Di Indonesia, sebagai
negara yang menganut falsafah Pancasila sepatutnya tidak perlu ada
simbol-simbol agama yang terganggu oleh kebijakan pemerintah. Pemakaian
kerudung atau jilbab, pendirian masjid, gereja, pura, dan seterusnya adalah bagian simbol-simbol
agama yang amat penting. Hal-hal itu
memang dibutuhkan dan akan selalu dipelihara oleh umatnya masing-masing.
Menganggap hal itu tidak penting akan
mengganggu perasaan umat pemeluknya.
Sebagai negara yang
menganut ideologi Pancasila, dan atau bangsa yang bersifat religius, maka seharusnya para pemimpinnya justru mendukung dan bahkan
memfasilitasi berbagai kebutuhan yang
terkait dengan pelaksaaan agama itu. Sebaliknya, bukan justru membuat
kebijakan yang dapat ditengarai sebagai
upaya membatasi dan apalagi melarangnya.
Apa saja yang menyangkut keyakinan tidak akan bisa dibatasi
dan apalagi dilarang. Keyakinan sama halnya dengan cinta. Orang yang telah
mencintai sesuatu, maka akan berusaha mendapatkan, apapun cara yang harus
ditempuh. Demikian pula tentang keyakinan. Keyakinan dan juga cinta selalu
melahirkan perjuangan yang selalu diikuti oleh pengorbanan.
Pelajaran tentang
resiko dari adanya kebijakan yang menyinggung simbol-simbol agama di negeri ini
sudah sedemikian banyak. Dulu masyarakat menjadi ramai gara-gara ada
menteri yang tidak mau meliburkan sekolah di bulan puasa. Respon negatif
yang sama juga terjadi ketika pemerintah membatasi kegiatan pengajian dengan
cara harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari pemerintah setempat.
Perasaan menjadi
semakin terganggu lagi ketika pemerintah memberikan berbagai syarat yang memberatkan dalam pembuatan tempat ibadah.
Kaum muslimin sekalipun minoritas di daerahnya pasti memerlukan masjid.
Begitu pula penganut agama lain, seperti Katholik dan Protestan ingin
memiliki gereja, Hindu berkeinginan memiliki pura, Budha ingin membangun
wihara, dan lain sebagainya. Semua penganut agama selalu memerlukan tempat
ibadah.
Bagi penganut agama
apapun, tempat ibadah dianggap sebagai kebutuhan pokok. Mereka tidak
akan mau berhenti berjuang untuk mewujudkan tempat ibadah itu sebelum
cita-citanya terpenuhi. Siapapun yang mengganggu akan dianggap musuh,
dan begitu pula mereka yang membantu akan dianggap sebagai teman. Oleh karena itu, manakala terdapat
pemerintah yang melarang pembangunan tempat ibadah, maka akan dianggap sebagai
musuhnya.
Demikian pula
persoalan kerudung atau jilbab. Pimpinan kepolisian yang akhir-akhir ini
dianggap melarang atau membatasi para anak buahnya sewaktu berdinas menggunakan jilbab, maka dianggap membatasi orang lain menjalankan agamanya.
Larangan itu seharusnya tidak terjadi di
negara Pancasila dan atau bangsa yang mengaku religius. Agama bagi
masyarakat tertentu dianggap sebagai segala-galanya, dan oleh karena itu tidak
boleh sedikitpun diganggu
pelaksanaannya.
Manakala agama telah
diyakini sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas masyarakatnya,-------apapun
jenia agamanya, maka mestinya hal-hal yang terkait dengan simbol-simbol agama
yang bersangkutan tidak boleh dibatasi. Sebaliknya, justru harus didorong dan bahkan dipenuhi
kebutuhannya oleh negara. Menghidupkan kehidupan agama dengan
cara yang adil adalah merupakan kewajiban
bagi negara yang menganut
falsafah Pancasila.
Sebaliknya, melarang simbol-simbol agama, selain tidak mudah,
juga kontrapuduktif dengan falsafah negara. Pelarangan itu akan selalu
melahirkan reaksi keras. Bahkan kalau
larangan itu berasal dari pemerintah, maka pemerintah akan dianggap sebagai
musuh. Keyakinan sama halnya dengan cinta. Keduanya selalu diperjuangkan hingga
dirasa berhasil. Oleh karena itu,
sikap terbaik pemerintah yang
seharusnya dikembangkan adalah,--------di negara Pancasila ini, jangan sekali-kali melarang soal-soal yang
terkait dengan simbol-silmbol agama. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar