Di kalangan pesantren, ilmu setidaknya
dibedakan menjadi dua, yaitu ilmu yang memberi manfaat dan ilmu yang tidak
memberi manfaat. Para santri
biasanya dianjurkan untuk hanya mencari ilmu yang akan mendatangkan manfaat.
Maka kemudian juga dikenal ada ilmu yang memberi berkah dan ilmu yang tidak
memberi berkah apa-apa. Salah satu cara, agar ilmu memberi manfaat,
maka harus dicari dengan niat yang benar, sungguh-sungguh, dan ikhlas.
Apa yang diyakini oleh orang pesantren ternyata juga
benar. Banyak orang yang
bertahun-tahun menncari ilmu, tetapi apa yang diperoleh ternyata tidak memberi
apa-apa terhadap pemiliknya. Pemilik ilmu dimaksud tidak beda
dengan mereka yang tidak memilikinya, atau dengan mereka yang tidak pernah
belajar. Akhirnya antara yang menyandang ilmu dan yang tidak
menjadi sama. Padahal seharusnya antara keduanya berbeda. Kenyataan
seperti itu menunjukkan bahwa tidak semua ilmu memberi manfaat.
Akhir-akhir ini, gambaran tentang adanya ilmu
yang kurang memberi manfaat sudah sedemikian mudah didapat di masyarakat. Orang
yang telah lama belajar di lembaga pendidikan tetapi perilakunya tidak ada
bedanya dengan mereka yang tidak pernah sekolah, termasuk juga
kecakapan, kecerdasan, dan ketrampilannya. Antara yang bersekolah dan
yang tidak pernah bersekolah ternyata sudah banyak yang sama. Bahkan, kesamaan
itu juga terkait dengan tatkala mencari pekerjaan. Di Bali beberapa
waktu yang lalu, dikabarkan bahwa, para pencari kerja adalah justru
para sarjana ( 58,57 %)
Penyandang ilmu, cerdas, dan terampil tetapi menganggur
sebenarnya adalah merupakan kesalahan yang bersangkutan sendiri. Menurut bahasa
pesantren, ilmunya tidak bermanfaat. Atau
sebenarnya, mereka itu belum berilmu dan sekaligus belum cerdas. Orang yang
berilmu dan cerdas sekedar mencari pekerjaan, di manapun dan kapan pun tidak
akan mengalami kesulitan. Kecuali, pekerjaan yang dicari benar-benar terbatas
dan terlalu selektif. Akan tetapi, apabila jenis pekerjaan yang dicari tidak
terlalu selektif, seorang berilmu dan cerdas tidak akan mengalami kesulitan.
Oleh karena itu, ketika ada sarjana menganggur maka yang perlu
dipertanyakan adalam kualitas kesarjanaannya itu. Mereka sudah lulus, tetapi
kelulusannya hanya sebatas formalitas, yaitu sekedar memiliki ijazah tanpa
dibarengi dengan ilmu dan kecerdasan yang memadai.
Dalam Islam diajarkan bahwa, mencari ilmu itu
adalah wajib.
Waktunya tidak terbatas, yaitu sejak di ayunan hingga sampai meninggal dunia
atau disebutkan sampai di liang lahat. Bahkan wahyu dalam al
Qur’an yang pertama kali diturunkan adalah perintah membaca. Tentu
pengertian membaca dimaksud harus dimaknai secara luas. Membaca
tidak saja diartikan terhadap kitab suci, buku, atau
tulisan, melainkan juga membaca apa saja yang ada dan terbentang
di jagad raya ini. Dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan
siang, disebutkan adalah sebagai pelajaran bagi orang-orang yang mampu
berpikir.
Oleh karena itu, sedemikian luas wilayah,
--------mengikuti konsep Islam, obyek kajian ilmu itu. Alam
semesta, perilaku sosial, dan kehidupan kemanusiaan semuanya,
bagi umat Islam, adalah menjadi obyek kajian ilmu. Bahkan
andaikan obyek itu dikaji tanpa henti sekalipun, dan akhirnya diperoleh dan
dimiliki oleh seseorang, maka seluas dan sebanyak apapun,
sebagaimana dinyatakan dalam al Qur’an, sebenarnya masih
sangat sedikit. Tuhan tidak akan memberi ilmu kepada manusia, kecuali sangat
sedikit. Dan ternyata, ilmu yang ukurannya sedikit itupun belum
tentu memberi manfaat bagi pemiliknya.
Diperingatkan bahwa, dalam membaca atau
proses mendapatkan ilmu harus diawali dengan niat yang benar. Disebutkan
bahwa tatkala membaca sesuatu dan apalagi obyek ilmu harus dengan
menyebut nama Allah. Dinyatakan bahwa iqra’ bismi Rabbika,
bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu. Dalam belajar, meneliti atau
membaca alam semesta harus mendasarkan pada perintah Allah. Dalam
menggali ilmu harus dikaitkan dengan niat atau maksud untuk mengenal Sang
Penciptanya, yaitu Allah swt. Tuhan adalah Maha Mulia, Maha Pengasih dan
Penyayang, Maha Tahu, Maha Benar dan sifat-sifat mulia lainnya.
Mencari dan menggali ilmu dengan mengatas namakan Dzat
yang memiliki sifat-sifat mulia tersebut, maka kegiatan itu
harus mendasarkan dan bahkan berniat atau orientasi
sebagai bagian dari upaya mengenal Dzat Penciptanya. Niat seperti itulah sebenarnya yang banyak
terlupakan di mana-mana.
Akhirnys mencari ilmu hanya sekedar untuk mendapatkan ijazah, agar lulus ujian,
dan kelak agar berhasil mendapatkan pekerjaan. Orientasi atau niat
seperti itu akan menjadikan hasil usahanya justru tidak memberi manfaat
apa-apa. Ilmu yang diperoleh tidak meberi manfaat bagi pemiliknya. Mereka
dinyatakan lulus dan berhak mendapatkan ijazah atau bahkan gelar, tetapi
apa yang diperolehnya itu tidak memberi manfaat.
Oleh karena itu sebenarnya, yang kurang dari
proses mencari ilmu yang dilakukan kebanyakan orang sekarang ini adalah
menyangkut hal yang mendasar. Niat mencari ilmu tidak lagi dikaitkan dengan
tugas-tugas ilahiyah yaitu untuk mengenali Tuhannya. Mungkin sementara
orang menganggap niat atau orientasi seperti itu sebagai sesuatu
yang sederhana. Padahal hakekat dari mencari ilmu adalah di sana.
Niat seperti itu dalam pandangan Islam justru menjadi
motivasi, sumber kekuatan, dan penggeraknya. Itulah sebenarnya yang disebut
sebagai jiwa dan ruh ilmu pengetahuan. Mencari ilmu harus dimotivasi oleh
nilai dan niat yang mulia, dan bukan hanya sekedar untuk agar lulus,
mendapat ijazah, gelar dan kehormatan. Memperbaiki motivasi dan niat itulah
sebenarnya merupakan cara menghidupkan kembali jiwa atau ruh ilmu. Wallahu
a’lam
0 komentar:
Posting Komentar