miliki saat ini. Dan kita harus memperlakukan mereka seperti yang Allah
mau, bukan seperti yang pikiran kita mau.
Ida S. Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar