“Berdoalah
kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al A’raaf [7] : 55)
Di sebuah restoran cepat saji (fast food) seorang ibu
begitu senang melihat anak balitanya yang biasanya susah makan, mau menyantap
nasi dengan kulit ayam goreng. Si ibu kemudian sering membawa anaknya untuk
makan ayam goreng di restoran sejenis, meski si anak tetap hanya mau memakan
kulitnya saja. Lama-kelamaan, karena umur bertambah, si anak minta kulit ayam
dari dua potong ayam. Karena rasa sayangnya si ibu tak bisa menghentikan
kebiasaan anaknya itu. Di usia 9 tahun anak itu dinyatakan dokter harus
menjalani operasi jantung yang disebabkan obesitas atau kegemukan.
Di sebuah balai pengobatan umum, seorang anak membawa
mainan terompet. Anak itu pun kemudian membunyikan terompetnya. Mula-mula dia
meniup terompetnya di luar, kemudian ia membawa masuk ke ruangan. Lama-lama ia
mengarahkan terompetnya ke telinga anak-anak sebayanya, bahkan ke telinga orang
dewasa. Tentu saja orang-orang yang ada di situ –yang kebanyakan orang sakit-
merasa terganggu.
Namun, yang dilakukan ibu anak tersebut hanya melarang
sekadarnya. Anak itu berhenti sebentar, namun kembali membunyikan terompet lagi
ke arah orang-orang. Melihat orang-orang yang tampak terganggu, si Ibu pun
mengingatkan anak itu, namun juga ala kadarnya. Ia kembali sibuk berbicara
dengan suaminya. Karena anak itu terus membunyikan terompet itu, si Ibu
akhirnya membiarkan anak tersebut, meski ia tahu banyak orang yang merasa
terganggu.
Dua kisah nyata di atas adalah contoh tentang
anak-anak yang tidak diajarkan tentang pentingnya ‘batasan’ oleh orangtuanya.
Orangtua tidak membangun batasan yang tegas tentang mana yang baik dan tidak
baik, mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang aman dan bahaya. Jenis
orangtua seperti itu disebut permisif atau serba membolehkan. Ini adalah tipe
mayoritas orangtua masa kini. Dengan alasan sayang, atau takut anaknya tidak
kreatif, orangtua tidak bisa mengatakan “tidak” pada anaknya. Akhirnya anak
menjadi tidak mampu mengontrol dirinya sendiri.
Pamela Phelps, penggagas Metode BCCT (Beyond Center
and Circle Time) atau yang dikenal dengan Metoda Sentra dari Florida memberi
analogi menarik tentang pentingnya membangun batasan pada anak usia dini.
Ibarat membiarkan anak berjalan di jembatan yang tidak ada pagar pembatas. Hal
itu sangat berbahaya, karena anak bisa terjatuh ke salah satu sisi jembatan.
Seperti pada kasus pertama, ketika anak tidak diberi batasan dalam hal
mengonsumsi makanan, membuat anak justru dalam kondisi bahaya, harus operasi
jantung di usia belia. Sedangkan pada kasus kedua si Ibu membiarkan anaknya
mengganggu sekelilingnya, sama saja membiarkan anak untuk tidak disukai lingkungannya.
Memberikan batasan pada anak memang tidak mudah, perlu
penjelasan ilmiah dan penegakkan yang konsisten dan kesabaran ekstra. Yang tak
kalah penting membangun batasan perlu dikondisikan dalam suasana nyaman dan
menyenangkan serta bebas dari tekanan dan ancaman. Dengan demikian anak paham
arti pentingnya batasan dan dengan kesadarannya mau hidup di dalam batasan,
tanpa merusak kreativitasnya. Anak yang tahu batasan akan cenderung disiplin
dan hidupnya nyaman serta terhindar dari bahaya.
Oleh Ida S. Widayanti
0 komentar:
Posting Komentar